Selasa, 15 September 2009

Pendapat-Pendapat tentang Perbedaan Kebudayaan dan Peradaban

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana UNS

Kebudayaan dan peradaban adalah dua kata yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam penggunaan istilah “kebudayaan” dan “peradaban”. Sementara itu pendapat kedua menyatakan bahwa ada perbedaan terminologis antara “kebudayaan” dan “peradaban”. Tulisan ini secara ringkas mencoba untuk memberikan sedikit bahan untuk menjelaskan pandangan yang kedua tentang “kebudayaan” dan “peradaban” sebagai istilah yang memiliki perbedaan secara terminologis.

Ada beberapa ahli yang memberikan titik tekan berbeda untuk menjelaskan konsep tentang kebudayaan dan peradaban. Ahli-ahli tersebut antara lain Albin Small, Alfred Weber, dan Spengler. Bagi Albion Small peradaban adalah kemampuan manusia dalam mengendalikan dorongan dasar kemanusiaannya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sementara itu, kebudayaan mengacu pada kemampuan manusia dalam mengendalikan alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Small, peradaban berhubungan dengan suatu perbaikan yang bersifat kualitatif dan menyangkut kondisi batin manusia, sedangkan kebudayaan mengacu pada sesuatu yang bersifat material, faktual, relevan, dan konkret.

Namun demikian, berbeda dengan pandangan Small, Alfred Weber justru memberikan pendapat yang berbeda. Menurut Alfred Weber, peradaban mengacu pada pengetahuan praktis dan intelektual, serta sekumpulan cara yang bersifat teknisyang digunakan untuk mengendalikanalam. Sedangkan kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai, prinsip normatif, dan ide yang bersifat unik. Aspek peradaban lebih bersifat kumulatif dan lebih siap untuk disebar, lebih rentan terhadap penilaian dan lebih berkembang daripada aspek kebudayaan. Peradaban bersifat impersonal dan objektif, sedangkan kebudyaan lebih bersifat personal, subjektif, dan unik.

Selain pandangan Small dan Weber yang cenderung bersifat pada pemilihan istilah, ada pandangan yang lebih khas yang dikemukakan oleh Spengler. Menurut pendapat saya, pendapat Spengler lebih mudah dicerna dan dipahami. Pendapat ini senada dengan pendapat Theodorson yang menjelaskan keterkaitan antara peradaban dan kebudayaan. Peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Lebih lanjut lagi Spengler menyatakan bahwa peradaban adalah tingkat kebudayaan ketika telah mencapai taraf tinggi dan kompleks. Lebih lanjut lagi Spengler menyatakan bahwa peradaban adalah tingkat kebudayaan ketika tidak lagi memiliki aspek produktif, beku dan mengkristal. Sedangkan kebudayaan mengacu pada sesuatu yang hidup dan kreatif. Kebudayaan adalah sebagai sesuatu yang “sedang menjadi” (it becomes), sedangkan peradaban adalah sebagai sesuatu yang “sudah selesai” (it has been). Contoh dari peradaban adalah bangunan-bangunan monumental seperti Borobudur, Piramida, Tembok Besar Cina, serta berbagai hal monumental lain. Sementara itu contoh dari kebudayaan antara lain makanan dan minuman, pakaian, dan berbagai hal yang masih memiliki kecenderungan untuk terus berkembang.

Tentang Nilai Budaya Priyayi

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana UNS

Istilah priyayi berasal dari kata “para yayi” yang berarti adik-adik raja. Namun demikian, istilah tersebut bukan hanya sebatas pada adik raja saja, melainkan juga meluas untuk kalangan yang berada di sekitar pusat kekuasaan, termasuk pegawai-pegawai kerajaan atau pemerintahan.

Beberapa pakar telah memberikan batasan tentang priyayi seperti R van Neil, Leslie H. Palmer, Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Seomarsaid Moertono, serta Savitri Scherer. Dari pendapat para ahli tersebut priyayi pada dasarnya adalah status sosial yang didapat melalui upaya-upaya tertentu maupun karena keturunan. Priyayi terdiri atas orang-orang yang berada pada strata atas pada masyarakat Jawa yang memimpin, mengatur, dan menuntun masyarakat. Para pejabat pemerintahan pada masa kolonial Hindia Belanda, golongan profesional yang terpelajar dan terdidik, serta kerabat-kerabat penguasa, dalam hal ini bupati, wedana, dan sebagainya yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka yang disebut dengan kalangan priyayi.

Ditinjau dari aspek kebudayaannya, priyayi memiliki tata laku dan nilai-nilai hidup yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya. Sebagai golongan elite, priyayi adalah pendukung kebudayaan warisan kraton pada masa yang lalu. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki oleh priyayi erat kaitannya dengan sastra Jawa klasik, wayang kulit tentang Mahabarta dan Ramayana, serta seni, baik seni batik, seni tari dan sebagainya. Priyayi Jawa memliki sumber etis dari serat, babad, dan karya-karya lainnya.

Aspek lain yang menjadi nilai budaya dari kaum priyayi dapat dilihat dari aspek budaya feodal. Pada masyarakat feodal, dikenal konsep patron-client. Dalam hal ini priyayi memiliki posisi sebagai patron. Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client, yang dilambangkan dengan berbagai macam simbol, seperti pakaian, rumah, hewan piaraan, upacara-upacara, pesta-pesta, serta berbagai atribut lainnya. Namun demikian, sebagai patron, sebenarnya priyayi juga memiliki kewajiban untuk melindungi kaum kecil serta memiliki semangat pengabdian untuk kepentingan bersama.

Suatu gambaran yang menarik tentang nilai budaya kaum priyayi seperti yang dikisahkan Umar Kayam dalam karya-karyanya terutama dalam novel Para Priyayi. Dalam novel tersebut digambarkan dengan jelas nilai budaya yang dimiliki oleh Sastrodarsono sebagai seorang priyayi yang berasal dari masyarakat biasa. Ada aktivitas-aktivitas khusus yang hanya dilakukan oleh golongan priyayi seperti haya hidup, pesata-pesta tertentu, minat yang tinggi terhadap karya sastra dan seni, seperti seni tembang, tari, gamelan dan sebagainya yang tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan.

Senin, 24 Agustus 2009

Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas (Studi Kasus di SMA N1 Banjarnegara)

Sari Skripsi pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang 2008
Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana UNS
Pembelajaran sejarah kontroversial senantiasa ada dalam pelajaran sejarah, tetapi dalam pelaksanaannya masih belum optimal. Hal ini memunculkan berbagai permasalahan dalam praksis pembelajaran sejarah di sekolah. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) mengapa SMA N 1 Banjarnegara melaksankan pembelajaran sejarah kontroversial, (2) apa kendala-kendala yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan sejarah yang bersifat kontroversial di SMA N 1 Banjarnegara, (3) bagaimana upaya yang dilakukan guru sejarah untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial, serta (4) bagaimana alternatif pembelajaran yang dilaksanakan untuk mengajarkan materi sejarah yang bersifat kontroversial. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menjelaskan pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial di SMA N 1 Banjarnegara, (2) mengidentifikasi kendala-kendala yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan sejarah yang bersifat kontroversial di SMA N 1 Banjarnegara, (3) menganalisis upaya yang dilakukan guru sejarah untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial, serta (4) merumuskan alternatif pembelajaran yang dilaksanakan untuk mengajarkan materi sejarah yang bersifat kontroversial. Dengan demikian, secara teoretis tulisan ini diharapkan menjadi satu kajian ilmiah tentang pembelajaran sejarah kontroversial di sekolah dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas tentang adanya perubahan dalam sistem pendidikan sejarah.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil penelitian di SMA Negeri 1 Banjarnegara. Informan dalam penelitian ini adalah guru sejarah di SMA Negeri 1 Banjarnegara dan beberapa siswa SMA Negeri 1 Banjarnegara yang mendapatkan materi sejarah kontroversial (kelas XI IPA dan XII IPS). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu (1) wawancara, (2) pengamatan/observasi, dan (3) dokumentasi. Analisis yang dilakukan menggunakan model analisis model interaktif. Analisis data kualitatif terdiri atas alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan simpulan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pembelajaran untuk peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial telah diterapkan di Sekolah Menengah Atas. Ada tiga hal yang mendorong pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, yakni dari aspek sekolah, kemandirian guru dan kemampuan peserta didik yang baik. Ada dua jenis sejarah kontroversial yang diajarkan di SMA, yakni sejarah kontroversial nonkontemprer dan sejarah kontroversial kontemporer. Salah satu materi yang kontroversial yang telah diajarkan adalah materi yang membahas peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar. Materi tersebut diajarkan pada program IPS di kelas XII semester I dan di program IPA di kelas XI semester II.

Ada beberapa kendala yang ditemui guru sejarah dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Kendala-kendala tersebut dapat dipilah menjadi tiga, yakni kendala dalam aspek perencanaan pembelajaran, kendala dalam pelaksanaan pembelajaran, dan kendala dalam aspek atau komponen pendukung lainya. Kendala-kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara umum dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni (1) faktor intern dan (2) faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam ilmu sejarah, yakni adanya perubahan dalam corak historiografi Indonesia posreformasi. Faktor kedua adalah faktor ekstern yakni faktor-faktor luar yang berasal dari luar sejarah yang memengaruhi sejarah dan pendidikan sejarah.

Upaya untuk mengatasi kendala-kendala dalam aspek perencanaan adalah guru mencoba untuk mengembangkan silabus yang telah disusun oleh pusat kurikulum dalam perencanaan, upaya pencarian sumber-sumber baru, pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar, mencoba untuk tidak terpengaruh terhadap kebijakan pemerintah yang menimbulkan banyak kebingungan, selain itu guru juga mengembangkan pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan sekitar dengan memaksimalkan potensi yang telah dimiliki dan pembelajaran berbasis ICT untuk memudahkan pencarian sumber dan peningkatan motivasi.

Salah satu alternatif yang dilakukan guru untuk mewujudkan kesadaran kritis peserta didik tentang suatu peristiwa sejarah adalah dengan melakukan perubahan dalam pendekatan dari pendekatan konvensional menjadi pendekatan kritis. Pendekatan kritis dalam pembelajaran sejarah adalah suatu pendekatan yang bersifat menyeluruh dalam mengulas suatu peristiwa sejarah. Pendekatan ini menekankan pada empat aspek, yakni kausalitas, kronologis, komprehensivitas, dan kontinuitas. Pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial harus dilakukan dengan menggunakan prinsip keseimbangan, di mana versi-versi yang muncul harus ditampilkan beserta argumentasinya, tanpa ada pretensi dan subjektivitas. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kritis peserta didik.

Kemudian untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan adanya upaya dari semua komponen penopang pendidikan sejarah, yakni pemerintah, LPTK/perguruan tinggi, organisasi profesi/keilmuan, praktisi pendidikan,media massa, dan masyarakat melalui strategi top down dan bottom up. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang dilakukan oleh semua pihak secara serempak menuju transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang memberikan satu pendewasaan masyarakat yang dilandasi kejujuran, bebas dari kepentingan pribadi, dan semangat membangun kesadaran kritis masyarakat, tentang informasi kesejarahan terbaru kepada masyarakat dan praktisi pendidikan.

Tujuan Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana UNS
Pembelajaran sejarah yang tertuang dalam mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini karena pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik (Lampiran Permendiknas No. 23 tahun 2006)
Tujuan dari pelaksanaan pendidikan sejarah dalam kurikulum 2006 seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut

(1) membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan, (2) melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan, (3) menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau, (4) menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang, (5) menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.

Secara lebih spesifik, pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan memberikan argumentasi yang kuat dan logis tentang pendapat-pendapat yang berbeda itu memiliki beberapa tujuan. Abu Su’ud (1993:20-21) menyatakan bahwa pengembangan pola isu kontroversial dalam kelas sejarah bertujuan untuk mencapai (1) peningkatan daya penalaran, (2) peningkatan daya kritik sosial, (3) peningkatan kepekaan sosial, (4) peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, (5) peningkatan keberanian pengungkapan pendapat secara demokratis, serta (6) peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mata pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas meliputi aspek-aspek sebagai berikut (1) prinsip dasar ilmu sejarah, (2) peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia, (3) perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia, (4) Indonesia pada masa penjajahan, (5) pergerakan kebangsaan, (6) proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia. Dari berbagai aspek tersebut, terdapat beberapa peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial yang dapat diajarkan dalam kelas, sehinga kontroversi melekat dalam pembelajaran sejarah.

Di dalam pelaksanaannya, tidak semua peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial dapat disajikan dalam materi ajar untuk pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas. Hal ini karena adanya skala prioritas untuk mengajarkan sejarah yang memiliki potensi dalam mengembangkan aspek-aspek yang dimiliki oleh peserta didik, khususnya aspek menyangkut cinta tanah air, nasionalisme, dan sebagainya. Selain itu, peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial belum dapat diajarkan secara keseluruhan karena pada jenjang Sekolah Menengah Atas, peserta didik belum dianggap perlu untuk mempelajari secara mendetail tentang berbagai peristiwa sejarah. Hal ini karena materi-materi yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas, pada dasarnya sudah disusun garis besar penyampaiannya dalam standar kompetensi dan kompentensi dasar. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dijadikan materi ajar dalam pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial hanya peristiwa-peristiwa yang dianggap signifikan dan mendukung dalam proses pemahaman peserta didik terhadap suatu rangkaian peristiwa dan konsep tentang masa lalu.

Berkaitan dengan pemilihan topik S.K. Kochhar (2008:454-455) memberikan beberapa batasan pemilihan, yakni (1) topik yang diangkat berada dalam batas kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan siswa, (2) topik yang diminati dan penting bagi kelas, (3) isu yang tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya pretensi, dan justifikasi, (4) isu yang pembahasannya tidak memakan banyak waktu, serta (5) isu dengan materi yang memadai.

Peristiwa-peristiwa yang diajarkan yang termasuk dalam sejarah kontroversial antara lain tentang teori-teori masuknya Hindu-Budha dan masuknya Islam, atau peristiwa-peristiwa sejarah kontempoerer yang bersifat kontroversial seperti Serangan Umum 1 maret 1949, peristiwa seputar Gerakan 30 September, Supersemar, serta peristiwa seputar reformasi.

Candi Gedong Songo

Tsabit Azinar Ahmad

Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana UNS


Gedong Songo adalah kompleks yang terletak di kaki gunung Ungaran, Jawa Tengah. Dinamakan Gedong Songo karena candi (gedong) di tempat itu berjumlah sembilan (songo). Candi gedong songo menempati petak-petak di lereng atas gunung dengan pemandangan yang indah di atas sebuah petak besar Jawa Tengah (Tjahjono [peny] 2002:62). Dari gedong songo, seseorang dapat melihat puncak-puncak gunung perahu.

Selain itu dapat pula dilihat dataran tinggi Dieng di barat, hingga Gunung Lawu di sebelah timur. Pemandangan ini merupakan salah satu unsur utama yang membuat orang Jawa memilih tempat ini untuk wilayah gugus keagamaan.


Secara administratif percandian ini berada di wilayah Dukuh Darum, Desa Candi, kecamatan Ambarawa, kabupaten Semarang. Berada di ketinggian 1200-1300 meter di atas permukaan laut, kompleks candi ini pada awalnya disebut sebagai Gedong Pitoe. Sebabnya, pada waktu ditemukan, percandian ini hanya ada tujuh bangunan candi. Namun selanjutnya ditemukan dua bangunan candi lagi sehingga kemudian dinamai dengan percandian Gedong Songo. Kata Gedong (jawa) berarti bangunan, sedangkan Songo (jawa) berarti sembilan. Dengan demikian arti Gedong Songo adalah, sembilan bangunan candi.


Candi gedong songo didirikan sebelum tahun 770, di mana ciri bangunan keagamaan berbilik pada masa ini adalah berukuran kecil (Supratikno Rahardjo, 2002:243). Percandian Gedong Songo dibangun pada sekitar tahun 750 M, kecuali kelompok satu yang dibangun pada 835 M. Candi ini didirikan pada masa Mataram kuno.


Namun demikian, meskipun bernama Gedong Songo, pada saat ini di kompleks percandian tersebut tidak terdapat sembilan candi secara utuh. Sampai saat ini, candi yang masih utuh hanya berjumlah lima buah, sedangkan yang lain hanya pondasinya saja. Candi ini pertaa dilaporkan pada saat pemerintahan Rafless pada 1740. Kelima candi tersebut telah dipugar oleh Dinas Purbakala. Candi Gedong I dan II dipugar pada tahun 1928 sampai tahun 1929 dan tahun 1930 sampai tahun 1931. Pemugaran candi, terutama candi Gedong III, IV, dan V dan penataan lingkungan secara menyeluruh dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada 1972-1982.


Candi-candi di gedong songo mengapit sebuah jurang yang mengalirkan air vulkanis yang panasnya hampir mencapai titik didih. Ciri-ciri alami ini mungkin membentuk faktor lain yang menarik perhatian orang Jawa dahulu, mungkin mereka menghubungkan sumber panas dan ciri lain gunung api dengan kekuatan gaib.


Candi di Gedong Songo ini memiliki denah berbentuk bujur sangkar, di mana pada bagiannya terdapat satu pintu dan relung-relung di ketiga sisinya. Candi Gedong Songo dibedakan satu dari yang lain oleh perbedaan denah bagian dalam. Tiga candi utama dalam kelompok III menghadap barat. Candi tengah dipersembahkan untuk Çiwa , berbentuk persegi, dengan sebuah serambi masuk. Relung-relung disusun menjadi bagian luar tiga dinding lain yang berisi patung Agastya, Ganesha, dan Durga. Ini merupakan penampilan pertama tritunggal ikonografi yang kemudian menjadi kewajiban maya perancang semua candi Çiwa di Jawa selama enam abad mendatang (Tjahjono [peny] 2002:62).


Candi gedong songo pada saat ini yang masih berdiri hanya lima kelompok candi. Kelompok candi pertama adalah bangunan yang terletak di posisi paling rendah. Kelompok candi pertama ini hanya terdiri dari satu bagian. Candi pertama ini menghadap ke arah barat. Relung di tubuh candi berisi arca dan berhias relief jambangan bunga yang merupakan lambang kesuburan. Di bagian dalam candi pertama terdapat lingga dan yoni, selain itu di bagian luar terdapat relung atau Parsvadewata, tetapi dalam keadaan kosong. Pada bagian kaki atau subasement terdapat bentuk halfroyend. Banyak dijumpai pelipit menonjol dengan motif permata yang mengelilingi candi. Pada candi pertama ini terdapat pula antefik-antefik dengan motif permata.


Kelompok percandian kedua terdiri dari tiga bangunan. Pada bangunan yang paling utuh, subasementnya dihiasi dengan relief dan pelipit yang menonjol ke luar. Pada dinding candi luar terdapat relung berbentuk kurung kurawa berhias bunga. Selain itu, di bagian atap pada bingkai mahkota di setiap sisi ditemukan relung-relung kecil pada antefik dengan hiasan sosok wanita yang sedang duduk. Kemudian di atap selanjutnya terdapat relung kecil pada antefik tanpa ornamen. Kelompok percandian pertama dan kedua dipugar pada tahun 1928-1929 dan 1930-1931.


Kelompok percandian tiga terdiri dari empat buah bangunan candi. Pada mulanya kelompok candi tiga terdiri dari 15 candi. Pada kanan dan kiri pintu candi induk dijaga oleh Kadiswara. Candi perwara di sebelah selatan candi induk ini memiliki hiasan khusus, yaitu gajah yang sedang bersimpuh. Candi perwara yang berhadapan dengan candi induk berbentuk mirip dengan candi semar di kompleks percandian dieng. Pada reruntuhan candi, terdapat fragmen-fragmen kendaraan dewa surya dengan ujud kereta yang ditarik empat sampai enam ekor kuda.


Kelompok percandian empat diperkirakan terdiri dari satu candi induk dan delapan candi perwara. Namun, pada saat ini candi perwaranya hanya tediri dari fondasi saja. Di sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi terdapat relung yang merupakan tempat Mahakala dan Nandiswara. Relung-relung lain di candi ini sudah kosong. Kelompok percandian lima merupakan kelompok percandian yang terletak di posisi yang tertinggi. Saat ini hanya terdapat satu candi induk, sementara candi lainnya hanya berupa reruntuhan.

Daftar pustaka
Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.

Tjahjono, Gun. (penyusun). 2002. Indonesian Heritage. Jilid VI (Arsitektur). (Terjemahan). Jakarta: Grolier International

Seninya Ilmiah, Ilmiahnya Seni

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana UNS
Kali pertama mengenal Kuntowijoyo adalah ketika penulis masih duduk di SMA lewat tulisan-tulisannya. Beliau dikenal sebagai seorang sasatrawan. Mantera Penjinak Ular, Daun Makrifat Makrifat Daun, Pasar merupakan karya Kuntowijoyo yang terkenal. Terlebih lagi cerpen-cerpennya seperti ‘Pistol Perdamaian’, ‘Anjing Penjaga Kuburan’, ‘Laki-Laki yang Kawin dengan Peri’ yang dimuat di Kompas meraih penghargaan sebagai cerpen terbaik Kompas. Namanya pun sejajar dengan sastrawan kondang seperti A.A. Navis, Muchtar Lubis, Danarto, sampai dengan Seno Gumira Ajidarma.

Namun siapa nyana setelah penulis masuk di perguruan tinggi, ternyata Kuntowijoyo bukan hanya seorang sastrawan, melainkan juga seorang sejarawan besar. Buku-bukunya menjadi buku wajib dan pegangan di berbagai perkuliahan. Pengantar Ilmu Sejarah, Metodologi Sejarah, Radikalisme Petani, Paradigma Islam, Raja Priyayi dan Kawula, menjadi buku yang tidak asing bagi mahasiswa sejarah. Namanya dapat disejajarkan dengan sejarawan besar seperti Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Ong Hok Ham, dan sejarawan besar lainnya. Tak kalah hebatnya, seperti halnya M. Natsir pada masa pergerakan, ia merupakan salah satu penggagas konsep ilmu sosial profetik. Namun sayang buah pikirannya belum sempat dituliskan dalam sebuah buku yang mengulas secara spesifik dan sistematis tentang konsep dan penerapan ilmu sosial profetik itu.

Selain Prof. Dr. Kuntowijoyo, ada banyak ilmuwan dan guru besar yang ternyata berada di dua alam sekaligus, ilmu dan seni. Prof. Dr. Edi Sedyawati, mantan Dirjen Kebudayaan, selain dikenal sebagai pakar arkeologi terkemuka di Indonesia, ia dikenal juga sebagai seorang penari. Ia pulalah yang pertama kali mendirikan jurusan tari pada Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada usianya yang tidak muda lagi, ditambah dengan kesibukannya sebagai seorang guru besar, ia masih meluangkan waktu untuk tetap menari.

Umar Kayam, seorang Guru besar Universitas Gadjah Mada, mantan Dirjen RTF bahkan sempat aktif dalam dunia film dan sinetron. Pemberontakan G 30 S PKI merupakan salah satu film yang dibintanginya. Selain itu, ia juga berperan dalam sinerton Canting yang diangkat dari novel karya Arswendo Atmowiloto. Selain itu beberapa novel seperti Para Priyayi yang dilanjutkan dengan Jalan Menikung, ditambah dengan cerpen-cerpen yang termasuk dalam cerpen-cerpen pilihan Kompas seperti ‘Lebaran di Karet’, serta karya legendarisnya ‘Seribu Kunang-Kunang di Manhattan’ lahir dari tangannya.

Koentjaraningrat yang dikenal sebagai bapak Antropologi Indonesia terkenal dengan lukisan-lukisannya yang indah. Ilustrasi sampul salah satu bukunya yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan dan ilustrasi-ilustrasi tokoh pada Pengantar Ilmu Antropologi I dan II adalah hasil karyanya. Mantan Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc, sangat identik dengan pembacaan puisi sebelum ia berpidato. Tak usah jauh-jauh, guru besar penulispun di Unnes, Prof. Dr. Abu Su’ud, mantan ketua Muhammadiyah Jawa Tengah sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang tahun 2003-2007 sangat lihai membuat kisah jenaka tapi penuh hikmah dalam Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya serta Gayeng Semarang.

Selain itu ada pula seniman yang berasal dari kalangan akademisi. Sebut saja Wahyu Sardono atau yang lebih dikenal sebagai Dono, personel Warung Kopi (Warkop). Selain seorang seniman, ia adalah dosen sosiologi dari Universitas Indonesia. Tidak seperti tokoh-tokoh di atas, dia lebih untuk memilih terjun secara total dalam dunia seni.

Seninya Ilmiah
Dari berbagai contoh tentang ilmuwan dan guru besar di atas, kiranya dapat ditarik satu benang merah. Selain berkutat dengan keilmuannya, mereka juga memiliki jiwa seni dan rasa estetika yang tinggi. Mengapa ini bisa terjadi? Selain karena bakat seni yang dimilikinya, hal ini dikarenakan dalam bidang keilmuannya terdapat hal-hal yang berbau seni. Atau dalam bahasa penulis disebut “ada unsur seni dari hal yang ilmiah”.
Dalam ilmu-ilmu yang dikelompokkan dalam rumpun ilmu sosial dan rumpun humaniora, unsur-unsur seni memang sangat lekat di dalamnya. Sebagai contoh adalah sejarah. Sejarah pada dasarnya termasuk dalam ilmu humaniora. Paling tidak sejarah itu memiliki empat pengertian, sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai cerita, sejarah sebagai ilmu, dan sejarah sebagai seni. Apabila ditinjau dari segi pendidikan, sejarah memiliki pengertian pula sebagai sebuah mata pelajaran.

Sejarah dapat dikatakan sebagai seni karena pada salah satu tahap metode sejarah ada yang disebut dengan interpretasi. Interpretasi merupakan upaya untuk mengambil makna dari sebuah fakta yang didapat melalui kritik sumber. Tahap interpretasi secara umum dapat diartikan sebagai proses sejarawan mengimajinasikan masa lalu. Upaya untuk benar-benar memahami masa lalu adalah dengan menghadirkan masa lalu itu sendiri, melalui proses imajinasi sejarawan. Pada tahap ini, sejarawan bekerja layaknya seorang novelis ata sastrawan yang memanfaatkan daya pikir dan daya imajinasinya. Pada tahap terakhir metode sejarah, yaitu historiografi atau penulisan sejarah, unsur seni ada pula di dalamnya. Pada tahap ini, sejarawan dituntut untuk menghadirkan masa lalu itu dalam sebuah tulisan yang menarik. Hal ini bertujuan agar cerita sejarah itu tidak kering dan membosankan. Pemilihan kata, koherensi antarkalimat dan paragraf menjadi salah satu hal yang diperhatikan dalam penulisan sejarah. Lagi-lagi, sejarawan bekerja layaknya seorang novelis atau sastrawan pada tahapan ini. Dari contoh tersebut, kiranya dapat dilihat bagaiman nilai seni dalam sebuah ilmu.

Ilmiahnya Seni
Seni yang secara sederhana dapat diartikan sebagai apresiasi dari keindahan atau bahkan keindahan itu sendiri, ternyata dapat tampil sebagai sebuah hal yang ilmiah. Hal ilmiah artinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan diperoleh melalui tahapan yang sistematis. Melalui tahapan metodologis tertentu, suatu karya seni dapat dituangkan menjadi sebuah karya atau kajian ilmiah. Film misalnya, film sebagai sebuah karya seni dapat menjadi sebuah kajian ilmiah, seperti sebuah karya yang menyoroti tentang film Gie sebagai sebuah media komunikasi massa dan peranannya dalam membangun opini dan persepsi mahasiswa. Film dapat ditinjau dari segi maknanya atau pesan yang akan disampaikan. Contoh lain adalah wayang. Wayang sebagai sebuah seni pertunjukan, dapat menjadi sebuah tema dari penelitian, seperti tentang nilai kewirausahaan dalam cerita Dewa Ruci. Musik dapat pula menjadi tema dalam penelitian, seperti halnya kajian tentang eksistensi dan perkembangan musik keroncong. Untuk karya seni grafis seperti halnya kartun, dapat pula menjadi sebuah kajian ilmiah seperti halnya tentang fungsi kartun di surat kabar sebagai media pendidikan politik.

Sebuah karya seni, dapat menjadi tinjauan ilmiah bila seni ditinjau tidak sebagai seni. Yang dapat menjadi kajian ilmiah adalah tentang apa yang ada di balik seni tersebut, atau sisi lain apa yang ada dalam sebuah karya seni. Jadi, ilmu dan seni memang bukan dua hal yang bertentangan.

Jumat, 10 Juli 2009

Kategorisasi Sejarah Kontroversial

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret



Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu (Kuntowijoyo, 1995: 17). Sejarah yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup pengertian sejarah sebagai kisah, yakni catatan dari kejadian yang dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Sementara itu yang dimaksud dengan kontroversial adalah “perbedaan pendapat; pertentangan karena berbeda pendapat atau penilaian” (Badudu dan Zein, 2001:715). Dengan demikian sejarah yang bersifat kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Dikatakan kontroversial karena antara pendapat satu dengan pedapat lainnya masing-masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat.

Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini karena sejarah senantiasa berproses dan bukan sebagai suatu hal yang sudah selesai, sehingga ada kecenderungan munculnya fakta-fakta dan interpretasi-interpretasi baru terhadap suatu peristiwa sejarah (Kochhar, 2008). Dengan demikian, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tetang suatu peristiwa sejarah, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Sejarah kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa di kalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.

Ada beberapa sejarah yang dapat dikategoriakan sebagai sejarah kontroversial yang bisa disampaikan dalam kelas sejarah. Jika ditinjau dari pengaruhnya terhadap masyarakat pada masa sekarang, ada dua jenis sejarah kontroversial. Kategori pertama sejarah kontroversial adalah kontroversi terhadap sejarah yang terjadinya pada kurun waktu yang lama dari sekarang atau disebut juga sejarah nonkontemporer. Kategori kedua adalah sejarah kontroversial yang terjadinya pada masa kontemporer (Tsabit Azinar Ahmad, 2008).
Sejarah kontroversial kategori pertama menjadi bersifat kontroversial karena adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah. Secara umum, adanya perbedaan pandangan itu menurut tipologi Asvi Warman Adam (2007 b) hanya disebabkan adanya ketidaktepatan dan ketidaklengkapan fakta dan interpretasi yang dilakukan, dan biasanya ketidaktepatan itu muncul setelah ada beberpa sejarawan yang mengungkapkan ketidaktepatan itu menurut versi sejarawan itu. Artinya sifat kontroversial ini sangat tergantung dari sejarawan. Hal ini karena pada kategori ini tidak terdapat sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah, sehingga sejarawan memainkan peranan penuh dalam menuliskan suatu peristiwa sejarah.

Beberapa sejarah kontroversial untuk kategori pertama antara lain perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara, perdebatan antara Poerbatjaraka dan F.D.K. Bosch tentang dinasti yang terdapat di kerajaan Mataram lama, pendapat tentang masuknya Islam di Nusantara, sampai pada mitos tentang penjajahan nusantara selama 350 tahun. Kategori pertama ini tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam masyarakat.

Sejarah kontroversial kategori kedua adalah sejarah yang biasanya dimasukkan ke dalam kategori sejarah kontemporer. Sejarah kontemporer merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah (Notosusanto, 1978). Batasan kontemporer ini belum jelas, akan tetapi bila ditinjau dari saat ini peristiwa sejarah kontemporer adalah mulai tahun 1940-an.

Sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial karena kadar subjektivitas yang terkandung dalam sejarah kontemporer lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini (Tsabit Azinar Ahmad, 2007:3). Selain itu hal yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa masih banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Merujuk tipologi Asvi Warman Adam (2007 b), sejarah kontroversial yang termasuk ke dalam sejarah kontemporer disebabkan oleh tiga faktor sekaligus, yakni adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan dalam penyusunan suatu tulisan sejarah.

Ditinjau dari aspek pengaruhnya terhadap masyarakat, sejarah kontroversial kategori kedua memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh masyarakat. Hal ini karena peristiwa yang terjadi pada kurun sejarah kontemporer secara teoretis menjadi kajian yang lebih membuka peluang bagi masyarakat luas untuk mengulas dan memperoleh sumber-sumber berkaitan dengan masa tersebut secara lebih mudah. Ketersediaan sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah juga masih ada. Selain itu memori kolektif masyarakat tentang satu peristwa tersebut juga masih sangat kuat.

Permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat tentang satu pemahaman sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah benar adanya (Tsabit Azinar Ahmad, 2007). Adanya hal ini telah menyebabkan adanya satu hal yang memacu terjadinya pertentangan terhadap satu peristiwa sejarah ketika pada satu saat ditemukan fakta baru yang bertolak belakang dari pemahaman masyarakat selama ini diyakini.

Selain permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan metodologis, satu hal yang menyebabkan sejarah kontemporer itu cenderung bersifat kontroversial adalah adanya unsur kepentingan lain yang bermain di dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah atau dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu (Tsabit Azinar Ahmad, 2007). Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu.

Beberapa peristiwa sejarah kontemporer yang termasuk dalam sejarah kontroversial yang dapat dijadikan materi pembelajaran di kelas sejarah antara lain kontroversi tentang penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, peristiwa 17 Oktober 1952, Gerakan 30 September, perdebatan seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), peristiwa Malari 1974, permasalahan Timor-Timur, sampai dengan peristiwa seputar reformasi dan jatuhnya Soeharto pada 1998. Akan tetapi yang paling banyak diperdebatkan di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 (Asvi Warman Adam, 2007:14).

Kategorisasi sejarah kontroversial seperti yang dijelaskan di atas, tidaklah bersifat tertutup. Artinya ada kecenderungan munculnya peristiwa-peristiwa sejarah nonkontemporer yang memiliki sifat seperti sejarah kontemporer, seperti adanya peristiwa yang terjadi jauh dari masa sekarang yang memberi pengaruh terhadap masyarakat pada masa kini. Sejarah kontroversial nonkontemporer juga masih dapat memunculkan perdebatan dalam masyarakat ketika ada versi sejarah yang bertentangan dengan pemahaman sejarah masyarakat selama ini. Hal ini disebabkan proses sejarah telah menjadi konsensus di kalangan masyarakat. Contoh kasus seperti ini adalah tentang peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh raja Mataram yang membunuh tokoh agama pada abad XVII.

Selain kategorisasi yang dilakukan oleh Tsabit Azinar Ahmad (2008), ada pula kategorisasi sejarah kontroversial seperti yang diungkapkan oleh S. K. Kochhar (2008) dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Sejarah. S.K. Kochhar (2008:453) menjelaskan bahwa ada dua jenis isu kontroversial dalam sejarah, yakni (1) kontroversial mengenai fakta-fakta dan (2) kontroversial mengenai signifikansi, relevansi, dan interpretasi sekumpulan fakta. Isu kontroversial jenis pertama, yakni kontroversi mengenai fakta-fakta terjadi karena kurangnya data atau tidak masuk akalnya suatu penemuan. Di dalam isu kontroversial jenis ini pertanyaan berkaitan dengan “apa”, “siapa”, “kapan”, dan “di mana”. Di dalam sejarah Indonesia, permasalahan kontroversial yang termasuk dalam kategori ini adalah tentang siapa yang pertama kali membawa pengaruh India ke Nusantara, kapan Islam pertama masuk di Nusantara, dan sebagainya.

Jenis isu kontroversial kedua menurut S. K. Kochhar (2009) adalah kontroversi yang disebabkan oleh interpretasi. Hal ini karena pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan tidak ilmiah, bias, dan dipengaruhi prasangka. Kontroversi yang disebabkan oleh interpretasi berada pada pertanyaan tentang “mengapa” dan “bagaimana” peristiwa tersebut terjadi. Terkadang peristiwa atau fenomena dipelajari secara tertutup, sehingga interpretasi sejarawan terhadap suatu peristiwa bisa salah dan mengakibatkan kontroversi (Kochhar, 2008: 453-454). Permasalahan kontroversi karena perbedaan interpretasi sejarawan terjadi seperti ketika sejarawan-sejarawan mengeluarkan versi yang berbeda tentang peristiwa Gerakan 30 September. Ada sebagan sejarawan yang menyatakan bahwa permasalahan tersebut terjadi karena konflik internal di tubuh Angkatan Darat, ada pula yang menyatakan bahwa Suharto yang menjadi dalang. Sementara itu muncul pula teori tentang keterlibatan Sukarno atau CIA sebagai faktor yang utama. Kemudian yang tidak kalah penting adalah tentang berkembangnya “versi resmi” bahwa yang menjadi penggerak adalah Parai Komunis Indonesia.

Daftar Pustaka

Asvi Warman Adam. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Badudu, J.S. dan Sutan Muhammad Zein. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Penerjemah Purwanta dan Yofita Hardiwati. Jakarta: Grasindo.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya.

Tsabit Azinar Ahmad. 2007. ‘Yang Kontemporer Yang Kontroversial’. Dalam Majalah Sapiens Edisi Khusus bulan September-Oktober tahun 2007. hlm. 2-8.

--------. 2008. “Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas (Studi Kasus di SMA N 1 Banjarnegara)”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.