Selasa, 15 September 2009

Pendapat-Pendapat tentang Perbedaan Kebudayaan dan Peradaban

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana UNS

Kebudayaan dan peradaban adalah dua kata yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam penggunaan istilah “kebudayaan” dan “peradaban”. Sementara itu pendapat kedua menyatakan bahwa ada perbedaan terminologis antara “kebudayaan” dan “peradaban”. Tulisan ini secara ringkas mencoba untuk memberikan sedikit bahan untuk menjelaskan pandangan yang kedua tentang “kebudayaan” dan “peradaban” sebagai istilah yang memiliki perbedaan secara terminologis.

Ada beberapa ahli yang memberikan titik tekan berbeda untuk menjelaskan konsep tentang kebudayaan dan peradaban. Ahli-ahli tersebut antara lain Albin Small, Alfred Weber, dan Spengler. Bagi Albion Small peradaban adalah kemampuan manusia dalam mengendalikan dorongan dasar kemanusiaannya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sementara itu, kebudayaan mengacu pada kemampuan manusia dalam mengendalikan alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Small, peradaban berhubungan dengan suatu perbaikan yang bersifat kualitatif dan menyangkut kondisi batin manusia, sedangkan kebudayaan mengacu pada sesuatu yang bersifat material, faktual, relevan, dan konkret.

Namun demikian, berbeda dengan pandangan Small, Alfred Weber justru memberikan pendapat yang berbeda. Menurut Alfred Weber, peradaban mengacu pada pengetahuan praktis dan intelektual, serta sekumpulan cara yang bersifat teknisyang digunakan untuk mengendalikanalam. Sedangkan kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai, prinsip normatif, dan ide yang bersifat unik. Aspek peradaban lebih bersifat kumulatif dan lebih siap untuk disebar, lebih rentan terhadap penilaian dan lebih berkembang daripada aspek kebudayaan. Peradaban bersifat impersonal dan objektif, sedangkan kebudyaan lebih bersifat personal, subjektif, dan unik.

Selain pandangan Small dan Weber yang cenderung bersifat pada pemilihan istilah, ada pandangan yang lebih khas yang dikemukakan oleh Spengler. Menurut pendapat saya, pendapat Spengler lebih mudah dicerna dan dipahami. Pendapat ini senada dengan pendapat Theodorson yang menjelaskan keterkaitan antara peradaban dan kebudayaan. Peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Lebih lanjut lagi Spengler menyatakan bahwa peradaban adalah tingkat kebudayaan ketika telah mencapai taraf tinggi dan kompleks. Lebih lanjut lagi Spengler menyatakan bahwa peradaban adalah tingkat kebudayaan ketika tidak lagi memiliki aspek produktif, beku dan mengkristal. Sedangkan kebudayaan mengacu pada sesuatu yang hidup dan kreatif. Kebudayaan adalah sebagai sesuatu yang “sedang menjadi” (it becomes), sedangkan peradaban adalah sebagai sesuatu yang “sudah selesai” (it has been). Contoh dari peradaban adalah bangunan-bangunan monumental seperti Borobudur, Piramida, Tembok Besar Cina, serta berbagai hal monumental lain. Sementara itu contoh dari kebudayaan antara lain makanan dan minuman, pakaian, dan berbagai hal yang masih memiliki kecenderungan untuk terus berkembang.

Tentang Nilai Budaya Priyayi

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana UNS

Istilah priyayi berasal dari kata “para yayi” yang berarti adik-adik raja. Namun demikian, istilah tersebut bukan hanya sebatas pada adik raja saja, melainkan juga meluas untuk kalangan yang berada di sekitar pusat kekuasaan, termasuk pegawai-pegawai kerajaan atau pemerintahan.

Beberapa pakar telah memberikan batasan tentang priyayi seperti R van Neil, Leslie H. Palmer, Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Seomarsaid Moertono, serta Savitri Scherer. Dari pendapat para ahli tersebut priyayi pada dasarnya adalah status sosial yang didapat melalui upaya-upaya tertentu maupun karena keturunan. Priyayi terdiri atas orang-orang yang berada pada strata atas pada masyarakat Jawa yang memimpin, mengatur, dan menuntun masyarakat. Para pejabat pemerintahan pada masa kolonial Hindia Belanda, golongan profesional yang terpelajar dan terdidik, serta kerabat-kerabat penguasa, dalam hal ini bupati, wedana, dan sebagainya yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka yang disebut dengan kalangan priyayi.

Ditinjau dari aspek kebudayaannya, priyayi memiliki tata laku dan nilai-nilai hidup yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya. Sebagai golongan elite, priyayi adalah pendukung kebudayaan warisan kraton pada masa yang lalu. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki oleh priyayi erat kaitannya dengan sastra Jawa klasik, wayang kulit tentang Mahabarta dan Ramayana, serta seni, baik seni batik, seni tari dan sebagainya. Priyayi Jawa memliki sumber etis dari serat, babad, dan karya-karya lainnya.

Aspek lain yang menjadi nilai budaya dari kaum priyayi dapat dilihat dari aspek budaya feodal. Pada masyarakat feodal, dikenal konsep patron-client. Dalam hal ini priyayi memiliki posisi sebagai patron. Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client, yang dilambangkan dengan berbagai macam simbol, seperti pakaian, rumah, hewan piaraan, upacara-upacara, pesta-pesta, serta berbagai atribut lainnya. Namun demikian, sebagai patron, sebenarnya priyayi juga memiliki kewajiban untuk melindungi kaum kecil serta memiliki semangat pengabdian untuk kepentingan bersama.

Suatu gambaran yang menarik tentang nilai budaya kaum priyayi seperti yang dikisahkan Umar Kayam dalam karya-karyanya terutama dalam novel Para Priyayi. Dalam novel tersebut digambarkan dengan jelas nilai budaya yang dimiliki oleh Sastrodarsono sebagai seorang priyayi yang berasal dari masyarakat biasa. Ada aktivitas-aktivitas khusus yang hanya dilakukan oleh golongan priyayi seperti haya hidup, pesata-pesta tertentu, minat yang tinggi terhadap karya sastra dan seni, seperti seni tembang, tari, gamelan dan sebagainya yang tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan.

Senin, 24 Agustus 2009

Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas (Studi Kasus di SMA N1 Banjarnegara)

Sari Skripsi pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang 2008
Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana UNS
Pembelajaran sejarah kontroversial senantiasa ada dalam pelajaran sejarah, tetapi dalam pelaksanaannya masih belum optimal. Hal ini memunculkan berbagai permasalahan dalam praksis pembelajaran sejarah di sekolah. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) mengapa SMA N 1 Banjarnegara melaksankan pembelajaran sejarah kontroversial, (2) apa kendala-kendala yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan sejarah yang bersifat kontroversial di SMA N 1 Banjarnegara, (3) bagaimana upaya yang dilakukan guru sejarah untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial, serta (4) bagaimana alternatif pembelajaran yang dilaksanakan untuk mengajarkan materi sejarah yang bersifat kontroversial. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menjelaskan pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial di SMA N 1 Banjarnegara, (2) mengidentifikasi kendala-kendala yang ditemui oleh guru sejarah dalam mengajarkan sejarah yang bersifat kontroversial di SMA N 1 Banjarnegara, (3) menganalisis upaya yang dilakukan guru sejarah untuk mengatasi kendala-kendala dalam pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial, serta (4) merumuskan alternatif pembelajaran yang dilaksanakan untuk mengajarkan materi sejarah yang bersifat kontroversial. Dengan demikian, secara teoretis tulisan ini diharapkan menjadi satu kajian ilmiah tentang pembelajaran sejarah kontroversial di sekolah dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas tentang adanya perubahan dalam sistem pendidikan sejarah.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil penelitian di SMA Negeri 1 Banjarnegara. Informan dalam penelitian ini adalah guru sejarah di SMA Negeri 1 Banjarnegara dan beberapa siswa SMA Negeri 1 Banjarnegara yang mendapatkan materi sejarah kontroversial (kelas XI IPA dan XII IPS). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu (1) wawancara, (2) pengamatan/observasi, dan (3) dokumentasi. Analisis yang dilakukan menggunakan model analisis model interaktif. Analisis data kualitatif terdiri atas alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan simpulan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pembelajaran untuk peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial telah diterapkan di Sekolah Menengah Atas. Ada tiga hal yang mendorong pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial, yakni dari aspek sekolah, kemandirian guru dan kemampuan peserta didik yang baik. Ada dua jenis sejarah kontroversial yang diajarkan di SMA, yakni sejarah kontroversial nonkontemprer dan sejarah kontroversial kontemporer. Salah satu materi yang kontroversial yang telah diajarkan adalah materi yang membahas peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar. Materi tersebut diajarkan pada program IPS di kelas XII semester I dan di program IPA di kelas XI semester II.

Ada beberapa kendala yang ditemui guru sejarah dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Kendala-kendala tersebut dapat dipilah menjadi tiga, yakni kendala dalam aspek perencanaan pembelajaran, kendala dalam pelaksanaan pembelajaran, dan kendala dalam aspek atau komponen pendukung lainya. Kendala-kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara umum dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni (1) faktor intern dan (2) faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam ilmu sejarah, yakni adanya perubahan dalam corak historiografi Indonesia posreformasi. Faktor kedua adalah faktor ekstern yakni faktor-faktor luar yang berasal dari luar sejarah yang memengaruhi sejarah dan pendidikan sejarah.

Upaya untuk mengatasi kendala-kendala dalam aspek perencanaan adalah guru mencoba untuk mengembangkan silabus yang telah disusun oleh pusat kurikulum dalam perencanaan, upaya pencarian sumber-sumber baru, pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar, mencoba untuk tidak terpengaruh terhadap kebijakan pemerintah yang menimbulkan banyak kebingungan, selain itu guru juga mengembangkan pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan sekitar dengan memaksimalkan potensi yang telah dimiliki dan pembelajaran berbasis ICT untuk memudahkan pencarian sumber dan peningkatan motivasi.

Salah satu alternatif yang dilakukan guru untuk mewujudkan kesadaran kritis peserta didik tentang suatu peristiwa sejarah adalah dengan melakukan perubahan dalam pendekatan dari pendekatan konvensional menjadi pendekatan kritis. Pendekatan kritis dalam pembelajaran sejarah adalah suatu pendekatan yang bersifat menyeluruh dalam mengulas suatu peristiwa sejarah. Pendekatan ini menekankan pada empat aspek, yakni kausalitas, kronologis, komprehensivitas, dan kontinuitas. Pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial harus dilakukan dengan menggunakan prinsip keseimbangan, di mana versi-versi yang muncul harus ditampilkan beserta argumentasinya, tanpa ada pretensi dan subjektivitas. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kritis peserta didik.

Kemudian untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan adanya upaya dari semua komponen penopang pendidikan sejarah, yakni pemerintah, LPTK/perguruan tinggi, organisasi profesi/keilmuan, praktisi pendidikan,media massa, dan masyarakat melalui strategi top down dan bottom up. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang dilakukan oleh semua pihak secara serempak menuju transformasi pendidikan sejarah menuju pendidikan sejarah yang memberikan satu pendewasaan masyarakat yang dilandasi kejujuran, bebas dari kepentingan pribadi, dan semangat membangun kesadaran kritis masyarakat, tentang informasi kesejarahan terbaru kepada masyarakat dan praktisi pendidikan.

Tujuan Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana UNS
Pembelajaran sejarah yang tertuang dalam mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini karena pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik (Lampiran Permendiknas No. 23 tahun 2006)
Tujuan dari pelaksanaan pendidikan sejarah dalam kurikulum 2006 seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut

(1) membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan, (2) melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan, (3) menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau, (4) menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang, (5) menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.

Secara lebih spesifik, pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan memberikan argumentasi yang kuat dan logis tentang pendapat-pendapat yang berbeda itu memiliki beberapa tujuan. Abu Su’ud (1993:20-21) menyatakan bahwa pengembangan pola isu kontroversial dalam kelas sejarah bertujuan untuk mencapai (1) peningkatan daya penalaran, (2) peningkatan daya kritik sosial, (3) peningkatan kepekaan sosial, (4) peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, (5) peningkatan keberanian pengungkapan pendapat secara demokratis, serta (6) peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

Di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, mata pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas meliputi aspek-aspek sebagai berikut (1) prinsip dasar ilmu sejarah, (2) peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia, (3) perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia, (4) Indonesia pada masa penjajahan, (5) pergerakan kebangsaan, (6) proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia. Dari berbagai aspek tersebut, terdapat beberapa peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial yang dapat diajarkan dalam kelas, sehinga kontroversi melekat dalam pembelajaran sejarah.

Di dalam pelaksanaannya, tidak semua peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial dapat disajikan dalam materi ajar untuk pembelajaran sejarah di Sekolah Menengah Atas. Hal ini karena adanya skala prioritas untuk mengajarkan sejarah yang memiliki potensi dalam mengembangkan aspek-aspek yang dimiliki oleh peserta didik, khususnya aspek menyangkut cinta tanah air, nasionalisme, dan sebagainya. Selain itu, peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial belum dapat diajarkan secara keseluruhan karena pada jenjang Sekolah Menengah Atas, peserta didik belum dianggap perlu untuk mempelajari secara mendetail tentang berbagai peristiwa sejarah. Hal ini karena materi-materi yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas, pada dasarnya sudah disusun garis besar penyampaiannya dalam standar kompetensi dan kompentensi dasar. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dijadikan materi ajar dalam pembelajaran sejarah yang bersifat kontroversial hanya peristiwa-peristiwa yang dianggap signifikan dan mendukung dalam proses pemahaman peserta didik terhadap suatu rangkaian peristiwa dan konsep tentang masa lalu.

Berkaitan dengan pemilihan topik S.K. Kochhar (2008:454-455) memberikan beberapa batasan pemilihan, yakni (1) topik yang diangkat berada dalam batas kompetensi kelompok, artinya disesuaikan dengan kemampuan guru dan siswa, (2) topik yang diminati dan penting bagi kelas, (3) isu yang tidak terlalu “panas” pada saat ini, karena ada kekhawatiran munculnya pretensi, dan justifikasi, (4) isu yang pembahasannya tidak memakan banyak waktu, serta (5) isu dengan materi yang memadai.

Peristiwa-peristiwa yang diajarkan yang termasuk dalam sejarah kontroversial antara lain tentang teori-teori masuknya Hindu-Budha dan masuknya Islam, atau peristiwa-peristiwa sejarah kontempoerer yang bersifat kontroversial seperti Serangan Umum 1 maret 1949, peristiwa seputar Gerakan 30 September, Supersemar, serta peristiwa seputar reformasi.

Candi Gedong Songo

Tsabit Azinar Ahmad

Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana UNS


Gedong Songo adalah kompleks yang terletak di kaki gunung Ungaran, Jawa Tengah. Dinamakan Gedong Songo karena candi (gedong) di tempat itu berjumlah sembilan (songo). Candi gedong songo menempati petak-petak di lereng atas gunung dengan pemandangan yang indah di atas sebuah petak besar Jawa Tengah (Tjahjono [peny] 2002:62). Dari gedong songo, seseorang dapat melihat puncak-puncak gunung perahu.

Selain itu dapat pula dilihat dataran tinggi Dieng di barat, hingga Gunung Lawu di sebelah timur. Pemandangan ini merupakan salah satu unsur utama yang membuat orang Jawa memilih tempat ini untuk wilayah gugus keagamaan.


Secara administratif percandian ini berada di wilayah Dukuh Darum, Desa Candi, kecamatan Ambarawa, kabupaten Semarang. Berada di ketinggian 1200-1300 meter di atas permukaan laut, kompleks candi ini pada awalnya disebut sebagai Gedong Pitoe. Sebabnya, pada waktu ditemukan, percandian ini hanya ada tujuh bangunan candi. Namun selanjutnya ditemukan dua bangunan candi lagi sehingga kemudian dinamai dengan percandian Gedong Songo. Kata Gedong (jawa) berarti bangunan, sedangkan Songo (jawa) berarti sembilan. Dengan demikian arti Gedong Songo adalah, sembilan bangunan candi.


Candi gedong songo didirikan sebelum tahun 770, di mana ciri bangunan keagamaan berbilik pada masa ini adalah berukuran kecil (Supratikno Rahardjo, 2002:243). Percandian Gedong Songo dibangun pada sekitar tahun 750 M, kecuali kelompok satu yang dibangun pada 835 M. Candi ini didirikan pada masa Mataram kuno.


Namun demikian, meskipun bernama Gedong Songo, pada saat ini di kompleks percandian tersebut tidak terdapat sembilan candi secara utuh. Sampai saat ini, candi yang masih utuh hanya berjumlah lima buah, sedangkan yang lain hanya pondasinya saja. Candi ini pertaa dilaporkan pada saat pemerintahan Rafless pada 1740. Kelima candi tersebut telah dipugar oleh Dinas Purbakala. Candi Gedong I dan II dipugar pada tahun 1928 sampai tahun 1929 dan tahun 1930 sampai tahun 1931. Pemugaran candi, terutama candi Gedong III, IV, dan V dan penataan lingkungan secara menyeluruh dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada 1972-1982.


Candi-candi di gedong songo mengapit sebuah jurang yang mengalirkan air vulkanis yang panasnya hampir mencapai titik didih. Ciri-ciri alami ini mungkin membentuk faktor lain yang menarik perhatian orang Jawa dahulu, mungkin mereka menghubungkan sumber panas dan ciri lain gunung api dengan kekuatan gaib.


Candi di Gedong Songo ini memiliki denah berbentuk bujur sangkar, di mana pada bagiannya terdapat satu pintu dan relung-relung di ketiga sisinya. Candi Gedong Songo dibedakan satu dari yang lain oleh perbedaan denah bagian dalam. Tiga candi utama dalam kelompok III menghadap barat. Candi tengah dipersembahkan untuk Çiwa , berbentuk persegi, dengan sebuah serambi masuk. Relung-relung disusun menjadi bagian luar tiga dinding lain yang berisi patung Agastya, Ganesha, dan Durga. Ini merupakan penampilan pertama tritunggal ikonografi yang kemudian menjadi kewajiban maya perancang semua candi Çiwa di Jawa selama enam abad mendatang (Tjahjono [peny] 2002:62).


Candi gedong songo pada saat ini yang masih berdiri hanya lima kelompok candi. Kelompok candi pertama adalah bangunan yang terletak di posisi paling rendah. Kelompok candi pertama ini hanya terdiri dari satu bagian. Candi pertama ini menghadap ke arah barat. Relung di tubuh candi berisi arca dan berhias relief jambangan bunga yang merupakan lambang kesuburan. Di bagian dalam candi pertama terdapat lingga dan yoni, selain itu di bagian luar terdapat relung atau Parsvadewata, tetapi dalam keadaan kosong. Pada bagian kaki atau subasement terdapat bentuk halfroyend. Banyak dijumpai pelipit menonjol dengan motif permata yang mengelilingi candi. Pada candi pertama ini terdapat pula antefik-antefik dengan motif permata.


Kelompok percandian kedua terdiri dari tiga bangunan. Pada bangunan yang paling utuh, subasementnya dihiasi dengan relief dan pelipit yang menonjol ke luar. Pada dinding candi luar terdapat relung berbentuk kurung kurawa berhias bunga. Selain itu, di bagian atap pada bingkai mahkota di setiap sisi ditemukan relung-relung kecil pada antefik dengan hiasan sosok wanita yang sedang duduk. Kemudian di atap selanjutnya terdapat relung kecil pada antefik tanpa ornamen. Kelompok percandian pertama dan kedua dipugar pada tahun 1928-1929 dan 1930-1931.


Kelompok percandian tiga terdiri dari empat buah bangunan candi. Pada mulanya kelompok candi tiga terdiri dari 15 candi. Pada kanan dan kiri pintu candi induk dijaga oleh Kadiswara. Candi perwara di sebelah selatan candi induk ini memiliki hiasan khusus, yaitu gajah yang sedang bersimpuh. Candi perwara yang berhadapan dengan candi induk berbentuk mirip dengan candi semar di kompleks percandian dieng. Pada reruntuhan candi, terdapat fragmen-fragmen kendaraan dewa surya dengan ujud kereta yang ditarik empat sampai enam ekor kuda.


Kelompok percandian empat diperkirakan terdiri dari satu candi induk dan delapan candi perwara. Namun, pada saat ini candi perwaranya hanya tediri dari fondasi saja. Di sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi terdapat relung yang merupakan tempat Mahakala dan Nandiswara. Relung-relung lain di candi ini sudah kosong. Kelompok percandian lima merupakan kelompok percandian yang terletak di posisi yang tertinggi. Saat ini hanya terdapat satu candi induk, sementara candi lainnya hanya berupa reruntuhan.

Daftar pustaka
Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.

Tjahjono, Gun. (penyusun). 2002. Indonesian Heritage. Jilid VI (Arsitektur). (Terjemahan). Jakarta: Grolier International

Seninya Ilmiah, Ilmiahnya Seni

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana UNS
Kali pertama mengenal Kuntowijoyo adalah ketika penulis masih duduk di SMA lewat tulisan-tulisannya. Beliau dikenal sebagai seorang sasatrawan. Mantera Penjinak Ular, Daun Makrifat Makrifat Daun, Pasar merupakan karya Kuntowijoyo yang terkenal. Terlebih lagi cerpen-cerpennya seperti ‘Pistol Perdamaian’, ‘Anjing Penjaga Kuburan’, ‘Laki-Laki yang Kawin dengan Peri’ yang dimuat di Kompas meraih penghargaan sebagai cerpen terbaik Kompas. Namanya pun sejajar dengan sastrawan kondang seperti A.A. Navis, Muchtar Lubis, Danarto, sampai dengan Seno Gumira Ajidarma.

Namun siapa nyana setelah penulis masuk di perguruan tinggi, ternyata Kuntowijoyo bukan hanya seorang sastrawan, melainkan juga seorang sejarawan besar. Buku-bukunya menjadi buku wajib dan pegangan di berbagai perkuliahan. Pengantar Ilmu Sejarah, Metodologi Sejarah, Radikalisme Petani, Paradigma Islam, Raja Priyayi dan Kawula, menjadi buku yang tidak asing bagi mahasiswa sejarah. Namanya dapat disejajarkan dengan sejarawan besar seperti Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Ong Hok Ham, dan sejarawan besar lainnya. Tak kalah hebatnya, seperti halnya M. Natsir pada masa pergerakan, ia merupakan salah satu penggagas konsep ilmu sosial profetik. Namun sayang buah pikirannya belum sempat dituliskan dalam sebuah buku yang mengulas secara spesifik dan sistematis tentang konsep dan penerapan ilmu sosial profetik itu.

Selain Prof. Dr. Kuntowijoyo, ada banyak ilmuwan dan guru besar yang ternyata berada di dua alam sekaligus, ilmu dan seni. Prof. Dr. Edi Sedyawati, mantan Dirjen Kebudayaan, selain dikenal sebagai pakar arkeologi terkemuka di Indonesia, ia dikenal juga sebagai seorang penari. Ia pulalah yang pertama kali mendirikan jurusan tari pada Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada usianya yang tidak muda lagi, ditambah dengan kesibukannya sebagai seorang guru besar, ia masih meluangkan waktu untuk tetap menari.

Umar Kayam, seorang Guru besar Universitas Gadjah Mada, mantan Dirjen RTF bahkan sempat aktif dalam dunia film dan sinetron. Pemberontakan G 30 S PKI merupakan salah satu film yang dibintanginya. Selain itu, ia juga berperan dalam sinerton Canting yang diangkat dari novel karya Arswendo Atmowiloto. Selain itu beberapa novel seperti Para Priyayi yang dilanjutkan dengan Jalan Menikung, ditambah dengan cerpen-cerpen yang termasuk dalam cerpen-cerpen pilihan Kompas seperti ‘Lebaran di Karet’, serta karya legendarisnya ‘Seribu Kunang-Kunang di Manhattan’ lahir dari tangannya.

Koentjaraningrat yang dikenal sebagai bapak Antropologi Indonesia terkenal dengan lukisan-lukisannya yang indah. Ilustrasi sampul salah satu bukunya yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan dan ilustrasi-ilustrasi tokoh pada Pengantar Ilmu Antropologi I dan II adalah hasil karyanya. Mantan Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc, sangat identik dengan pembacaan puisi sebelum ia berpidato. Tak usah jauh-jauh, guru besar penulispun di Unnes, Prof. Dr. Abu Su’ud, mantan ketua Muhammadiyah Jawa Tengah sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang tahun 2003-2007 sangat lihai membuat kisah jenaka tapi penuh hikmah dalam Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya serta Gayeng Semarang.

Selain itu ada pula seniman yang berasal dari kalangan akademisi. Sebut saja Wahyu Sardono atau yang lebih dikenal sebagai Dono, personel Warung Kopi (Warkop). Selain seorang seniman, ia adalah dosen sosiologi dari Universitas Indonesia. Tidak seperti tokoh-tokoh di atas, dia lebih untuk memilih terjun secara total dalam dunia seni.

Seninya Ilmiah
Dari berbagai contoh tentang ilmuwan dan guru besar di atas, kiranya dapat ditarik satu benang merah. Selain berkutat dengan keilmuannya, mereka juga memiliki jiwa seni dan rasa estetika yang tinggi. Mengapa ini bisa terjadi? Selain karena bakat seni yang dimilikinya, hal ini dikarenakan dalam bidang keilmuannya terdapat hal-hal yang berbau seni. Atau dalam bahasa penulis disebut “ada unsur seni dari hal yang ilmiah”.
Dalam ilmu-ilmu yang dikelompokkan dalam rumpun ilmu sosial dan rumpun humaniora, unsur-unsur seni memang sangat lekat di dalamnya. Sebagai contoh adalah sejarah. Sejarah pada dasarnya termasuk dalam ilmu humaniora. Paling tidak sejarah itu memiliki empat pengertian, sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai cerita, sejarah sebagai ilmu, dan sejarah sebagai seni. Apabila ditinjau dari segi pendidikan, sejarah memiliki pengertian pula sebagai sebuah mata pelajaran.

Sejarah dapat dikatakan sebagai seni karena pada salah satu tahap metode sejarah ada yang disebut dengan interpretasi. Interpretasi merupakan upaya untuk mengambil makna dari sebuah fakta yang didapat melalui kritik sumber. Tahap interpretasi secara umum dapat diartikan sebagai proses sejarawan mengimajinasikan masa lalu. Upaya untuk benar-benar memahami masa lalu adalah dengan menghadirkan masa lalu itu sendiri, melalui proses imajinasi sejarawan. Pada tahap ini, sejarawan bekerja layaknya seorang novelis ata sastrawan yang memanfaatkan daya pikir dan daya imajinasinya. Pada tahap terakhir metode sejarah, yaitu historiografi atau penulisan sejarah, unsur seni ada pula di dalamnya. Pada tahap ini, sejarawan dituntut untuk menghadirkan masa lalu itu dalam sebuah tulisan yang menarik. Hal ini bertujuan agar cerita sejarah itu tidak kering dan membosankan. Pemilihan kata, koherensi antarkalimat dan paragraf menjadi salah satu hal yang diperhatikan dalam penulisan sejarah. Lagi-lagi, sejarawan bekerja layaknya seorang novelis atau sastrawan pada tahapan ini. Dari contoh tersebut, kiranya dapat dilihat bagaiman nilai seni dalam sebuah ilmu.

Ilmiahnya Seni
Seni yang secara sederhana dapat diartikan sebagai apresiasi dari keindahan atau bahkan keindahan itu sendiri, ternyata dapat tampil sebagai sebuah hal yang ilmiah. Hal ilmiah artinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan diperoleh melalui tahapan yang sistematis. Melalui tahapan metodologis tertentu, suatu karya seni dapat dituangkan menjadi sebuah karya atau kajian ilmiah. Film misalnya, film sebagai sebuah karya seni dapat menjadi sebuah kajian ilmiah, seperti sebuah karya yang menyoroti tentang film Gie sebagai sebuah media komunikasi massa dan peranannya dalam membangun opini dan persepsi mahasiswa. Film dapat ditinjau dari segi maknanya atau pesan yang akan disampaikan. Contoh lain adalah wayang. Wayang sebagai sebuah seni pertunjukan, dapat menjadi sebuah tema dari penelitian, seperti tentang nilai kewirausahaan dalam cerita Dewa Ruci. Musik dapat pula menjadi tema dalam penelitian, seperti halnya kajian tentang eksistensi dan perkembangan musik keroncong. Untuk karya seni grafis seperti halnya kartun, dapat pula menjadi sebuah kajian ilmiah seperti halnya tentang fungsi kartun di surat kabar sebagai media pendidikan politik.

Sebuah karya seni, dapat menjadi tinjauan ilmiah bila seni ditinjau tidak sebagai seni. Yang dapat menjadi kajian ilmiah adalah tentang apa yang ada di balik seni tersebut, atau sisi lain apa yang ada dalam sebuah karya seni. Jadi, ilmu dan seni memang bukan dua hal yang bertentangan.

Jumat, 10 Juli 2009

Kategorisasi Sejarah Kontroversial

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret



Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu (Kuntowijoyo, 1995: 17). Sejarah yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup pengertian sejarah sebagai kisah, yakni catatan dari kejadian yang dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Sementara itu yang dimaksud dengan kontroversial adalah “perbedaan pendapat; pertentangan karena berbeda pendapat atau penilaian” (Badudu dan Zein, 2001:715). Dengan demikian sejarah yang bersifat kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Dikatakan kontroversial karena antara pendapat satu dengan pedapat lainnya masing-masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat.

Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini karena sejarah senantiasa berproses dan bukan sebagai suatu hal yang sudah selesai, sehingga ada kecenderungan munculnya fakta-fakta dan interpretasi-interpretasi baru terhadap suatu peristiwa sejarah (Kochhar, 2008). Dengan demikian, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tetang suatu peristiwa sejarah, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Sejarah kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa di kalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.

Ada beberapa sejarah yang dapat dikategoriakan sebagai sejarah kontroversial yang bisa disampaikan dalam kelas sejarah. Jika ditinjau dari pengaruhnya terhadap masyarakat pada masa sekarang, ada dua jenis sejarah kontroversial. Kategori pertama sejarah kontroversial adalah kontroversi terhadap sejarah yang terjadinya pada kurun waktu yang lama dari sekarang atau disebut juga sejarah nonkontemporer. Kategori kedua adalah sejarah kontroversial yang terjadinya pada masa kontemporer (Tsabit Azinar Ahmad, 2008).
Sejarah kontroversial kategori pertama menjadi bersifat kontroversial karena adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah. Secara umum, adanya perbedaan pandangan itu menurut tipologi Asvi Warman Adam (2007 b) hanya disebabkan adanya ketidaktepatan dan ketidaklengkapan fakta dan interpretasi yang dilakukan, dan biasanya ketidaktepatan itu muncul setelah ada beberpa sejarawan yang mengungkapkan ketidaktepatan itu menurut versi sejarawan itu. Artinya sifat kontroversial ini sangat tergantung dari sejarawan. Hal ini karena pada kategori ini tidak terdapat sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah, sehingga sejarawan memainkan peranan penuh dalam menuliskan suatu peristiwa sejarah.

Beberapa sejarah kontroversial untuk kategori pertama antara lain perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara, perdebatan antara Poerbatjaraka dan F.D.K. Bosch tentang dinasti yang terdapat di kerajaan Mataram lama, pendapat tentang masuknya Islam di Nusantara, sampai pada mitos tentang penjajahan nusantara selama 350 tahun. Kategori pertama ini tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam masyarakat.

Sejarah kontroversial kategori kedua adalah sejarah yang biasanya dimasukkan ke dalam kategori sejarah kontemporer. Sejarah kontemporer merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah (Notosusanto, 1978). Batasan kontemporer ini belum jelas, akan tetapi bila ditinjau dari saat ini peristiwa sejarah kontemporer adalah mulai tahun 1940-an.

Sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial karena kadar subjektivitas yang terkandung dalam sejarah kontemporer lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini (Tsabit Azinar Ahmad, 2007:3). Selain itu hal yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa masih banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Merujuk tipologi Asvi Warman Adam (2007 b), sejarah kontroversial yang termasuk ke dalam sejarah kontemporer disebabkan oleh tiga faktor sekaligus, yakni adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan dalam penyusunan suatu tulisan sejarah.

Ditinjau dari aspek pengaruhnya terhadap masyarakat, sejarah kontroversial kategori kedua memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh masyarakat. Hal ini karena peristiwa yang terjadi pada kurun sejarah kontemporer secara teoretis menjadi kajian yang lebih membuka peluang bagi masyarakat luas untuk mengulas dan memperoleh sumber-sumber berkaitan dengan masa tersebut secara lebih mudah. Ketersediaan sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah juga masih ada. Selain itu memori kolektif masyarakat tentang satu peristwa tersebut juga masih sangat kuat.

Permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat tentang satu pemahaman sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah benar adanya (Tsabit Azinar Ahmad, 2007). Adanya hal ini telah menyebabkan adanya satu hal yang memacu terjadinya pertentangan terhadap satu peristiwa sejarah ketika pada satu saat ditemukan fakta baru yang bertolak belakang dari pemahaman masyarakat selama ini diyakini.

Selain permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan metodologis, satu hal yang menyebabkan sejarah kontemporer itu cenderung bersifat kontroversial adalah adanya unsur kepentingan lain yang bermain di dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah atau dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu (Tsabit Azinar Ahmad, 2007). Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu.

Beberapa peristiwa sejarah kontemporer yang termasuk dalam sejarah kontroversial yang dapat dijadikan materi pembelajaran di kelas sejarah antara lain kontroversi tentang penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, peristiwa 17 Oktober 1952, Gerakan 30 September, perdebatan seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), peristiwa Malari 1974, permasalahan Timor-Timur, sampai dengan peristiwa seputar reformasi dan jatuhnya Soeharto pada 1998. Akan tetapi yang paling banyak diperdebatkan di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 (Asvi Warman Adam, 2007:14).

Kategorisasi sejarah kontroversial seperti yang dijelaskan di atas, tidaklah bersifat tertutup. Artinya ada kecenderungan munculnya peristiwa-peristiwa sejarah nonkontemporer yang memiliki sifat seperti sejarah kontemporer, seperti adanya peristiwa yang terjadi jauh dari masa sekarang yang memberi pengaruh terhadap masyarakat pada masa kini. Sejarah kontroversial nonkontemporer juga masih dapat memunculkan perdebatan dalam masyarakat ketika ada versi sejarah yang bertentangan dengan pemahaman sejarah masyarakat selama ini. Hal ini disebabkan proses sejarah telah menjadi konsensus di kalangan masyarakat. Contoh kasus seperti ini adalah tentang peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh raja Mataram yang membunuh tokoh agama pada abad XVII.

Selain kategorisasi yang dilakukan oleh Tsabit Azinar Ahmad (2008), ada pula kategorisasi sejarah kontroversial seperti yang diungkapkan oleh S. K. Kochhar (2008) dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Sejarah. S.K. Kochhar (2008:453) menjelaskan bahwa ada dua jenis isu kontroversial dalam sejarah, yakni (1) kontroversial mengenai fakta-fakta dan (2) kontroversial mengenai signifikansi, relevansi, dan interpretasi sekumpulan fakta. Isu kontroversial jenis pertama, yakni kontroversi mengenai fakta-fakta terjadi karena kurangnya data atau tidak masuk akalnya suatu penemuan. Di dalam isu kontroversial jenis ini pertanyaan berkaitan dengan “apa”, “siapa”, “kapan”, dan “di mana”. Di dalam sejarah Indonesia, permasalahan kontroversial yang termasuk dalam kategori ini adalah tentang siapa yang pertama kali membawa pengaruh India ke Nusantara, kapan Islam pertama masuk di Nusantara, dan sebagainya.

Jenis isu kontroversial kedua menurut S. K. Kochhar (2009) adalah kontroversi yang disebabkan oleh interpretasi. Hal ini karena pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan tidak ilmiah, bias, dan dipengaruhi prasangka. Kontroversi yang disebabkan oleh interpretasi berada pada pertanyaan tentang “mengapa” dan “bagaimana” peristiwa tersebut terjadi. Terkadang peristiwa atau fenomena dipelajari secara tertutup, sehingga interpretasi sejarawan terhadap suatu peristiwa bisa salah dan mengakibatkan kontroversi (Kochhar, 2008: 453-454). Permasalahan kontroversi karena perbedaan interpretasi sejarawan terjadi seperti ketika sejarawan-sejarawan mengeluarkan versi yang berbeda tentang peristiwa Gerakan 30 September. Ada sebagan sejarawan yang menyatakan bahwa permasalahan tersebut terjadi karena konflik internal di tubuh Angkatan Darat, ada pula yang menyatakan bahwa Suharto yang menjadi dalang. Sementara itu muncul pula teori tentang keterlibatan Sukarno atau CIA sebagai faktor yang utama. Kemudian yang tidak kalah penting adalah tentang berkembangnya “versi resmi” bahwa yang menjadi penggerak adalah Parai Komunis Indonesia.

Daftar Pustaka

Asvi Warman Adam. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Badudu, J.S. dan Sutan Muhammad Zein. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Penerjemah Purwanta dan Yofita Hardiwati. Jakarta: Grasindo.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya.

Tsabit Azinar Ahmad. 2007. ‘Yang Kontemporer Yang Kontroversial’. Dalam Majalah Sapiens Edisi Khusus bulan September-Oktober tahun 2007. hlm. 2-8.

--------. 2008. “Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas (Studi Kasus di SMA N 1 Banjarnegara)”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.







Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret


Critical pedagogy merupakan satu pendekatan dalam pendidikan yang menempatkan siswa untuk mampu menjawab pertanyaan dan menghadapi dominasi. Critical pedagogy dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena orientasi politiknya berlawanan dengan ideologi konservatif dan liberal (Agus Nuryatno, 2008:1). Jika dalam pandangan konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada (Mansour Fakih, 2001:xvi).

Critical Pedagogy merupakan pandangan yang bersifat transdisiplin dan banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikiran seperti Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, feminisme, poskolonialisme, postrukturalisme, media studies, cultural studies, anti-racis studies, dan posmodernisme, selain itu dipengaruhi oleh pemikiran dari Antonio Gramsci tentang pengetahuan dan hegemoni, serta Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:9; Agus Nuryatno, 2008:4). Sebagai pendekatan dalam pendidikan, critical pedagogy telah mulai muncul pada tahun 1960-an dan berkembang secara luas di Amerika Serikat sekitar 30 tahun yang lalu sebagai model pembelajaran yang menyediakan inovasi pembelajaran untuk pemberdayaan. Model ini mulai dikenalkan oleh Paulo Freire dan beberapa teoretisi pendidikan lain yang berpengaruh terhadap pembelajaran dan aktivitas di akar rumput, dan banyak mengawali transformasi pendidikan yang bertujuan untuk menghubungkan antara teori dan praktik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (Ochoa & Lassalle, 2008:2).

Di dalam pendidikan sejarah, critical pedagogy memiliki fungsi untuk mengubah ketidaksetaraan hubungan yang muncul akibat kekuasaan di dalam kelas maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, critical pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk mendekonstruksi struktur hirarkis yang melemahkan demokratisasi dalam kelas, dan melakukan redefinisi atas pengetahuan, dan memahami bagaimana pengetahuan itu dibuat dan mengubah ketidakadilan (Ochoa & Lassale, 2008:1).

Dalam bidang pendidikan sejarah, secara lebih operasional Kuntowijoyo (1995) menyatakan bahwa critical pedagogy pada dasarnya menyangkut tiga hal, yakni aspek (1) mengapa sesuatu terjadi, (2) apa yang sebenarnya terjadi, serta (3) ke mana arah kejadian-kejadian itu. Dari pemikiran tersebut, Tsabit Azinar Ahmad dkk., (2008: 12) menyatakan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah meliputi aspek (1) kausalitas, (2) kronologis, (3) komprehensif, serta (4) kesinambungan. Aspek kausalitas menggambarkan kondisi masyarakat dalam berbagai aspek yang turut melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis adalah urutan terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial, berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tesebut dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya.

Relevansi critical pedagogy dalam pendidikan sejarah, khususnya pembelajaran sejarah disebabkan pula oleh adanya kesamaan-kesamaan pandangan di antara keduanya. Persamaan pertama, keduanya memandang bahwa ada keterkaitan antara pendidikan dengan politik, bahwa ada dalam pendidikan terdapat kepentingan-kepentingan politik, begitu pula sebaliknya bahwa dalam aktivitas politik terdapat muatan-muatan edukatif. Persamaan kedua adalah keduanya tidak dapat melepaskan diri dari konteks yang melingkupinya. Pendidikan sejarah maupun critical pedagogy memandang bahwa kondisi sekitar, baik kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Pendidikan senantiasa mengaitkan antara realitas dengan konsep-konsep. Persamaan ketiga ditinjau dari tujuan yang dicapai, yakni keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni terbangunnya kesadaran kritis dari peserta didik atau masyarakat dalam melihat realitas yang menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak. Persamaan lain antara critical pedagogy dengan pendidikan sejarah adalah keduanya memiliki landasan yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan. Keadilan dan kesetaraan menjadi kata kunci yang penting dalam proses pemberdayaan masyarakat dan refleksi diri guna mencapai transformasi sosial.

Di dalam praksis pelaksanaan pembelajarannya, critical pedagogy menekankan pembelajaran sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya (problematizing) dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas fakta-fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis (Agus Nuryatno, 2008:6). Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai upaya memahami relasi antar kategori dalam membentuk realitas (Agus Nuryatno, 2008:6).

Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self reflection dan self actualization (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:10). Tahap refleksi mempertanyakan pertanyaan “mengapa sesuatu itu bisa terjadi” sementara tahap aktualisasi atau tahap kontekstualisasi menekankan pada pertanyaan “bagaimana keterkaitan dengan kehidupan di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”.

Oleh karena penekanannya pada aspek pengembangan peserta didik, pembelajaran berada pada pertanyaan how to think bukan what to think. Penekanan pada aspek what to think atau materi penting, tetapi proses atau metodologi untuk mendekati materi lebih penting. Dengan demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi pendapat, menjadi lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam proses tersebut akan terjadi kritisisme, sharing ideas, saling menghargai dan assesment terhadap pengetahuan (Agus Nuryatno, 2008:8).

Dalam critical pedagogy, guru tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilih otoritas kebenaran dan pengetahuan dan penguasa tunggal atas kelas. Guru dan murid sama-sama learner, subjek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam critical pedagogy tidak semata-mata hak prerogatif guru, kepala sekolah atau pala ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih dipilih dalam mengkonstruksi isi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar pendidikan lebih bermakna dan agar peserta didik paham dengan realitas hidup yang sebenarnya (Agus Nuryatno, 2008:7).

Posisi guru dalam critical pedagogy harus mampu mengarahkan peserta didik untuk memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal dengan istilah “praxis” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:7). Program yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical languages untuk menjelaskan dunia yang melingkupi kehidupan keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanannya, ada pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”, “bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam kehidupan masyarakat?” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:8).

Dalam perspektif critical pedagogy sejarah tidak bersifat unidimensional (Carr, 2008:86). Guru dan peserta didik harus memahami bahwa sejarah adalah multidimensional, sehingga dibutuhkan padangan yang multiperspektif bahwa sejarah adalah dilingkupi, didefinisikan, ditampilkan, dan dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Artinya terdapat aspek kesinambungan dalam sejarah dan adanya sifat sejarah yang multiinterpretasi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembelajarannya, guru harus perhatian terhadap konstruksi dan interpretasi yang beragam dari sejarah (Carr, 2008:86).

Daftar Pustaka

Agus Nuryatno, M. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis. Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

Carr, Paul R. 2008. “ “But Wahat Can I Do” Fifteen Things Education Students Can Do to Transform Themselves In/Throught/With Education. International Journal of Critical Pedagogy. Vol 1 (2) Summer 2008. Hlm 81-97.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya.

Lestyana, Pepi, Lavandez, Magaly & Nelson, Thomas. 2004. “Critical Pedagogy: Revitalizing and Democratizing Teacher Education”. Teacher Education Quarterly. Winter 2004. Hlm. 3-15.

Mansour Fakih. 2001. ‘Ideologi dalam Pendidikan, Sebuah Pengantar’. Kata pengantar dalam William F. O’neil. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Penerjemah Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ochoa, Enrique C. & Lassalle, Yvonne M. “Editor Introduction”. Radical History Review. Vol. 2008, No 102, Fall 2008. Hlm. 1-7. Dalam http://dukeupress.edu/journals/ (diunduh 14 Mei 2009)

Tsabit Azinar Ahmad, dkk. 2008. ‘Pendekatan Kritis dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas untuk Mewujudkan Kesadaran Sejarah Peserta Didik’. Karya Tulis Ilmiah. Disusun dalam KKTM Bidang Pendidikan Tingkat Nasional pada 17 Juli 2008.



Apa Itu New History?

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

New history
atau sejarah baru merupakan pendekatan dalam kajian dan penulisan sejarah. Sejarah tidak lagi dianggap sebagai sejarah politik semata-mata. Tetapi mulai berkembang adanya kajian-kajian dan tema-tema baru dalam penulisan sejarah, seperti sejarah tanaman, sejarah iklim, sejarah wanita, dan sejarah lainnya yang bertema baru. New history mulai berkembang dengan pesat pada tahun 1980-an di Amerika Serikat. Pendekatan ini menekankan sifat penulisan sejarah yang lebih multidimensional, yakni memandang sesuatu tidak hanya dari satu aspek saja tetapi dari berbagai segi.

Akar perkembangan new history yang pesat pada tahun 1980-an sebenarnya sudah mulai muncul pada akhir abad XIX. Pada dekade 1890-an sejarawan Amerika bernama Frederick Jackson Turner melancarkan kecaman terhadap sejarah tradisional. Kemudian pada tahun tahun 1912 muncul sejarawan James Harvey Robinson yang menganjurkan pemakaian ilmu sosial dalam penulisan sejarah. Dalam new history terdapat reapprochment antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Sebelumnya historiografi Amerika didominasi oleh aliran Rankean yang menekankan pada sejarah faktual. Kemudian dengan mulai berkembangnya pemakaian ilmu sosial dalam sejarah, berkembang juga tema-tema baru dengan tema-tema yang lebih beragam seperti sejarah pertanian, sejarah wanita, dan sebagainya. Robinson menggagas konsep sejarah baru, yakni sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan meramu ide-ide dari disiplin antropologi, ekonomi, psikologi, dan sosiologi.

Istilah new history tidak hanya berkembang dalam historiografi Amerika, tetapi juga dikenal dalam historiografi Perancis. Pada tahun 1920-an di Perancis ada istilah “sejarah jenis baru” yang dikembangkan oleh Marc Bloch dan Lucien Febvre dari Universitas Strasbourg dengan menerbitkan jurnal berjudul Annales d’histoire eqonomique et sociale yang mengkritik tajam sejarawan tradisional. Mereka ingin mengganti sejarah politik menjadi sejarah yang lebih luas dan manusiawi. Oleh karena itu sejarah bukan lagi semata-mata narasi mengenai kejadian-kejadian, tetapi analisis mengenai struktur. Kelompok ini kemudian dikenal dengan mazhab Annales. Mazhab Annales menekankan pada pendekatan holistik, interdisiplin, struktural, serta berbagai perkembangan penulisan dengan pendekatan yang baru. Dengan demikian muncul tema-tema baru dalam penulisan sejarah, seperti sejarah wanita, sejarah mentalitas, dan sebagainya.

HILANGNYA WANITA DALAM REVOLUSI KITA

KRITIK BUKU “SEJARAH NASIONAL INDONESIA” KARYA ANTHONY J.S. REID

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret


Buku Revolusi Nasional Indonesia karangan Anthony J.S. Reid membicarakan satu kurun waktu yang disebut dengan masa revolusi (1945-1950). Masa revolusi merupakan salah satu bagian dari rentangan sejarah bangsa Indonesia memiliki peran sentral dalam pembentukan negara Indonesia. Pada masa revolusi, dinamika perkembangan Indonesia sangat terlihat. Hal ini disebabkan pada masa revolusi perkembangan sejarah mengalami perubahan yang sangat cepat. Tercatat beberapa peristiwa penting yang menentukan jalannya Indonesia ke depan terjadi pada masa revolusi ini. Berbagai penyerangan dan peperangan mempertahankan kemerdekaan, perjuangan diplomasi, sampai pada permasalahan dinamika politik dan masyarakat terjadi pada masa ini.

Dalam revolusi nasional tahun 1945-1949, sejarah memperlihatkan masa perundingan dan kebuntuan yang lama diantara pihak-pihak Indonesia-Belanda, yang diselingi oleh masa pertempuran yang lebih pendek. Tempat perundingan itu berpndah-pindah dari Indonesia ke Belanda dan kemudian ke markas PBB di New York, sementara garis front Republik di bawah tekanan Belanda terpaksa berpindah dari kota-kota besar ke daerah pedalaman. Dalam bagian pertama tahun 1949, pada akhirnya garis front itu tidak ada lagi ketika Belanda merebut ibukota Republik di Yogyakarta.

Reid mengawali bahasannya dengan memberikan gambaran tentang awal mula masa pergerakan yang mengantarkan Indonesia pada perubahan pendekatan perjuangan, dari perjuangan yang semata-mata mengandalkan pertempuran fisik menjadi perjuangan wacana dan pemikiran melalui organisasi-organisasi yang terstruktur dan modern. Modernisasi pemikiran yang muncul dan berkembang dengan sangat cepat pada awal abad XX telah menyulut semangat nasionalisme masyarakat untuk melakuan gerakan melawan tirani pemerintahan Hindia Belanda.

Bagian kedua menjelaskan tentang proklamasi Indonesia yang menuliskan tentang proses menjelang proklamasi sampai bulan-bulan awal setelah proklamasi. Sementara itu, bagian ketiga mengulas tentang kedatangan awal sekutu di Indonesia. Pada bagian ini Reid menjelaskan dengan cukup jelas, tentang posisi Belanda setelah menjadi pemenang perang dunia II, yang memiliki hasrat untuk kembali menguasai Indonesia. Pada bagian keempat menjelaskan tentang revolusi sosial. Bagian ini menjelaskan tentang terjadinya pergolakan di daerah-daerah, terutama di kalangan masyarakat di desa-desa. Bagian kelima menjelaskan tentang politik nasional dalam republik pada tahun 1946-1947. Bagian ini menjelaskan adanya peran organisasi-organisasi pemuda, partai-partai politik, seperti Partai Buruh, Masyumi, PNI, serta berbagai konstelasi politik yang menjelaskan tentang peranan beberapa tokoh, seperti Tan Malaka. Pembahasan tentang peran Tan Malaka merupakan sebuah kajian yang cukup menarik, karena dalam buku-buku lain, penjelasan tentang peran Tan Malaka, sangat minim, bahkan dikatakan tidak pernah diangkat, padahal Tan Malaka merupakan tokoh yang telah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Bagian keenam tentang “Mengepung Republik” berisikan penjelasan tentang agresi dan daya upaya yang dilakukan oleh Belanda dalam upaya menguasai kembali Indonesia. Bagian keenam menjelaskan tentang reformasi pemerintah dan revolusi komunis. Dan pada akhirnya buku ini ditutup dengan penjelasan tentang kemenangan strategi diplomasi yang dilakukan oleh pihak Indonesia.

Selain mengulas tentang berbagai peristiwa seputar revolusi, buku ini menyajikan pula ulasan-ulasan tentang buku-buku yang menuliskan tentang kajian yang sama. Penulis mungkin ingin pembaca buku ini melakukan perbandingan antara tulisan yang dihasilkan dengan karya-karya dengan tema sejenis. Selain itu, buku ini dilengkapi pula oleh ilustrasi yang berisi foto-foto tentang peristiwa seputar revolusi.

Sejarah Nasional Indonesia sebagai Sejarah Naratif
Buku yang ditulis Reid pada teks aslinya diterbitkan pada tahun 1974 dengan judul The Indonesian National Revolution, sehingga ketika diterbitkan dalam edisi Indonesia pada tahun 1996, buku ini belum memuat penelitian-penelitian mutakhir tentang sejarah revolusi Indonesia. Namun demikian, sebagai sebuah referensi, buku ini patut dijadikan acuan bagi berbagai kalangan untuk memahami masa revolusi Indonesia.

Reid menggunakan pendekatan sejarah naratif sebagai model penjelasan sejarah dalam bukunya. Sejarah naratif adalah menulis sejarah secara deskriptif, tetapi bukan sekadar penjelasan fakta (Kuntowijoyo, 2008:147). Seperti tulisan sejarah naratif yang terdiri atas tiga syarat, yakni colligation, plot, dan struktur sejarah, Reid juga memberikan penjelasan dalam buku ini menggunakan tiga syarat tersebut. Pada tahap colligation yang bertujuan untuk mencari hubungan dalam antar peristiwa sejarah, Reid dengan cukup jelas memberikan keterkaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya dalam buku ini, seperti keterkaitan antara berkembangnya pendidikan dengan munculnya elit baru sebagai motor penggerak pergerakan, serta menjelaskan secara logis bagaimana posisi Belanda yang segera ingin kembali ke Indonesia setelah kemenangan sekutu pada perang dunia II.

Syarat yang kedua dalam sejarah naratif adalah pembangunan plot. Plot adalah cara mengorganisasikan fakta-fakta menjadi satu keutuhan (Kuntowijoo, 2008:148). Dalam bukunya, Reid mencoba untuk memberikan satu rangkaian fakta yang dihimpun dalam tema-tema. Dalam buku ini tema-tema besar yang merupakan gabungan dari fakta-fakta yang telah disusun secara runtun dan bersinambung ini di-ejawantah-kan dalam bab-bab tresendiri, seperti tentang “Pendahuluan Revolusi”, “Proklamasi Republik”, sampai bab terakhir tentang “Kemenangan Demokrasi”. Tiap-tiap bab dalam buku ini menceritakan tentang fakta-fakta yang diikat dalam kesatuan tema tetentu. Pada tahap ini Reid melakukan proses interpretasi dan eksplanasi. Namun demikian, kelemahan dalam tahapan ini pada buku Reid adalah adanya percampuran antara fakta dan opini. Terkadang Reid melakukan interpretasi secara berlebihan yang justru menjadi kelemahan. Contoh ketercampuradukan antara fakta dan opini terlihat dalam teks berikut

Pemerintahan di semua karesidenan utama berada di tangan Republik di pertengahan bulan Oktober. Namun Mr. hasan, seorang pejabat pmerintahan yang sebelumnya tidak dikenal di Sumatera bagian selatan dan tengah, tidak pernah mampu menegakkan kekuasaanya atas semua daerah dan kebudayaan yang berbeda-beda di pulau itu. Adalah suatu pemberian Tuhan bagi persatuan Indonesia di kemudian hari bahwa Tentara ke 25 tidak menggunakan kesempatan lebih baik untuk membangun suatu pimpinan di Sumatra tersendiri. (Reid, 1996: 60)

Pada paragraf di atas, terjadi percampuran antara fakta dan opini. Konteks tulisan tersebut adalah kodisi awal di Indonesia setelah proklamasi, terutama di daerah Sumatera. Di sini, Reid memberikan penjelasan yang amat dangkal bahwa tidak didirikannya pemerintah oleh Jepang di Sumatera yang pada saat itu berada pada kondisi rentan hanya karena pemberian Tuhan. Oleh karena itu, dalam diperlukan kehati-hatian dan kecermatan dalam membaca dan upaya pembandingan dengan karya-karya yang lain.

Pada tahap ketiga dalam sejarah naratif adalah struktur sejarah. Struktur sejarah bertujuan untuk melakukan rekonstruksi secara akurat. Dalam buku ini Reid juga melakukan tahapan struktur sejarah dengan memberikan kesatuan cerita secara kronologis untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan berkaian dengan masa revolusi.

Penulisan buku ini menekankan pada aspek sejarah yang bersifat nasional. Kelemahannya penulisan sejarah yang bersifat nasional antara lain adalah penulisan sejarah ini tidak mampu untuk merekam peristiwa-peristiwa yang bersifat khusus dan dalam lingkup kecil. Namun demikian, dalam buku ini disajikan pula tema yang tidak hanya menceritakan sejarah yang bersifat nasional, tetapi permasalahan sejarah sosial. Bagian ini tertuang dalam bab tersendiri, yakni dalam bab tentang “Revolusi Sosial”. Tema ini jarang ditemukan dalam buku-buku serupa, termasuk dalam buku Goeroge Mc Turnan Kahin tentang Nasionaisme dan Revolusi Indonesia.

Hilangnya Peran Wanita: Sebuah Kritik
Dalam buku ini, kelemahan yang disoroti dalam tulisan ini adalah ketimpangan gender, yakni seolah-olah dalam buku ini wanita tidak memiliki peran dalam sejarah revolusi Indonesia. Permasalahan hilangnya wanita dalam revolusi Indonesia menjadi titik tekan dalam tulisan ini. Padahal sudah ada tulisan yang memberikan kajian tentang peran wanita dalam sejarah revolusi Indonesia. Anton Lucas dan Robert Cribb menulis sebuah tulisan berjudul “Peran Wanita dalam Revolusi Indonesia: Sebuah Renungan Sejarah”. Tulisan ini sebagai makalah dalam konferensi internasional tentang revolusi nasional pada tahun 1995 dan telah dibukukan pada tahun 1997 dengan judul Denyut nadi Revolusi Indonesia. Peran wanita dalam revolusi juga terdapat dalam buku yang disunting oleh Colin Wild dan Peter Carey berjudul Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Di dalam buku yang diangkat dari serangkaian wawancara di radio BBC Inggris dalam rangka 40 tahun proklamasi terdapat wawancara dengan Surasti Karma Trimurti atau S.K. Trimurti.

Tidak adanya segi pandangan wanita terhadap revolusi Indonesia mendapat perhatian kritis dari Chrstine Dobbin pada tahun 1979. Secara relatif, sedikit sekali wanita yang menginggalkan kisah pengalaman mereka di masa revolusi Indonesia. Umumnya, mereka kurang terlibat dalam kejadian sejarah yang mendapatkan perhatian besar dalam penulisan sejarah Indonesia, dan mereka jarang berada di dalam posisi kekuasaan dan pengaruh yang besar, sehingga jarang orang tertarik mencatat pengalaman hidup para wanita, termasuk dalam buku Reid ini.

Anton Lucas dan Robert Cribb (1997) merangkum berbagai bentuk kesaksian yang dituliskan oleh para mantan pejuang wanita. Dalam kurun waktu lima tahun perjuangan revolusi antara tahun 1945 dan 1949, peranan wanita menjadi bertambah luas. Hal ini karena peraturan etika dan perilaku sosial antar jenis telah menjadi semakin terbuka dan menjadi kurang formal. Kekacauan politik dan sosial yang terjadi pada masa revolusi memberikan kesempatan wanita untuk bertindak dalam berbagai aktivitas. Peranan mereka dalam masyarakat telah bertambah luas, dan mereka sering kali harus memikul tanggung jawab baru yang dilemparkan di pundak mereka.

Peran wanita dalam revolusi terlihat dari aktivitasnya dalam organisasi pemuda. Reid dalam bukunya menjelaskan bahwa ada peran golongan pemuda dalam revolusi. Namun lagi-lagi Reid tidak menyebutkan adanya peran wanita. Reid hanya menjelaskan tentang organisasi pemuda yang berafiliasi dengan angkatan darat, organisasi Pemuda Sosialis Indonesia, serta beberapa organisasi lainnya. Padahal ada beberapa organisasi yang hanya mengkhususkan hanya beranggotakan wanita. Organisasi itu pada umumnya berbasis di kota dan menghimpun para wanita yang berpendidikan yang tinggal di kota besar, terutama di Surakarta dan Yogyakarta. Di kota-kota besar seperti Surabaya gadis-gadis yang masih duduk di sekolah lanjutan atas bekerja sebagai anggota palang merah Indonesia yang baru dibentuk. Selain itu ada pula wanita yang ikut serta dalam perjuangan.

Buku Reid yang membahas tentang partai-partai politik juga tidak menyebutkan peran wanita dalam partai-partai politik tersebut. Padahal menurut kesaksian dari S.K. Trimurti, pada tahun 1946 dirinya dengan beberapa orang mendirikan partai bernama partai buruh Indonesia yang berpusat di Yogyakarta, dan dia menjadi salah seorang dewan pimpinan pusat. Dalam buku Atrhony Reid, bahasan tentang partai buruh sebatas perannya sebagai partai oposisi dan hubungannya dengan Iwa Kusuma Sumantri. Peran S.K. Trimurti dalam sejarah Indonesia tidaklah sedikit. Setelah proklamasi S.K. Trimurti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia yang mendapat tugas untuk membentuk Komite Nasional Indonesia di Jawa Tengah. Kemudian ia bertugas di Badan Pekerja Komite Nasional Pusat sebagai badan eksekutif bentukan Komite Nasional.

Selanjutnya berkaita dengan aktivitas wanita dalam revolusi Anton Lucas dan Robert Cribb menjelaskan bahwa ada wanita yang merasa menjadi bagian dari revolusi karena apa yang dilakukan oleh suami mereka, yang lainnya adalah karena mereka tidak memiliki tanggung jawab keluarga, sehingga dapat ikut serta dalam perlawanan revolusi dalam bentuk yang lebih langsung. Hal ini tidak ditemukan dalam bahasan Anthony J.S. Reid dalam tulisannya tentang Revolusi Nasional Indonesia. Salah seorang peuang wanita yang dikisahkan oleh Anton Lucas dan Robert Cribb adalah kisah dari Ibu Rusmi yang ikut serta dalam kesatuan gerilya yang seluruhnya terdiri atas pria.

Selain peran wanita dalam aspek pertempuran pada masa revolusi, patut pula diperhatikan peran wanita dalam aspek informal pada saat revolusi. Sejarah kehidupan keseharian wanita pada masa revolusi sangat menarik karena terjadi berbagai macam perubahan akibat seringanya melakukan pengungsian. Banyak wanita di Jawa yang ikut serta dalam perjuangan harus meninggalkan rumah tangga mereka dengan segera, membawa anak-anak mereka berjalan kaki, pada saat Belanda secara berangsur-angsur memperluas daerah pendudukan mereka di Jawa. Banyak wanita dan anak-anak yang mengalami penderitaan seperti ini di seluruh pulau Jawa. Pada masa itu, wanita juga melahirkan anak-anak, mencoba memberi makan keluarga ketiga berpindah-pindah, mengganti pakaian kain batik dengan pakaian yang lebih praktis yang terbuat dari kain blacu, mengubah tatanan rambut mereka, serta menggulangi tragedi-tragedi yang amat menyedihkan seperti kematian bayi dan balita, atau meninggalnya orang tua. Pada saat persediaan dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Bahasan ini luput dari kajian Reid dalam salah satu temanya yang mengulas tentang revolusi sosial.

Dari berbagai kritik yang telah disampaikan di atas berkaitan dengan peran wanita pada masa revolusi yang tidak muncul dalam buku Anthony J.S. Reid, hal ini menunjukkan bahwa pada saat Reid menuliskan bukunya perhatian terhadap wanita masih minim. Walaupun tulisan Reid lebih mengarahkan pada permasalahan revolusi nasional, bukan berarti peran dan posisi wanita tidak dimunculkan, apaagi dalam salah satu bahasannya, Reid memasukkan kajian tentang revolusi sosial, di mana peran wanita dapat dimunculkan di sana.

DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana

Lucas, Anton dan Cribb, Robert. 1997. “Peran Wanita dalam Revolusi Indonesia: Sebuah Renungan Sejarah”. Dalam Panitia Konferensi Internasional Revolusi Nasional: Kajian, Kenangan, dan Renungan (Penyunting). 1997. Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wild, Colin dan Carey, Peter (Penyunting). 1986. Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.


Minggu, 10 Mei 2009

Mandiri dan Integral: Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Pendahuluan

Gerakan 30 September, peristiwa seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Serangan Umum 1 Maret 1949, lahirnya Pancasila, lahirnya Orde Baru, dan Integrasi Timor-Timur, merupakan beberapa peristiwa sejarah yang bersifat kotroversial. Sejarah yang bersifat kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Dikatakan kontroversial karena antara pendapat satu dengan pedapat lainnya masing-masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat (Ahmad, 2008:10). Sejarah kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa dikalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.

Pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial dengan memberikan argumentasi yang kuat dan logis tentang pendapat-pendapat yang berbeda itu memiliki beberapa tujuan. Abu Su’ud (1993:20-21) menyatakan bahwa pengembangan pola isu kontroversial dalam kelas sejarah bertujuan untuk mencapai (1) peningkatan daya penalaran, (2) peningkatan daya kritik sosial, (3) peningkatan kepekaan sosial, (4) peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, (5) peningkatan keberanian pengungkapan pendapat secara demokratis, serta (6) peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

Pada praksis pelaksanaan pembelajarannya, upaya untuk mengajarkan sejarah yang bersifat kontroversial masih merupakan hal yang relatif baru. Pembelajaran yang baru ini berlaku pada materi-materi kontroversial yang muncul setelah reformasi. Hal ini memberikan serangkaian kemungkinan bahwa dalam pengajarannya banyak ditemukan kendala, baik bersifat sistemik maupun teknis. Beberapa permasalahan yang ditemui dalam dunia pendidikan sejarah adalah masih terus berkembangnya permasalahan-permasalahan klasik dalam pengajaran sejarah.

Asvi Warman Adam dalam pengantar buku terjemahan dari Sam Wineburg (2006:ix-xix) mengidentifikasi beberapa kelemahan dalam pendidikan sejarah di Indonesia, yaitu adanya paradigma berpikir bahwa belajar sejarah sebatas pada hapalan tanggal, nama dan tokoh pada masa lalu. Selain itu ditinjau dari aspek guru terdapat kecederungan bahwa kemampuan guru adalah lemah, terutama dalam bidang evaluasi. Hal yang tak kalah penting menurut Adam (2006) adalah adanya seperangkat kebijakan yang disusun pemerintah masih belum membuka peluang yang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis. Hal ini nampak dari adanya intervensi yang berlebih dari pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965. Munculnya kenyataan seperti ini merupakan salah satu hal yang menghilangkan kaidah sejarah sebagai ilmu, sekaligus menjadikan sejarah sebagai alat indoktrinasi untuk menghasilkan pengikut yang penurut (Purwanto, 2006:270).

Berkaitan dengan materi pembelajaran sejarah kontroversial, peristiwa yang paling banyak diperdebatkan di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 (Adam, 2007:14). Berkaitan dengan hal tersebut Purwanto (2001) menjelaskan bahwa “... in fact many controversies in Indonesia history during the last fifty years. Four of them, Serangan Umum Satu Maret (1 March Attack) of 1949, Gerakan 30 September (30 September Movement) of 1965, Surat Perintah Sebelas Maret (11 March Instruction) of 1966, and social-political role of Indonesian armed forces...” (Purwanto, 2001:112).

Peristiwa Gerakan 30 September merupakan sejarah yang paling kontroversial karena di dalamnya terdapat beberapa versi tentang siapa sebenarnya yang berada di balik itu semua. Apakah PKI, Sukarno, Soeharto, klik Angkatan Darat, CIA, sampai dengan kemunculan teori chaos, semuanya menjadi satu hal yang baru dalam pendidikan sejarah pada saat ini (Bandingkan, Adam, 2007 b: 61-75; Adam a, 2007; Soetrisno, 2006: 19-34). Selain itu peristiwa pembantaian setelah gerakan tersebut juga masih menjadi tanda tanya besar.

Pemahaman yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan peristiwa seputar Gerakan 30 September selama ini adalah bahwa yang menjadi dalang peristiwa tersebut adalah PKI. Hal ini terutama didukung dengan adanya buku tentang peristiwa Gerakan 30 September yang diterbitkan oleh Kesekretariatan Negara atau yang sering disebut dengan “Buku Putih” (Sekretariat Negara, 1994). Dengan adanya pendapat-pendapat baru berkaitan dengan masalah G 30 S telah menjadikan peristiwa ini menjadi peristiwa sejarah yang sangat kontroversial, bahkan paling kontroversial dalam periode sejarah Indonesia modern.

Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan kewenangan pada Soeharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai stabilitas nasional yang pada akhirnya mengantarkan dirinya sebagai presiden Republik Indonesia kedua, juga masih menyisakan berbagai pertanyaan. Hal ini dikarenakan sampai sekarang keberadaan surat tersebut dan hal ikhwal tentang isinya juga masih sangat misterius.

Sampai sekarang ada tiga naskah Supersemar yang beredar, dua versi seperti yang terdapat dalam 30 Tahun Indonesia Merdeka (Sekretariat Negara, 1985), di mana Supersemar hanya terdiri dari satu halaman, dan versi ketiga adalah seperti yang terdapat dalam biografi Jendral M. Yusuf, di mana naskah itu terdiri dari dua halaman (Sumarkidjo, 2006). Namun demikian pada dasarnya isi dari ketiga naskah tersebut sama, hanya ada perbedaan dalam hal penulisan. Namun demikian adanya tiga naskah Supersemar sangat membingungkan masyarakat. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah “manakah diantara ketiga naskah tersebut yang benar-benar asli?”

Kontroversi lain yang berkembang seputar Supersemar selain otentisitas naskah adalah tentang proses keluarnya Supersemar dan dampak dari keluarnya Supersemar. Tentang proses keluarnya Supersemar, kontroversi yang bererdar adalah tentang pertanyaan-pertanyaan “apakah Sukarno mengeluarkan Supersemar dengan tanpa tekanan?”, “siapa pengetik Supersemar?” (Wardaya, 2007:20).

Kemudian bekaitan dengan dampak sesudah Supersemar, beberapa kontroversi yang muncul adalah “bagaimana sebenarnya sifat dari Supersemar, apakah teknis atau politis?”, “apakah Supersemar bersifat sebagai transfer authority?” (Wardaya, 2007:112).

Materi tentang Gerakan 30 September dan Supersemar inilah yang akan dijadikan objek penelitian tentang bagaimana tipe pembelajaran yang dilakansanakan oleh guru. Pemilihan materi tersebut disebabkan oleh beberapa alasan, yakni (1) kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial, (2) peristiwa tersebut terjadi dalam periode waktu yang sama dan kronlogis apabila ditinjau dari perkembangan waktunya, (3) hubungan kausalitas antara kedua peristiwa tersebut sangat erat, (4) kedua peristiwa tersebut terjadi belum terlau lama dari masa sekarang, sehingga memudahkan dalam pencarian sumber, serta (5) sudah banyak terdapat kajian tentang kedua peristiwa tersebut secara ilmiah, sehingga memudahkan untuk melakukan upaya komparasi sekaligus memperkaya wacana tentang peristiwa tersebut.

Dari pemikiran di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana pembelajaran materi G 30 S dan Supersemar di Sekolah Menengah Atas, serta bagaimana tipe-tipe pembelajaran sejarah kontroversial di Sekolah Menengah Atas. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menganalisis pembelajaran materi tentang G 30 S tahun 1965 dan Supersemar di Sekolah Menengah Atas dan mengidenifikasi dan menganalisis pembelajaran sejarah kontroversial di Sekolah Menengah Atas. Secara teoretis, penelitian ini dapat dijadikan suatu kajian ilmiah tentang tipe-tipe pembelajaran sejarah kontroversial. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa gambaran tentang tipe pembelajaran sejarah kontrobersial. Bagi pemerintah dapat menjadi satu masukan tentang penentuan kebijakan pendidikan yang menekankan aspek berpikir kritis pada peserta didik.
Pembelajaran Materi G 30 S tahun 1965 dan Supersemar

Penelitian ini mengambil contoh materi tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar yang akan dianalisis bagaimana pembelajarannya dalam kelas sejarah di SMA. Pada pelaksanaannya kedua materi tersebut merupakan materi yang saling berurutan karena keduanya selain terjadi dalam waktu yang berurutan juga merupakan satu kesinambungan peristiwa, yakni peristiwa akhir pemerintahan Orde lama di bawah kepemimpinan Sukarno dan awal berdirinya kepemimpinan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Di SMA kedua materi tersebut diajarkan pada dua kelas yang berbeda, yakni pada kelas XI program IPA semester II dan kelas XII program IPS semester I.

Pada program Bahasa, pada dasarnya Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar untuk materi tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar sama dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar bagi program IPA, hanya saja kelasnya yang berbeda, yakni pada kelas XII semester I. Akan tetapi karena di SMA N 1 Banjarnegara tidak terdapat program bahasa maka dalam penelitian ini hanya akan dipaparkan perbedaan pembelajaran untuk materi G 30 S/PKI dan Supersemar pada program IPA dan IPS. Namun demikian walaupun hanya dipaparkan dua perbedaan tetap tidak mengurangi komprehensivitas kajian. Hal ini dikarenakan pada program IPA dan Bahasa, SK dan KD-nya sama, dan hanya berbeda pada kelasnya saja, sehingga ada kecenderungan kesamaan dalam pelaksanaan pembelajarannya.

Pada progam IPA, pembahasan tentang kontroversi Gerakan 30 September dan Supersemar termasuk dalam standar kompetensi yang sama, yakni “merekonstruksi perjuangan bangsa Indonesia sejak masa proklamasi sampai masa reformasi” yang diajarkan pada semester genap. Sementara itu, kedua materi tersebut termasuk dalam kompetensi dasar “menganalisis pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin sampai lahirnya Orde Baru”. Indikator pada bahasan tentang kontroversi Gerakan 30 September adalah “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI” yang diajarkan selama dua kali pertemuan atau empat jam pelajaran. Sementara itu pada bahasan tentang kontroversi Supersemar tidak berdiri sendiri, tetapi termasuk dalam materi lain yakni tentang “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI”. Dengan demikian tidak ada alokasi khusus untuk pembahasan Supersemar. Alokasi untuk materi “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI” yang membahas bahasan tentang kontroversi Supersemar hanya satu kali pertemuan atau dua jam pelajaran.

Pada program IPS, pembelajaran kontroversi Gerakan 30 September dan Supersemar termasuk dalam standar kompetensi “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya Orde Baru”. Akan tetapi, masing-masing bahasan tersebut memiliki kompetensi dasar yang berbeda. Pada bahasan tentang kontroversi Gerakan 30 September, materi ini termasuk dalam standar kompetensi “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya Orde Baru” dan pada kompetensi dasar “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia dalam memperta­hankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI)”. Indikator untuk materi ini adalah (1) menganalisis terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (2) membandingkan dua pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (3) mendeskripsikan dampak soaial politik dari peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, dan (4) mendeskripsikan proses peralihan kekuasaan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI. Dari indikator tersebut, materi yang membahas kontroversi Gerakan 30 September padaprogram IPS dialokasikan waktu sebanyak empat kali pertemuan atau delapan jam pelajaran.

Sama halnya dengan pelaksanaan pengajaran tentang kontroversi Supersemr di program IPA, pada pembelajaran di Program IPS, materi Supersemar tidak berdiri sendiri tetapi termasuk dalam materi lain yakni tentang “Proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI”. Alokasi untuk materi tentang proses peralihan kekuasaan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI adalah 1 kali pertemuan atau 2 jam pelajaran.

Dari deskripsi di atas terlihat bahwa perbedaan yang paling menonjol antara pembelajaran materi tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar pada kelas IPA dan IPS adalah terletak pada pembelajaran materi tentang peristiwa Gerakan 30 September. Sementara itu, pembelajaran tentang materi Supersemar di kedua kelas tersebut sama-sama merupakan materi yang tidak berdiri sendiri, tetapi masuk dalam materi yang lain. Akan tetapi, hal yang sangat menonjol adalah bahwa pembelajaran sejarah kontroversial di kelas IPA dan IPS adalah bahwa pembelajaran materi sejarah di kelas program IPS lebih padat dan lebih terperinci. Hal ini mengingat sejarah pada program IPS adalah materi pokok, sementara itu di program IPA sejarah bukan materi pokok, sehingga wajar ketika pembelajaran sejarah di program IPS lebih banyak materi dan rinciannya, sementara di program IPA hanya digambarkan secara umum saja dan tidak mendalam seperti di IPS.


Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Dari hasil penelitian, ternyata ditemukan dua kategorisasi tipe pembelajaran sejarah kontroversial. Tipe tersebut adalah (1) pembelajaran dengan materi sejarah kontroversial yang mandiri, dan (2) pembelajaran materi sejarah kontroversial yang terintegrasi dengan materi lain. Pembelajaran tipe mandiri adalah pembelajaran yang dilakukan terhadap materi yang memiliki alokasi waktu khusus. Pembelajaran sejarah kontroversial yang termasuk dalam kategori mandiri contohnya adalah pembelajaran tentang peristiwa Gerakan 30 September. Materi ini secara khusus dirancanang oleh guru, memiliki tujuan yang spesifik, dan memiliki alokasi waktu tersendiri. Materi yang diajarkan secara mandiri dinilai memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat dan memberikan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga perlu dajarkan dalam materi tersendiri.

Pelaksanaan pembelajaran materi G 30 S/PKI di SMA N 1 Banjarnegara tujuan yang hendak dicapai adalah bahwa dengan pembelajaran siswa diharapkan (1) mampu menganalisis terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (2) siswa mampu membandingkan dua pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (3) siswa mampu mendeskripsikan dampak sosial politik dari peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, serta (4) siswa mampu mendeskripsikan proses peralihan kekuasaan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI.

Tujuan dari pembelajaran tersebut diturunkan dari indikator yang sebelumnya telah disusun oleh guru, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Akan tetapi, sebelum memasuki materi yang berkaitan dengan peristiwa tahun 1965 itu, ada beberapa tujuan dari pelaksanaan pembelajaran tentang peristiwa sebelum terjadinya Gerakan 30 September, yakni tentang (1) siswa mampu mendeskripsikan gejolak sosial di berbagai daerah pada awal kemerdekaan, serta (2) siswa dapat mendeksripsikan hubungan disintegrasi bangsa dengan terjadinya pergolakan dan pemberontakan. Dua tujuan inilah yang menjadi landasan awal bagi guru untuk kemudian melanjutkan materinya dengan pokok bahasan tentang peristiwa tahun 1965.

Sementara itu, di Kota Semarang, berdasarkan Lembar Ujian Kompetensi Siswa yang disusun oleh MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sejarah, indikator pencapaian pada materi peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 adalah (1) Mengidentifikasi strategi politik PKI masa demokrasi liberal dan terpimpin, (2) Mengidentifikasi aksi-aksi sepihak PKI sebelum G 30 S/PKI 1965, (3) Menunjukkan kaitan antara gerakan 30 September dengan dewan revolusi, (4) Menjelaskan gerakan 30 September PKI telah melakukan perebutan kekuasaan yang sah, (5) Mengientifikasi nama-nama dalang di balik gerakan 30 September PKI, (6) Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen Gilchrist, (7) Menerangkan prosesi pengangkatan jenazah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya, (8) Menyebutkan upaya-upaya penumpasan G 30 S/PKI 1965, (9) Menjelaskan akibat sosial politik G 30 S/PKI 1965, (10) Mengidentifikasi adanya bahaya laten komunis.

Sementara itu tipe pembelajaran kedua atau materi yang terintegrasi contohnya adalah materi tentang Supersemar. Pembelajaran tipe integral adalah pembelajaran yang dilakukan terhadap materi yang tidak memiliki alokasi waktu khusus, sehingga pembelajrannya terintegrasi pada materi lainnya. Materi yang terintegrasi ini tidak memiliki indikator dan tujuan pembelajaran yang khusus bagi materi tersebut, tetapi termasuk dalam indikator materi yang lain. Materi pada pembelajaran tipe kedua ini juga tidak memiliki alokasi waktu yang khusus. Oleh karena peristiwa sejarah kontroversial ini menjadi materi yang terintegrasi dalam materi pokok tertentu, akibatnya tidak ada evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik kaitannya dengan pemahaman terhadap peristiwa tersebut. Evaluasi yang dimaksud di sini adalah penilaian tertulis padakhir pokok bahasan atau akhir satu kompetensi dasar. Evaluasi yang digunakan hanya evaluasi yang bersifat penilaian proyek untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta didik dan pencapaian tujuan pembelajaran pada materi tentang suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial.

Munculnya peristiwa kontroversi yang diajarkan secara khusus dan yang diajarkan dengan terintegrasi pada materi yang lain karena pada materi yang diajarkan secara mandiri dinilai memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat. Pengaruh yang dimasksud adalah peristiwa Gerakan 30 September memberikan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Korban-korban dari tragedi tersebut jelas. Sementara itu unuk materi yang bersifat terintegrasi seperti pembahasan tentang Supersemar adalah dikarenakan bahwa Supersemar dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara langsung bagi masyarakat. Supersemar hanya menjadi bagian dari suatu peristiwa yang lebih besar, yakni berakhirnya pemerintahan Sukarno dan berdirinya pemerintahan baru di bawah pimpinan Soeharto.

Munculnya dua tipe pembelajaran ini memunculkan beberapa kendala. Pada pembelajaran untuk materi tentang Supersemar untuk program IPS dan IPA, pada dasarnya mengalami kendala yang tidak terlalu berbeda. Hal ini dikarenakan pada kedua program tersebut upaya untuk mengajarkan kontroversi Supersemar tidak berdiri sendiri sebagai materi, tetapi terintegrasi dalam materi yang lain. Dengan demikian, kendala utama yang ditemui adalah tenang alokasi waktu yang digunakan untuk mengajarkan kontroversi Supersemar. Pada bahasan tentang Supersemar, tidak ada tujuan pembelajaran yang disusun secara khusus untuk peristiwa tersebut. Selain itu tidak ada pula evaluasi yang secara spesifik mengetahui tingkat keberhasilan peserta didik tentang kontroversi Supersemar.

Dari hasil penelitian, untuk mengatasi permasalahan tersebut, guru melakukan upaya dengan memasukkan penjelasan supersemar dalam materi yang lainnya untuk mengatasi ketiadaan alokasi waktu yang khusus mengulas permasalahan tentang Supersemar. Pada program IPS, guru memasukkan penjelasan kontroversi Supersemar pada materi “menganalisis perkembangan pemerintahan Orde Baru”. Oleh karena tidak adanya alokasi khusus pada bahasan tentang Supersemar, guru memasukan bahasan Supersemar sebagai salah satu hal yang turut berperan dalam perkembangan pemerintahan Orde Baru.

Pada program IPA upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi permasalahan alokasi waktu adalah dengan memasukkan bahasan tentang supersemar dalam materi utama tentang “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI”. Dalam hal ini guru berupaya untuk menjelaskan posisi Supersemar sebagai salah satu bagian dari peristiwa politik yang terjadi di Indonesia setelah peristiwa Gerakan 30 September. Antara kedua peristiwa tersebut memiliki hubungan yang saling berkaitan.

Guru memanfaatkan media massa dan internet untuk mendapatkan informasi kesejarahan terbaru. Dengan pemanfaatan media internet inlah guru juga berupaya untuk mengatasi kendala dalam hal akses informasi. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan minimnya alokasi waktu dalam pembelajaran yang mengulas permasalahan tentang Supersemar, guru mencoba untuk menggiatkan peserta didik belajar secara mandiri dengan memberikan penugasan berupa pencarian data di media massa atau internet. Penugasan inilah yang juga digunakan oleh guru sebagai bahan evaluasi.

Guru melakukan tukar pendapat dengan rekan sesama guru sejarah, baik di sekolah atupun rekan guru sejarah di sekolah lain untuk menyusun suatu perencanaan pembelajaran yang lebih bersifat menyeluruh. Dengan demikian, akan ada masukan-masukan terhadap perencanaan yang dilakukan oleh guru.


Simpulan

Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini memunculkan materi-materi tentang sejarah kontroversial, seperti Gerakan 30 September dan Supersemar. Dalam pembelajarannya, kedua materi tersebut sudah terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar tertentu pada program IPA, IPS, dan Bahasa. Pada pembelajarannya, ada dua tipe pembelajaran sejarah kontroverisal, yakni tipe mandiri seperti materi Gerakan 30 September dan tipe integral pada materi Supersemar. Kemunculan dua tipe ini dikarenakan materi yang diajarkan secara mandiri dinilai memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat dan memberikan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga perlu dajarkan dalam materi tersendiri. Sementara itu materi integral dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara langsung bagi masyarakat, dan hanya menjadi bagian dari suatu peristiwa yang lebih besar


DAFTAR PUSTAKA

Abu Su’ud. 1993. ’Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah (Sebuah Alternatif dalam Pengajaran Sejarah)’. Pidato Pengukuhan. Diucapkan pada penerimaan jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Semarang pada 23 Januari 1993.

Adam, Asvi Warman. 2006. “Pengantar Berpikir Historis Membenahi Sejarah”. Kata pengantar dalam Sam Wineburg. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan Mengajarkan Masa Lalu. Masri Maris (Penerjemah). Jakarta: Yayasa Obor Indonesia.

--------. 2007 a. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

--------. 2007 b. Pelurusan Sejarah Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Ahmad, Tsabit Azinar, dkk. 2008. ‘Pendekatan Kritis dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas untuk Mewujudkan Kesadaran Sejarah Peserta Didik’. Karya Tulis Ilmiah. Disusun dalam KKTM Bidang Pendidikan Tingkat Nasional pada 17 Juli 2008.

Purwanto, Bambang. 2001. ‘Reality and Myth in Contemporary Indonesian History’. Humaniora volume XIII, No. 2/2001. Hlm. 111-123.

---------. 2005. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sekretariat Negara RI. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka, Jilid III. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Soeterisno, Slamet. 2006. Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit Media Presindo.

Sumarkidjo, Atmadji. 2006. Jendral M. Jusuf: Panglima Para Prajurit. Jakarta: Kasta hasta.

Wardaya, Baskara T. 2007. Membongkar Supersemar! Dari CIA sampai Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Penerbit Galangpress.

Membedah Pemikiran Arnold J Toynbee

Oleh: Tsabit Azinar Ahmad

Peradaban menurut Spengler adalah tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki sifat perodiktif, beku, dan mengkristal. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi (it becomes) (Rahardjo, 2002:24). Sementara itu, Arnold Joseph Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah wujud daripada kehidupan suatu golongan kultur seluruhnya. Dengan mengacu pada pemikiran Spengler dapat diartikan bahwa peradaban merupakan tingkatan ketika masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan berada pada suatu posisi yang telah mapan, telah menjadi. Peradaban dapat pula diartikan sebagai kebudayaan yang telah mencapai taraf yang tinggi dan kompleks. Dengan demikian, berarti peradaban berasal dari kebudayaan. Oleh karena itu sebelum membahas tentang peradaban perlu dibahas pula konsep dasar tentang kebudayaan.

Secara bahasa, kebudayaan berasal dari kata budaya ---dari bahasa sanskerta budhayyah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal---. Kebudayaan secara bahasa berarti hasil dari olah akal manusia. Kebudayaan tesusun dari tiga wujud yang tiap-tiap wujud saling berinteraksi dan memengaruhi yang kemudian tersusun menjadi suatu sistem. J.J. Honingman dalam Koentjaraningrat (1990:186) menyebutkan bahwa ada tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts. Selantnya gejala kebudayaan ini juga disebut sebagai wujud dari kebudayaan yaitu sistem budaya (ideas), sistem sosial (activities) dan kebudayaan fisik (artifacts). Dengan mengacu pada pemikiran di atas, Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan serta hasil fisik yang dibuat oleh manusia dalam masyarakat melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1974; 1990).

Setelah muncul kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia, hal ini terus berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization[1], berarti kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala, antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara kompleks, teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata politik, agama, filsafat, dan seni (Rahardjo, 2002: 27). Bila dikaitkan antara peradaban dan unsur kebudayaan, yaitu (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi dan (7) kesenian, maka dapat diartikan bahwa kebudayaan yang telah memasuki tingkat peradaban, maka secara tidak langsung telah menjelaskan pula perkembangan unsur-unsur kebudayaan tersebut menjadi jauh lebih kompleks.

Dalam studi tentang peradaban, selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana peradaban itu muncul dari masyarakat yang primitif, bagaimana proses perkembangan peradaban manusia sehingga tetap mempertahankan eksistensinya, mengapa terjadi perpecahan dalam kebudayaan, serta mengapa sebuah peradaban itu bisa hancur. Upaya untuk menjelaskan gejala-gejala dalam peradaban telah dilakukan oleh para ahli. Antara lain yang terkenal adalah Ibnu Khaldun, Oswald Spengler, Julian H. Steward, dan Arnold Joseph Toynbee.

Salah satu tokoh yang sangat intens menyelediki permasalahan peradaban yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah Arnold Joseph Toynbee. Toynbee adalah seorang sejarawan dari Inggris yang secara gamblang menerangkan tentang konsep peradaban mulai dari kemunculan sampai runtuhnya. Kesemua pemikiran itu muncul dalam karya-karyanya, terutama yang sangat monumental A Study of History.

Sekilas Tentang Toynbee

Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di London, Inggris pada tanggal 14 April tahun 1889. Ia merupakan sejarawan besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia, A Study of history sejumlah 12 jilid antara tahun 1934-1961 yang menuliskan tentang sebuah metahistory yang ada dalam peradaban yang mencakup kemunculan, pertumbuhan dan kehancurannya. Toynbee merupakan kemenakan dari seorang sejarawan terkenal Arnold Toynbee, di mana namanya dengan sang paman sering salah digunakan karena kemiripan nama. Dia menamatkan studinya di Winchester College dan Baliol College di Oxford Inggris kemudian pada British Archaeological School di Athena Yunani. Ia memulai karir sebagai pengajar di Balliol pada tahun 1912, dan kemudian menjadi pengajar di King’s College, London kemudian sebagai Profesor sejarah Modern Yunani dan Binzantium, menjadi guru besar sejarah internasional di Universitas London pada 1925-1946, serta pada London School Economics dan di Royal Institute of International Affairs (RIIA) di Chatam House. Kemudian ia menjadi pemimpin dari RIIA pada tahun 1925-1955 (Ekayati, 1996). Dia bekerja pada departemen Ilmu Pengetahuan di Departemen Luar Negeri Inggris dan pada saat perang dunia pertama berlangsung dan kemudian menjadi delegasi pada Paris Peace Conference pada tahun 1919 dan pada 1946 menjadi delegasi untuk acara yang sama. Bersama dengan asisten penelitinya, Veronica M. Boulter, yang kemudian nantinya menjadi istri keduanya, dia menjadi co-editor Survey of International Affairs yang diadakan RIIA. Pada saat perang dunia kedua, dia kembali bekerja di departemen luar negeri dan menjadi pembicara pada seminar tentang perdamaian.

Kehidupan pribadinya, ia menikah dengan rosalind Murray, purti dari Gilbert Murray dan dikaruniai tiga orang putera. Namun mereka bercerai, dan kemudian Toynbee menikah dengan Veronica M. Boulter pada tahun 1946. Toynbee meninggal pada 22 Oktober 1975 (http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee).

Pemikiran yang Mempengaruhi

Ilmuwan yang mempelajari tentang peradaban selain Toynbee antara lain Ibnu Khaldun dan Oswald Spengler. Kedua tokoh tersebut sedikit banyak memberikan andil yang besar dalam pemikiran Toynbee. Terutama Khaldun, yang oleh Toynbee dijuluki sebagai “Jenius Arab”. Hal ini dikarenakan Khaldun telah mampu untuk berpikir secara logis, objektif, dan analitik dalam karyanya berjudul Mukadimah. Berikut adalah permikiran kedua tokoh tersebut.

Khaldun (1332-1406) merupakan seorang sarjana Arab asal Tunisa. Ia melihat keteraturan lingkaran kehidupan peradaban, menyerupai lingkaran kehidupan organisme: tumbuh-dewasa-uzur. Rentang waktu lingkaran kehidupan rezim politik kurang lebih sama yakni sekitar seratus tahun atau selama tiga generasi. Ada lingkaran perubahan tingkatan sosial atau solidaritas kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Perubahanya melaui tiga tahap, pertama ada solidaritas sangat kuat yang ditimbulkan oleh kekerasan kondisi kehidupan nomaden di gurun pasir. Kedua, munculnya kultur kehidupan menetap dilokasi tertentu dan meningkatnya kemakmuran memperburuk ikatan kelompok dan memperlemah solidaritas. Ketiga, ini menyebabkan hancurnya ikatan sosial, membubarkan kelompok, lalu diikuti oleh kristalisasi kelompok berdasarkan ikatan sosial baru. Karya Khaldun yang menjadi inspirasi sebagian pemikir tentang peradaban adalah Mukadimah.

Spengler (1880-1936), seorang filsuf barat menyatakan bahwa kebudayaan dan peradaban yang merupakan organisme kehidupan di wilayahnya sendiri, seperti tanaman, hewan dan manusia, meskipun tingkatan yang paling tinggi. Ia mengidentifikasi sembilan organisme tertinggi, tiga di antaranya adalah Babilonia, Mesir Kuno, dan Klasik (Romawi-Yunani) di waktu lampau. Spengler mengatakan bahwa setiap peradaban besar mengalami proses pentahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. Pandangan Spengler ini mengacu pada kebudayaan-kebudayaan yang kini telah tiada, seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurut Spengler, kebudayaan itu tumbuh, berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang; tetapi juga kadang-kadang juga muncul mendadak, berkembang dan kemudian lenyap. Kalau diumpamakan, laksana tahap perkembangan seorang manusia, melewati masa muda, masa dewasa, masa tua, dan akhirnya punah (Purnomo, 2003).

Dalam pemikiran Spengler, setiap kebudayaan mengalami empat stadium (Purnomo, 2003). Analog dengan musim, maka kebudayaan akam mengalami masa semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin.musim semi adalah musim kanak-kanak. Pada waktu kebudayaan masa ini adalah masa mengatasi atau menetapkan. Periode kedua adalah masa remaja atau masa berkembang yang dianggap sebagai waktu untuk mematangkan diri. Di belahan dunia barat, masa ini terjadi pada saat renaissance. Periode ketiga adalah masa dewasa yang dalam kebudayaan ditandai dengan berdirinya kota besar. Dan masa keempat yang diyatakan sebagai masa kehancuran atau kematian. Pada periode musim dingin ini adalah periode “meterial comfort”. Manusia menjadi budak dari mesin-mesin dan sistem-sietem industri. Akhir periode ini tercapai dengan datangnya theosophy baru, datangnya messiah, yang merupakan harapan.

Antara pemikiran Toynbee dan Spengler ada semacam kesamaan, yaitu tentang gerak dari sejarah atau peradaban itu sendiri dan pendekatan yang digunakan. Apabila Spengler menyatakan bahwa kehancuran adalah layaknya organisme yang pasti terjadi dan tidak bisa ditahan, maka Toynbee menyatakan bahwa kehancuran bisa ditahan. Selain itu, ia menolak paham Spengler yang deterministik yang menggambarkan bahwa peradaban timbul dan tenggelam sebagai sebuah siklus yang mengikuti kehendak alam.

Pemikiran toynbee tentang peradaban adalah bahwa peradaban selalu mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori Toynbee ini senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan, kematian, kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran Toynbee ini senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa pra-Socrates.

Mengacu pada pemikiran Toynbee tentang terbentuknya gereja universal, munculnya penyelamat atau Al Mahdi, pernyataan bahwa peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama, dan fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan maka secara tidak langsung pemikiran ini senada dengan pemikiran para pemikir patristik, seperti St Augustinus. Lebih lanjut lagi Toynbee menyatakan bahwa keruntuhan kebudayaan bisa dihentikan. Upaya menghentikan keruntuhan kebudayaan/peradaban yang mungkin berhasil ialah dengan penggantian segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan (Ali, 1961:85-87). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret adalah Kerajaan Allah. Mengenai pandangan ini Ali menyatakan bahwa teori Toynbee merupakan muara teori Augustinus, yatu Civitas Dei (Purnomo, 2003:38; Ali, 1961:85-87).

Dari sekian banyak karya dari Toynbee, baik sebagai penulis utama, kontributor, editor, translator, serta pemberi kata pengantar dan pendahuluan, karya yang paling monumental dari Toynbee adalah bukunya yang ditulis mulai dari tahun 1930-an sampai tahun 1961, yaitu A Study of History. Buku ini terdiri dari 12 jilid, yang masing-masing jilid menerangkan tahapan dalam peradaban mulai dari kemunculan, pertumbuhan, dan kehancuran.

Konsep Peradaban Toynbee

Toynbee membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Dari jumlah peradaban itu 16 telah musnah, tiga lebur, sementara itu 7 lainnya masih bertahan. Ketujuh peradaban itu kemudian dikombinasikan menjadi lima, yaitu (1) Peradaban Barat, (2) Kristen Ortodoks, termasuk Eropa Tenggara, (3) Islam, (4) Hindu, dan (5) Timur Jauh, termasuk di dalamnya Cina, Jepang, dan Korea (Ekayati, 1996). Pembagian sejarah ini yang mendasari dilakukannya kajian tentang peradaban dalam bukunya, A Study of History. Peradaban-peradaban yang menjadi kajian dari Toynbee adalah Mesir, Andean, Sinic, Minoan, Sumeria, Maya, Indic, Hittite, Hellenik, Peradaban Barat, Kristen Kaum ortodox di Rusia dan Eropa, Cina dan timur jauh (Korea/Jepang),Iran, Arab, Hindu, Mexic, Yucatek, dan Babylonia. Selainj itu ada empat 'abortif civilisations' ( Kristen Barat Jauh, Kristen timur Jauh, Syriac, dan Scandinavia) dan lima peradaban yang bertahan (arrested civilization) yaitu Polinesia, Eskimo, Nomadic, ottoman, dan Spartan. Dari sekian peradaban yang ditelitinya total ada tiga puluh peradaban.

Dalam mengaji peradaban itu, Toynbee melakukan pendekatan yang sama (Sztompka, 2004:173-174). Ia dengan detail mengulas tentang asal usul, pertumbuhan, kemuduran, status universal, dan disintegrasi. Ia membuat generalisasi berdasarkan semua bukti historis yang pernah tercatat. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat bukan keseluruhan umat, bukan pula satu negara-bangsa tertentu tetapi adalah “unit menengah” yang rentangan ruang dan waktunya lebih besar daripada sebuh masyarakat tertentu tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni peradaban. Gagasan tentang adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban muncul kembali. Contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam peradaban Hindu; ilmu dan teknologi dalam peradaban Barat.

Toynbee melihat gejala peradaban sebagai sebuah siklus. Dalam pandangan ini peradaban, seperti halnya riwayat organisme hidup, mengalami tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasam dan runtuh. Dalam proses perputaran itu sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total. Terdapat kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang tidak sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya (Rahardjo, 2002:5-12). Toynbee menyatakan bahwa peradaban peradaban baru yang menggantikannya itu dapat mencapai prestasi melebihi peradaban yang digantikannya. Lebih lanjut lagi bagi Toynbee peradaban adalah suatu rangkaian siklus kehancuran dan pertumbuhan, tetapi setiap peradaban baru yang kemudian muncul dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dengan demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap pencapaian yang lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas peradaban yang lain (Rahardjo, 2002:5-12).

Toynbee membagi pentahapan ke dalam tiga periode utama, yaitu geneses, growth, dan breakdown. Namun karena Toynbee memberikan perhatian paling besar pada periode ketiga, maka bagian ini masih disambung lagi dengan tahap-tahap disintegrations, universal states, universal churches, dan heroic ages, yang menandai akhir suatu siklus dan awal siklus baru. Disamping itu Toynbee dalam bukunya A Study of History masih menambahkan aspek-aspek lain dari gejala peradaban, yakni contacs between civilization in space, dan contact between ciivlization in time.

Peradaban bagi Toynbee bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia, yakni semangat yang kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual (Rahardjo, 2002:5-12).

Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dalam sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu perkembangan peradaban (Lauer, 2001:49-57).

Peradaban muncul karena dua faktor yang berkaitan: adanya minoritas kreatif dan kondisi lingkungan. Antara keduanya tak ada yang terlalu menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan kultur. Mekanisme kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup kultur dijelmakan dalam konsep tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan masyarakat melalui minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu. Segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncul tantangan baru dan diikuti oleh tanggapan berikutnya (Sztompka, 2004:173-174).

Toynbee memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan kesukaran ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat). Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa keluar dari masyarakat primitif.

Tantangan dan tanggapan adalah bersifat fisik, seperti ketika penduduk zaman neolithik berkembang menjadi suatu masyarakat yang mampu menyelesaikan proyek irigasi besar-besaran; atau seperti ketika Gereja Agama Katholik memecahkan kekacauan post-Roman Eropa dengan pendaftaran Kerajaan berkenaan dengan bahasa Jerman yang baru di dalam masyarakat religius tunggal.

Peradaban muncul sebagai tanggapan atas tantangan. Mekanisme sebab-akibat bukanlah sesuatu yang benar-benar ada, tetapi hanya sekadar hubungan, dan hubungan itu dapat terjadi antara manusia dan alam atau antara manusia dan manusia. Sebagai contoh, peradaban Mesir sebagai hasil tanggapan yang memadai atas tantangan berasal dari rawa dan hutan belantara lembah Nil, sedangkan peradaban lain muncul dari tantangan konflik antarkelompok.

Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Toynbee membahas lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang: ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan (Lauer, 2001:49-57). Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar ditaklukkan, seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang sensntiasa mengancam seperti di sepanjang sungan Hoang Ho, Cina. Kawasan baru mengacu kepada daerah yng belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat akan merasa asing dan melakukan upaya untuk adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan, temasuk yang baru ditaklukkan dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan hukuman atau pembuangan mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksloitasi (Lauer, 2001:49-57).

Yang jelas, bila kita mendapat tantangan, kita tidak selalu memberikan tanggapan yang dapat membangkitkan suatu peradaban. Namun demikian, tidak semua tantangan bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan positif. Ada pula tantangan yang tidak menimbulkan peradaban. Dalam Ali (Purnomo, 2003) diterangkan bahwa dalam alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan, seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi). Tantangan itu mungkin sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat menciptakan tanggapan memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara tantangan dan tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk kurva linear. Artinya tingkat kesukaran yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi tantangan ekstrim dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin membangkitkan tanggapan memadai (Lauer, 2001:49-57).

Dalam fase pertumbuhan peradaban, tanggapan senantiasa berhasil, minoritas kreatif membuat upaya baru untuk menanggapi tatangan baru dan dengan cara demikian menghancurkan tradisi yang dianggap kolot dan primitif (Rahardjo, 2002:5-12). Artinya peradaban mulai berkembang ketika minoritas keatif menemukan suatu tantangan dan kemudian merespon dan menemukan jalan keluar dan inovasi (http://en.wikipedia.org/wiki/A_Study_of_History).

Oleh karena itu, pertumbuhan itu terjadi pada saat jawaban terhadap tantangan tidak hanya berhasil dilalui, tetapi juga keberhasilan itu menimbulkan tantangan lanjutan yang kembali dapat diatasi. Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan itu. Sejumlah kecil (minoritas) itu menciptakan kebudayaan; dan massa yang lain (mayoritas) meniru. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta, suatu kebudayaan tidak dapat berkembang.

Pertumbuhan atau kemajuan sesungguhnya adalah energi kreatif yang tumbuh sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam mengatasi tantangan-tantangan eksternal. Ia mengatakan bahwa kemajuan manusia seharusnya diukur dari peningkatan semangat yang kuat (self-determination) yang biasanya dimiliki oleh sekelompok kecil individu yang kreatif (minority of creative persons). Dengan demikian, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan sipiritual (Rahardjo, 2002:5-12).

Pertumbuhan peradaban tergantung pada perilaku minoritas kreatif. Seluruh tindakan sosial adalah karya individu-individu pencipta. Namun kebanyakan umat manusia cenderung tetap teperosok ke dalam cara-cara hidup lama. Oleh karena itu, tugas minoritas kreatif bukanlah semata-mata menciptakan bentuk-bentuk dan proses-proses sosial baru, melainkan juga menciptakan cara-cara membawa mayoritas ini bersama-sama dengan mereka untuk mencapai kemajuan. Dengan pimpinan elit, peradaban akan tumbuh melalui serentetan tanggapan yang berhasil menghadapi tantangan yang berkelanjutan.

Toynbee dalam Lauer (2001) menyebut tahap pertumbuhan (growth) sebagai proses “penghalusan”, yakni pergeseran penekanan dari alam kemanusiaan atau perilaku yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Ini berarti menaklukkan rintangan awal sehingga dengan demikian energi dapat tersalurkan untuk menanggapi tantangan yang lebih bersifat internal dari pada yang bersifat eksternal, dan yang bersifat spiritual ketimbang material. Pertumbuhan demikian berarti peningkatan penentuan nasib sendiri, dan ini menimbulkkan deferensiasi terus menerus di antara bagian-bagian masyarakat. Diferensiasi ini tejadi karena sebagian masyarakat tertentu berhasi memberikan tanggapan memadai atas tantangan; sebagian yang lain berhasil dengan jalan meniru bagian yang berhasil itu. Sebagian yang lain lagi gagal, baik dalam menciptakan atau meniru, dan demikian akan mendekati kematian. Akibatnya adalah berkembangnya ciri khas tertentu di dalam setia peradaban. Peradaban Yunani misalnya, memiliki keunggulan pandangan estetika mengenai kehidupan sebagai suatu keseluruhan. Peradaban hindu dan India cenderung menuju ke suatu pandangan hidup yang mengtamakan keagamaan (Lauer, 2001:49-57).

Tak ada peradaban yang terus menerus tumbuh tanpa batas. Umumnya peradaban akan mengalami kehancuran bila elit kreatifnya tidak berfungsi secara memadai, mayoritas tak lagi memberikan kesetiaan kepada minoritas, dan menirunya; dan bila kesatuan sosial mengalami perpecahan. Kehancuran dan perpecahan adalah biasa, namun tak terelakkan. Mungkin pula terjadi proses pembatuan, seperti ditunjukkan oleh masyarakat mesir kuno dan timur jauh. Dalam keadaan membatu masyarakat hidup terus, meskipun sebenarnya sudah menamatkan perjalanan hidupnya (Lauer, 2001:49-57).

Dalam fase perpecahan dan kehancuran peradaban, minoritas kreatif behenti menjadi manusia kreatif. Peradaban binasa dari dalam karena kemampuan kreatif sangat menurun padahal tantangan baru semakin meningkat. Kehancuran peradaban disebabkan oleh kegagalan kekuatan kreatif kalangan minoritas dan karena lenyapnya kesatuan sosial dalam masyarakat sebagai satu kesatuan (Sztompka, 2004:173-174). Apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak akan berkembang lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, keruntuhan mulai nampak. Keruntuhan terjadi dalam tiga tahap (Purnomo, 2003), yaitu

a. Kemerosotan kebudayaan. Masa ini tejadi karena minoritas kehilangan daya menciptanya dan kehilangan kewibawaannya, sehingga mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Perarutan alam dalam kebudayaan yang dibuat antara mayoritas dan minoritas pecah dan tunas-tunas kebudayaan menuju pada kematian.

b. Kehancuran kebudayaan. Masa ini mulai muncul setelah tunas-tunas kehidupan kebudayaan mati, sehingga pertumbuhannya terhenti. Akibatnya daya hidup kebudayaan membeku dan kebudayaan tesebut menjadi tidak berjiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification atau pembatuan (menjadi fosil) kebudayaan.

c. Lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.

Toynbee menyatakan bahwa uraian peradaban tidaklah disebabkan oleh hilangnya kendali terdiri atas lingkungan, yang terdiri atas lingkungan manusia, atau faktor yang menyerang dari luar. Kemunduran itu diakibatkan kemandulan dari "minoritas yang kreatif," kemudian menjadi " minoritas dominan" yang memaksa mayoritas untuk mematuhi tanpa pantas menerima ketaatan. Ia menyatakan minoritas kreatif itu memburuk dalam kaitan dengan suatu pemujaan. Mereka selalu bernostalgia tentang " diri yang dahulu," dengan mana mereka menjadi merasa bangga, dan gagal untuk cukup menunjuk tantangan yang berikutnya yang mereka menghadapi (http://en.wikipedia.org/wiki/a_study_of_history).

Lebih lanjut lagi, Toynbee menyatakan bahwa, keruntuhan peradaban bermula ketika terbentuk suatu "Kaum tani Internal" (internal proletariat) dan "Kaum tani Eksternal" (external proletariat). Protelariat yang internal berhasil ditundukkan oleh minoritas yang dominan di dalam peradaban, akan tetapi kaum proletariar eksternal yang ada di luar peradaban itu berada dalam kemiskinan dan kekacauan, dan pada akhirnya tumbuh cemburu dan dengki. Ia menyatakan bahwa hal itu sebagai bentuk kemunduran peradaban, proses ini disebut " perpecahan dalam badan sosial" (schism in the body social) di mana kebebasan yang tanpa kendali dan pengendalian-diri bersama-sama menggantikan kreativitas, dan kemangkiran dan kesyahidan/semangat martir bersama-sama menggantikan semangat untuk belajar seperti yang diajarkan oleh minoritas kreatif .

Ia menyatakan bahwa di dalam lingkungan ini, orang-orang memilih archaism (kekolotan), futurisme, detasemen (penghilangan dirinya dari kenyataan kemunduran dunia), dan transenden. Ia menyatakan bahwa transendensi telah menyebabkan kelahiran bagi gereja sebagai upaya untuk pengalihan perhatian dari keterpurukan yang terjadi kepada hal yang lebih bersifat rohani dan menjadi manusia baru.

Peradaban itu hancur dan bila kehancuran terjadi, diikuti pula oleh khas seperti berikut. Terjadi perpecahan masyarakat, diikuti perpecahan peradaban menjadi tiga kelompok yang berlawanan, yaitu minoritas dominan, proletariat internal, dan proletariat eksternal. Masing-masing kelompok selanjutnya menciptakan institusi yang khas: suasana universal (universal state), gereja universal (universal chruch), dan peperangan biadab (heroic ages) (Lauer, 2001:49-57).

Penciptaan suasana universal berarti bahwa elit memaksa rakyat dengan kekuatan; elit mengubah dirinya menjadi kalangan berkuasa. Ini dilakukan dengan sengaja untuk bersama-sama menghancurkan peradaban. Ia menyatakan bahwa tanda yang terakhir yang menandakan bahwa suatu peradaban telah pecah adalah ketika minoritas yang dominan membentuk "Status/suasana Universal," yang membuat tidak berdaya kreativitas politis. Ia menyatakan:

First the Dominant Minority attempts to hold by force—against all right and reason—a position of inherited privilege which it has ceased to merit; and then the Proletariat repays injustice with resentment, fear with hate, and violence with violence when it executes its acts of secession. Yet the whole movement ends in positive acts of creation—and this on the part of all the actors in the tragedy of disintegration. The Dominant Minority creates a universal state, the Internal Proletariat a universal church, and the External Proletariat a bevy of barbarian war-bands (http://en.wikipedia.org/wiki/a_study_of_history) .

Sebagai tanggapan dari status universal, proletariat internal mempersiakan “orang dalam” bukan “orang luar” masyarakat, berbalik menentang elit dan membentuk sebuah gereja universal. Toynbee menggunakan istilah gereja karena mengacu pada ikatan rohani yang kolektif yang melingkupi kepada suatu pemujaan umum atau kesatuan yang sama yang ditemukan dalam beberapa macam perilaku sosial.

Proletariat eksternal adalah orang yang secara kultural dipengaruhi oleh pertumbuhan peradaban, tetapi tidak terpengaruh ketika kehancuran terjadi, kemudian berhenti menirunya dan bahkan menjadi musuh peradaban itu. Batas antara peradaban dan proletariat eksternal menjadi garis demarkasi militer. Pemberontakan proletariat eksternal, yakni barbarian yang tak mau lagi menerima perlakuan sebagai orang taklukan segera setelah peradaban mulai mengalami keruntuhan menjadikan suatu peradaban pecah dan kacau (Lauer, 2001:49-57).

Seperti Khaldun, Toynbee memusatkan perhatiannya pada aspek sosio-psikologis perubahan sosial. Karena itu sebelum melukiskan pepecahan dalam tubuh masyarakat, ia telebih dahulu membahas perpecahan dalam jiwa masyarakat. Perpecahan tu berbagai cara perilaku, perasaan, dan kehidupan yang menandai peradaban sedang tumbuh digantikan oleh berbagai penggantinya yang berlawanan. Sebagai contoh bila dalam peradaban yang sedang berkembang orang hidup lebih dirasakan atau perasaan yang diliputi kebahagiaan dan bersemangat, di dalam peradaban yang mengalami perpecahan (di luar kehendaknya) orang berjuang dengan perasaan menerawang dan perasaan berdosa (Lauer, 2001:49-57).

Singkatnya, perpecahan peradaban itu diungkapkan dalam istilah mundur teratur. Sebagai contoh keadaan universal mencerminkan konsolidasi sesudah mundur teratur ketika berada dalam keadaan sukar. Terakhir mengingat peradaban yang tumbuh ditandai oleh peningkatan diferensiasi, sebaliknya peradaban yang sedang hancur ditandai oleh peningkatan standarisasi. Minortias dominan secara seragam menciptakan falsafah dan keadaan universal; proletariat internal secara seragam menemukan agama yang lebih agung, yang diungkapkan melalui sebuah gereja universal; proletariat eksternal secara serentak menghimpun pasukan untuk melancarkan serangan terhadap peradaban (Lauer, 2001:49-57).

Berbeda dengan Spengler, Toynbee menyatakan bahwa kehancuran kebudayaan dapat ditahan. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al Mahdi. Akan tetapi perjuangan itu tidak berhasil sama sekali. Suatu usaha untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil ialah penggantian dari suatu kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan (Purnomo, 2003). Hal ini dibuktikan dengan pada tingkat perpecahan dimunculkan juru selamat masyarakat. Secara khusus ada empat jenis juru selamat yang muncul (Lauer, 2001:49-57), yaitu

a. Juru selamat dengan pedang, yakni pencipta dan penegak keadaan universal

b. Juru selamat dengan mesin waktu, yakni orang yang berpandangan kolot atau yanmg berpandangan maju. Orang yang berpandangan kolot adalah yang merasa selamat dengan memulihkan zaman ke keemasa masa lalu. Sedangkan yang berpandangan maju, mereka yang selamat dengan melompat ke masa depan yang belum diketahui (dengan revolusi yang memutuskan hubungan masyarakat dengan masa lalu)

c. Falsafah yang menyatakan bahwa raja mencreminkan penyelesaian masalah tanpa menggunkan pedang dan mesin waktu. Hal ini dikemukakan oleh Plato. Penyelesaian ini memerlukan suatu kesatuan falsafah dan kekuatan politik, baik filsuf harus menjadi raja, atau raja harus menjadi filsuf. Toynbee menyatakan penyelesaian ini akan mengalami kegagalan karena kontradiksi ensternal antara sikap tak terpengaruh dari filsif dan campur tangan penggunaan kekuasaandan paksaan dari raja.

d. Penjelmaan tuhan dalam diri manusia. Ini seperti halnya yang ada pada diri juru selamat yang mencerminkan dirinya sendiri sebagai tuhan yang menawarkan harapan, atau tepatnya hanyalah isa almasih yang dapat membebaskan manusia dari kematian.

Toynbee menyatakan adanya pola umum yang melandasi atau logika unik yang terjelma sendiri dalam jangka panjang dan belaku untuk semua peradaban. Pola umum itu adalah kemajuan spiritual dan agama. Peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama. Fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan yang makin mendalam dan untuk bertindak berdasarkan wawasan itu

Pandangan Toynbee tentang gerak sejarah adalah bahwa dalam sejarah tidak terdapat suatu hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul-tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti. Toynbee menganjurkan bahwa sejarah harus dipelajari secara holistik. Mempelajari sejarah tidak dapat dipisah-pisahkan antara bagian-bagian yang ada di dalamnya. Mempelajari sejarah harus mempelajari suatu masyarakat secara keseluruhan, masyarakat secara utuh sebagai satu kesatuan unit dari proses sejarah (Purnomo, 2003).

Oleh karena sejarah adalah studi tentang peradaban, Toynbee menyatakan bahwa ada kontinuitas dalam sejarah. Contoh kontinuitas tersebut adalah adanya orang tua dan anak. Kontinuitas sejarah bukan kontinuitas individu, melainkan kelangsungan generasi. Oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam mempelajari sejarah sebagai satu unit harus dihilangkan (Purnomo, 2003).

Kaitannya dengan permasalahan yang terjadi pada masa ini yang menjadi permasalahan universal yang terjadi tidak hanya pada masa lalu, tetapi juga pada masa kini, Toynbee memusatkan perhatian pada kemungkinan perkembangan peradaban barat dan nasib peradaban masa lalu. Ia mengemukakan sejumlah masalah mendasar yang dihadapi dan harus diselesaikan (Lauer, 2001:49-57), yaitu

a. Masalah perang yang telah menjadi penyebab utama perpecahan dan kehancuran peradaban masa lalu. Dengan ditemukannya bom nuklir, pengendalian perang menjadi semakin mendesak.

b. Masalah pertentangan kelas. Industrialisasi menyebabkan bagian terbesar barang kebutuhan material tidak lagi dimonopoli oleh segelintir orang yang memiliki hak istimewa. Rakyat takkan senang, kecuali kalau mereka sudah bebas dari kemiskinan. Paling tidak dalam kasus ini ada beberapa kelas, yaitu kaum buruh yang kemudian bergabung dalam serikat buruh.kemduian ada pula kelas menengah yang terperosok ke dalam pengekangan kehidupan dalam bentuk birokrasi.

c. Pertambahan penduduk dan kesejahteraan sosial.

Simpulan

Sejarah manusia yang dikemukakan Toynbee adalah suatu lingkaran perubahan berkepanjangan dari peradaban: lahir, tumbuh, pecah, dan hancur. Kaitannya dengan gerak sejarah, Toynbee menyatakan bahwa sejarah umat manusia sama halnya dengan konsep peradaban, mengalami siklus, mulai dari kemunculan sampai pada kehancuran.

Kemunculan peradaban, pertumbuhan, dan kehancuran peradaban ada satu benang merah yng mengaitkannya, yaitu adanya kalangan yang memegang pengaruh. Dari kemunculan peradaban dan pertumbuhannya ada istilah minoritas kreatif yang menjadi penentu peradaban dan massa. Pada fase kemunduran, yang disebabkan mandek-nya kaum minoritas kreatif dalam menaggapi tantangan secara tepat melalui inovasi, ada istilah minoritas dominan yang menyelewengkan kekuasaannya. Pelajaran yang dapat diambil dari pemikiran Toynbee adalah bahwa kehancuran dimulai dari mandulnya kreativitas manusia. Selain itu Toynbee juga mengingatkan kita kepada hasil studinya yang menyatakan tak ada peradaban yang kebal terhadap kemerosotan tetapi, ada upaya yang bisa dilakukan untuk tetap menjaga eksistensi dengan mengembangkan inovasi dan kreativitas.

Daftar Pustaka

Ali, R. Moh. 1961. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: Bhratara.

Ekayati. 1996. ‘Arnold J. Toynbee’. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jilid 16. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Hal 413-414.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

------------. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Purnomo, Arif. 2003. Pengantar Memahami Filsafat Sejarah. Paparan Kuliah. Tidak Diterbitkan. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Rahardjo, Supratikno. 2002. Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.

Sztompka, Piötr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.

Wikipedia free encyclopedia. 2006. Arnold Joseph Toynbee. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee (diunduh pada 23 Mei 2006)

Wikipedia free encyclopedia. 2006. A Study of history. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/A_Study_of_History (diunduh pada 23 Mei 2006)




[1] Civilization berasal dari bahasa latin civics dan civitas yang berarti warga kota dan negara-kota. Kata lainnya yakni civilitas yang berarti kewarganegaraan. Dalam Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Ekonomi, dan Agama Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal 26-27.