Minggu, 10 Mei 2009

Mandiri dan Integral: Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Pendahuluan

Gerakan 30 September, peristiwa seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Serangan Umum 1 Maret 1949, lahirnya Pancasila, lahirnya Orde Baru, dan Integrasi Timor-Timur, merupakan beberapa peristiwa sejarah yang bersifat kotroversial. Sejarah yang bersifat kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Dikatakan kontroversial karena antara pendapat satu dengan pedapat lainnya masing-masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat (Ahmad, 2008:10). Sejarah kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa dikalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.

Pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial dengan memberikan argumentasi yang kuat dan logis tentang pendapat-pendapat yang berbeda itu memiliki beberapa tujuan. Abu Su’ud (1993:20-21) menyatakan bahwa pengembangan pola isu kontroversial dalam kelas sejarah bertujuan untuk mencapai (1) peningkatan daya penalaran, (2) peningkatan daya kritik sosial, (3) peningkatan kepekaan sosial, (4) peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, (5) peningkatan keberanian pengungkapan pendapat secara demokratis, serta (6) peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

Pada praksis pelaksanaan pembelajarannya, upaya untuk mengajarkan sejarah yang bersifat kontroversial masih merupakan hal yang relatif baru. Pembelajaran yang baru ini berlaku pada materi-materi kontroversial yang muncul setelah reformasi. Hal ini memberikan serangkaian kemungkinan bahwa dalam pengajarannya banyak ditemukan kendala, baik bersifat sistemik maupun teknis. Beberapa permasalahan yang ditemui dalam dunia pendidikan sejarah adalah masih terus berkembangnya permasalahan-permasalahan klasik dalam pengajaran sejarah.

Asvi Warman Adam dalam pengantar buku terjemahan dari Sam Wineburg (2006:ix-xix) mengidentifikasi beberapa kelemahan dalam pendidikan sejarah di Indonesia, yaitu adanya paradigma berpikir bahwa belajar sejarah sebatas pada hapalan tanggal, nama dan tokoh pada masa lalu. Selain itu ditinjau dari aspek guru terdapat kecederungan bahwa kemampuan guru adalah lemah, terutama dalam bidang evaluasi. Hal yang tak kalah penting menurut Adam (2006) adalah adanya seperangkat kebijakan yang disusun pemerintah masih belum membuka peluang yang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis. Hal ini nampak dari adanya intervensi yang berlebih dari pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965. Munculnya kenyataan seperti ini merupakan salah satu hal yang menghilangkan kaidah sejarah sebagai ilmu, sekaligus menjadikan sejarah sebagai alat indoktrinasi untuk menghasilkan pengikut yang penurut (Purwanto, 2006:270).

Berkaitan dengan materi pembelajaran sejarah kontroversial, peristiwa yang paling banyak diperdebatkan di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 (Adam, 2007:14). Berkaitan dengan hal tersebut Purwanto (2001) menjelaskan bahwa “... in fact many controversies in Indonesia history during the last fifty years. Four of them, Serangan Umum Satu Maret (1 March Attack) of 1949, Gerakan 30 September (30 September Movement) of 1965, Surat Perintah Sebelas Maret (11 March Instruction) of 1966, and social-political role of Indonesian armed forces...” (Purwanto, 2001:112).

Peristiwa Gerakan 30 September merupakan sejarah yang paling kontroversial karena di dalamnya terdapat beberapa versi tentang siapa sebenarnya yang berada di balik itu semua. Apakah PKI, Sukarno, Soeharto, klik Angkatan Darat, CIA, sampai dengan kemunculan teori chaos, semuanya menjadi satu hal yang baru dalam pendidikan sejarah pada saat ini (Bandingkan, Adam, 2007 b: 61-75; Adam a, 2007; Soetrisno, 2006: 19-34). Selain itu peristiwa pembantaian setelah gerakan tersebut juga masih menjadi tanda tanya besar.

Pemahaman yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan peristiwa seputar Gerakan 30 September selama ini adalah bahwa yang menjadi dalang peristiwa tersebut adalah PKI. Hal ini terutama didukung dengan adanya buku tentang peristiwa Gerakan 30 September yang diterbitkan oleh Kesekretariatan Negara atau yang sering disebut dengan “Buku Putih” (Sekretariat Negara, 1994). Dengan adanya pendapat-pendapat baru berkaitan dengan masalah G 30 S telah menjadikan peristiwa ini menjadi peristiwa sejarah yang sangat kontroversial, bahkan paling kontroversial dalam periode sejarah Indonesia modern.

Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan kewenangan pada Soeharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai stabilitas nasional yang pada akhirnya mengantarkan dirinya sebagai presiden Republik Indonesia kedua, juga masih menyisakan berbagai pertanyaan. Hal ini dikarenakan sampai sekarang keberadaan surat tersebut dan hal ikhwal tentang isinya juga masih sangat misterius.

Sampai sekarang ada tiga naskah Supersemar yang beredar, dua versi seperti yang terdapat dalam 30 Tahun Indonesia Merdeka (Sekretariat Negara, 1985), di mana Supersemar hanya terdiri dari satu halaman, dan versi ketiga adalah seperti yang terdapat dalam biografi Jendral M. Yusuf, di mana naskah itu terdiri dari dua halaman (Sumarkidjo, 2006). Namun demikian pada dasarnya isi dari ketiga naskah tersebut sama, hanya ada perbedaan dalam hal penulisan. Namun demikian adanya tiga naskah Supersemar sangat membingungkan masyarakat. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah “manakah diantara ketiga naskah tersebut yang benar-benar asli?”

Kontroversi lain yang berkembang seputar Supersemar selain otentisitas naskah adalah tentang proses keluarnya Supersemar dan dampak dari keluarnya Supersemar. Tentang proses keluarnya Supersemar, kontroversi yang bererdar adalah tentang pertanyaan-pertanyaan “apakah Sukarno mengeluarkan Supersemar dengan tanpa tekanan?”, “siapa pengetik Supersemar?” (Wardaya, 2007:20).

Kemudian bekaitan dengan dampak sesudah Supersemar, beberapa kontroversi yang muncul adalah “bagaimana sebenarnya sifat dari Supersemar, apakah teknis atau politis?”, “apakah Supersemar bersifat sebagai transfer authority?” (Wardaya, 2007:112).

Materi tentang Gerakan 30 September dan Supersemar inilah yang akan dijadikan objek penelitian tentang bagaimana tipe pembelajaran yang dilakansanakan oleh guru. Pemilihan materi tersebut disebabkan oleh beberapa alasan, yakni (1) kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial, (2) peristiwa tersebut terjadi dalam periode waktu yang sama dan kronlogis apabila ditinjau dari perkembangan waktunya, (3) hubungan kausalitas antara kedua peristiwa tersebut sangat erat, (4) kedua peristiwa tersebut terjadi belum terlau lama dari masa sekarang, sehingga memudahkan dalam pencarian sumber, serta (5) sudah banyak terdapat kajian tentang kedua peristiwa tersebut secara ilmiah, sehingga memudahkan untuk melakukan upaya komparasi sekaligus memperkaya wacana tentang peristiwa tersebut.

Dari pemikiran di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana pembelajaran materi G 30 S dan Supersemar di Sekolah Menengah Atas, serta bagaimana tipe-tipe pembelajaran sejarah kontroversial di Sekolah Menengah Atas. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menganalisis pembelajaran materi tentang G 30 S tahun 1965 dan Supersemar di Sekolah Menengah Atas dan mengidenifikasi dan menganalisis pembelajaran sejarah kontroversial di Sekolah Menengah Atas. Secara teoretis, penelitian ini dapat dijadikan suatu kajian ilmiah tentang tipe-tipe pembelajaran sejarah kontroversial. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa gambaran tentang tipe pembelajaran sejarah kontrobersial. Bagi pemerintah dapat menjadi satu masukan tentang penentuan kebijakan pendidikan yang menekankan aspek berpikir kritis pada peserta didik.
Pembelajaran Materi G 30 S tahun 1965 dan Supersemar

Penelitian ini mengambil contoh materi tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar yang akan dianalisis bagaimana pembelajarannya dalam kelas sejarah di SMA. Pada pelaksanaannya kedua materi tersebut merupakan materi yang saling berurutan karena keduanya selain terjadi dalam waktu yang berurutan juga merupakan satu kesinambungan peristiwa, yakni peristiwa akhir pemerintahan Orde lama di bawah kepemimpinan Sukarno dan awal berdirinya kepemimpinan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Di SMA kedua materi tersebut diajarkan pada dua kelas yang berbeda, yakni pada kelas XI program IPA semester II dan kelas XII program IPS semester I.

Pada program Bahasa, pada dasarnya Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar untuk materi tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar sama dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar bagi program IPA, hanya saja kelasnya yang berbeda, yakni pada kelas XII semester I. Akan tetapi karena di SMA N 1 Banjarnegara tidak terdapat program bahasa maka dalam penelitian ini hanya akan dipaparkan perbedaan pembelajaran untuk materi G 30 S/PKI dan Supersemar pada program IPA dan IPS. Namun demikian walaupun hanya dipaparkan dua perbedaan tetap tidak mengurangi komprehensivitas kajian. Hal ini dikarenakan pada program IPA dan Bahasa, SK dan KD-nya sama, dan hanya berbeda pada kelasnya saja, sehingga ada kecenderungan kesamaan dalam pelaksanaan pembelajarannya.

Pada progam IPA, pembahasan tentang kontroversi Gerakan 30 September dan Supersemar termasuk dalam standar kompetensi yang sama, yakni “merekonstruksi perjuangan bangsa Indonesia sejak masa proklamasi sampai masa reformasi” yang diajarkan pada semester genap. Sementara itu, kedua materi tersebut termasuk dalam kompetensi dasar “menganalisis pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin sampai lahirnya Orde Baru”. Indikator pada bahasan tentang kontroversi Gerakan 30 September adalah “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI” yang diajarkan selama dua kali pertemuan atau empat jam pelajaran. Sementara itu pada bahasan tentang kontroversi Supersemar tidak berdiri sendiri, tetapi termasuk dalam materi lain yakni tentang “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI”. Dengan demikian tidak ada alokasi khusus untuk pembahasan Supersemar. Alokasi untuk materi “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI” yang membahas bahasan tentang kontroversi Supersemar hanya satu kali pertemuan atau dua jam pelajaran.

Pada program IPS, pembelajaran kontroversi Gerakan 30 September dan Supersemar termasuk dalam standar kompetensi “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya Orde Baru”. Akan tetapi, masing-masing bahasan tersebut memiliki kompetensi dasar yang berbeda. Pada bahasan tentang kontroversi Gerakan 30 September, materi ini termasuk dalam standar kompetensi “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya Orde Baru” dan pada kompetensi dasar “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia dalam memperta­hankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI)”. Indikator untuk materi ini adalah (1) menganalisis terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (2) membandingkan dua pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (3) mendeskripsikan dampak soaial politik dari peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, dan (4) mendeskripsikan proses peralihan kekuasaan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI. Dari indikator tersebut, materi yang membahas kontroversi Gerakan 30 September padaprogram IPS dialokasikan waktu sebanyak empat kali pertemuan atau delapan jam pelajaran.

Sama halnya dengan pelaksanaan pengajaran tentang kontroversi Supersemr di program IPA, pada pembelajaran di Program IPS, materi Supersemar tidak berdiri sendiri tetapi termasuk dalam materi lain yakni tentang “Proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI”. Alokasi untuk materi tentang proses peralihan kekuasaan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI adalah 1 kali pertemuan atau 2 jam pelajaran.

Dari deskripsi di atas terlihat bahwa perbedaan yang paling menonjol antara pembelajaran materi tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar pada kelas IPA dan IPS adalah terletak pada pembelajaran materi tentang peristiwa Gerakan 30 September. Sementara itu, pembelajaran tentang materi Supersemar di kedua kelas tersebut sama-sama merupakan materi yang tidak berdiri sendiri, tetapi masuk dalam materi yang lain. Akan tetapi, hal yang sangat menonjol adalah bahwa pembelajaran sejarah kontroversial di kelas IPA dan IPS adalah bahwa pembelajaran materi sejarah di kelas program IPS lebih padat dan lebih terperinci. Hal ini mengingat sejarah pada program IPS adalah materi pokok, sementara itu di program IPA sejarah bukan materi pokok, sehingga wajar ketika pembelajaran sejarah di program IPS lebih banyak materi dan rinciannya, sementara di program IPA hanya digambarkan secara umum saja dan tidak mendalam seperti di IPS.


Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Dari hasil penelitian, ternyata ditemukan dua kategorisasi tipe pembelajaran sejarah kontroversial. Tipe tersebut adalah (1) pembelajaran dengan materi sejarah kontroversial yang mandiri, dan (2) pembelajaran materi sejarah kontroversial yang terintegrasi dengan materi lain. Pembelajaran tipe mandiri adalah pembelajaran yang dilakukan terhadap materi yang memiliki alokasi waktu khusus. Pembelajaran sejarah kontroversial yang termasuk dalam kategori mandiri contohnya adalah pembelajaran tentang peristiwa Gerakan 30 September. Materi ini secara khusus dirancanang oleh guru, memiliki tujuan yang spesifik, dan memiliki alokasi waktu tersendiri. Materi yang diajarkan secara mandiri dinilai memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat dan memberikan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga perlu dajarkan dalam materi tersendiri.

Pelaksanaan pembelajaran materi G 30 S/PKI di SMA N 1 Banjarnegara tujuan yang hendak dicapai adalah bahwa dengan pembelajaran siswa diharapkan (1) mampu menganalisis terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (2) siswa mampu membandingkan dua pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (3) siswa mampu mendeskripsikan dampak sosial politik dari peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, serta (4) siswa mampu mendeskripsikan proses peralihan kekuasaan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI.

Tujuan dari pembelajaran tersebut diturunkan dari indikator yang sebelumnya telah disusun oleh guru, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Akan tetapi, sebelum memasuki materi yang berkaitan dengan peristiwa tahun 1965 itu, ada beberapa tujuan dari pelaksanaan pembelajaran tentang peristiwa sebelum terjadinya Gerakan 30 September, yakni tentang (1) siswa mampu mendeskripsikan gejolak sosial di berbagai daerah pada awal kemerdekaan, serta (2) siswa dapat mendeksripsikan hubungan disintegrasi bangsa dengan terjadinya pergolakan dan pemberontakan. Dua tujuan inilah yang menjadi landasan awal bagi guru untuk kemudian melanjutkan materinya dengan pokok bahasan tentang peristiwa tahun 1965.

Sementara itu, di Kota Semarang, berdasarkan Lembar Ujian Kompetensi Siswa yang disusun oleh MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sejarah, indikator pencapaian pada materi peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 adalah (1) Mengidentifikasi strategi politik PKI masa demokrasi liberal dan terpimpin, (2) Mengidentifikasi aksi-aksi sepihak PKI sebelum G 30 S/PKI 1965, (3) Menunjukkan kaitan antara gerakan 30 September dengan dewan revolusi, (4) Menjelaskan gerakan 30 September PKI telah melakukan perebutan kekuasaan yang sah, (5) Mengientifikasi nama-nama dalang di balik gerakan 30 September PKI, (6) Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen Gilchrist, (7) Menerangkan prosesi pengangkatan jenazah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya, (8) Menyebutkan upaya-upaya penumpasan G 30 S/PKI 1965, (9) Menjelaskan akibat sosial politik G 30 S/PKI 1965, (10) Mengidentifikasi adanya bahaya laten komunis.

Sementara itu tipe pembelajaran kedua atau materi yang terintegrasi contohnya adalah materi tentang Supersemar. Pembelajaran tipe integral adalah pembelajaran yang dilakukan terhadap materi yang tidak memiliki alokasi waktu khusus, sehingga pembelajrannya terintegrasi pada materi lainnya. Materi yang terintegrasi ini tidak memiliki indikator dan tujuan pembelajaran yang khusus bagi materi tersebut, tetapi termasuk dalam indikator materi yang lain. Materi pada pembelajaran tipe kedua ini juga tidak memiliki alokasi waktu yang khusus. Oleh karena peristiwa sejarah kontroversial ini menjadi materi yang terintegrasi dalam materi pokok tertentu, akibatnya tidak ada evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik kaitannya dengan pemahaman terhadap peristiwa tersebut. Evaluasi yang dimaksud di sini adalah penilaian tertulis padakhir pokok bahasan atau akhir satu kompetensi dasar. Evaluasi yang digunakan hanya evaluasi yang bersifat penilaian proyek untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta didik dan pencapaian tujuan pembelajaran pada materi tentang suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial.

Munculnya peristiwa kontroversi yang diajarkan secara khusus dan yang diajarkan dengan terintegrasi pada materi yang lain karena pada materi yang diajarkan secara mandiri dinilai memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat. Pengaruh yang dimasksud adalah peristiwa Gerakan 30 September memberikan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Korban-korban dari tragedi tersebut jelas. Sementara itu unuk materi yang bersifat terintegrasi seperti pembahasan tentang Supersemar adalah dikarenakan bahwa Supersemar dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara langsung bagi masyarakat. Supersemar hanya menjadi bagian dari suatu peristiwa yang lebih besar, yakni berakhirnya pemerintahan Sukarno dan berdirinya pemerintahan baru di bawah pimpinan Soeharto.

Munculnya dua tipe pembelajaran ini memunculkan beberapa kendala. Pada pembelajaran untuk materi tentang Supersemar untuk program IPS dan IPA, pada dasarnya mengalami kendala yang tidak terlalu berbeda. Hal ini dikarenakan pada kedua program tersebut upaya untuk mengajarkan kontroversi Supersemar tidak berdiri sendiri sebagai materi, tetapi terintegrasi dalam materi yang lain. Dengan demikian, kendala utama yang ditemui adalah tenang alokasi waktu yang digunakan untuk mengajarkan kontroversi Supersemar. Pada bahasan tentang Supersemar, tidak ada tujuan pembelajaran yang disusun secara khusus untuk peristiwa tersebut. Selain itu tidak ada pula evaluasi yang secara spesifik mengetahui tingkat keberhasilan peserta didik tentang kontroversi Supersemar.

Dari hasil penelitian, untuk mengatasi permasalahan tersebut, guru melakukan upaya dengan memasukkan penjelasan supersemar dalam materi yang lainnya untuk mengatasi ketiadaan alokasi waktu yang khusus mengulas permasalahan tentang Supersemar. Pada program IPS, guru memasukkan penjelasan kontroversi Supersemar pada materi “menganalisis perkembangan pemerintahan Orde Baru”. Oleh karena tidak adanya alokasi khusus pada bahasan tentang Supersemar, guru memasukan bahasan Supersemar sebagai salah satu hal yang turut berperan dalam perkembangan pemerintahan Orde Baru.

Pada program IPA upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi permasalahan alokasi waktu adalah dengan memasukkan bahasan tentang supersemar dalam materi utama tentang “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI”. Dalam hal ini guru berupaya untuk menjelaskan posisi Supersemar sebagai salah satu bagian dari peristiwa politik yang terjadi di Indonesia setelah peristiwa Gerakan 30 September. Antara kedua peristiwa tersebut memiliki hubungan yang saling berkaitan.

Guru memanfaatkan media massa dan internet untuk mendapatkan informasi kesejarahan terbaru. Dengan pemanfaatan media internet inlah guru juga berupaya untuk mengatasi kendala dalam hal akses informasi. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan minimnya alokasi waktu dalam pembelajaran yang mengulas permasalahan tentang Supersemar, guru mencoba untuk menggiatkan peserta didik belajar secara mandiri dengan memberikan penugasan berupa pencarian data di media massa atau internet. Penugasan inilah yang juga digunakan oleh guru sebagai bahan evaluasi.

Guru melakukan tukar pendapat dengan rekan sesama guru sejarah, baik di sekolah atupun rekan guru sejarah di sekolah lain untuk menyusun suatu perencanaan pembelajaran yang lebih bersifat menyeluruh. Dengan demikian, akan ada masukan-masukan terhadap perencanaan yang dilakukan oleh guru.


Simpulan

Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini memunculkan materi-materi tentang sejarah kontroversial, seperti Gerakan 30 September dan Supersemar. Dalam pembelajarannya, kedua materi tersebut sudah terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar tertentu pada program IPA, IPS, dan Bahasa. Pada pembelajarannya, ada dua tipe pembelajaran sejarah kontroverisal, yakni tipe mandiri seperti materi Gerakan 30 September dan tipe integral pada materi Supersemar. Kemunculan dua tipe ini dikarenakan materi yang diajarkan secara mandiri dinilai memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat dan memberikan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga perlu dajarkan dalam materi tersendiri. Sementara itu materi integral dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara langsung bagi masyarakat, dan hanya menjadi bagian dari suatu peristiwa yang lebih besar


DAFTAR PUSTAKA

Abu Su’ud. 1993. ’Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah (Sebuah Alternatif dalam Pengajaran Sejarah)’. Pidato Pengukuhan. Diucapkan pada penerimaan jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Semarang pada 23 Januari 1993.

Adam, Asvi Warman. 2006. “Pengantar Berpikir Historis Membenahi Sejarah”. Kata pengantar dalam Sam Wineburg. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan Mengajarkan Masa Lalu. Masri Maris (Penerjemah). Jakarta: Yayasa Obor Indonesia.

--------. 2007 a. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

--------. 2007 b. Pelurusan Sejarah Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Ahmad, Tsabit Azinar, dkk. 2008. ‘Pendekatan Kritis dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas untuk Mewujudkan Kesadaran Sejarah Peserta Didik’. Karya Tulis Ilmiah. Disusun dalam KKTM Bidang Pendidikan Tingkat Nasional pada 17 Juli 2008.

Purwanto, Bambang. 2001. ‘Reality and Myth in Contemporary Indonesian History’. Humaniora volume XIII, No. 2/2001. Hlm. 111-123.

---------. 2005. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sekretariat Negara RI. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka, Jilid III. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Soeterisno, Slamet. 2006. Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit Media Presindo.

Sumarkidjo, Atmadji. 2006. Jendral M. Jusuf: Panglima Para Prajurit. Jakarta: Kasta hasta.

Wardaya, Baskara T. 2007. Membongkar Supersemar! Dari CIA sampai Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Penerbit Galangpress.

Membedah Pemikiran Arnold J Toynbee

Oleh: Tsabit Azinar Ahmad

Peradaban menurut Spengler adalah tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki sifat perodiktif, beku, dan mengkristal. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi (it becomes) (Rahardjo, 2002:24). Sementara itu, Arnold Joseph Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah wujud daripada kehidupan suatu golongan kultur seluruhnya. Dengan mengacu pada pemikiran Spengler dapat diartikan bahwa peradaban merupakan tingkatan ketika masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan berada pada suatu posisi yang telah mapan, telah menjadi. Peradaban dapat pula diartikan sebagai kebudayaan yang telah mencapai taraf yang tinggi dan kompleks. Dengan demikian, berarti peradaban berasal dari kebudayaan. Oleh karena itu sebelum membahas tentang peradaban perlu dibahas pula konsep dasar tentang kebudayaan.

Secara bahasa, kebudayaan berasal dari kata budaya ---dari bahasa sanskerta budhayyah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal---. Kebudayaan secara bahasa berarti hasil dari olah akal manusia. Kebudayaan tesusun dari tiga wujud yang tiap-tiap wujud saling berinteraksi dan memengaruhi yang kemudian tersusun menjadi suatu sistem. J.J. Honingman dalam Koentjaraningrat (1990:186) menyebutkan bahwa ada tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts. Selantnya gejala kebudayaan ini juga disebut sebagai wujud dari kebudayaan yaitu sistem budaya (ideas), sistem sosial (activities) dan kebudayaan fisik (artifacts). Dengan mengacu pada pemikiran di atas, Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan serta hasil fisik yang dibuat oleh manusia dalam masyarakat melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1974; 1990).

Setelah muncul kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia, hal ini terus berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization[1], berarti kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala, antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara kompleks, teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata politik, agama, filsafat, dan seni (Rahardjo, 2002: 27). Bila dikaitkan antara peradaban dan unsur kebudayaan, yaitu (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi dan (7) kesenian, maka dapat diartikan bahwa kebudayaan yang telah memasuki tingkat peradaban, maka secara tidak langsung telah menjelaskan pula perkembangan unsur-unsur kebudayaan tersebut menjadi jauh lebih kompleks.

Dalam studi tentang peradaban, selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana peradaban itu muncul dari masyarakat yang primitif, bagaimana proses perkembangan peradaban manusia sehingga tetap mempertahankan eksistensinya, mengapa terjadi perpecahan dalam kebudayaan, serta mengapa sebuah peradaban itu bisa hancur. Upaya untuk menjelaskan gejala-gejala dalam peradaban telah dilakukan oleh para ahli. Antara lain yang terkenal adalah Ibnu Khaldun, Oswald Spengler, Julian H. Steward, dan Arnold Joseph Toynbee.

Salah satu tokoh yang sangat intens menyelediki permasalahan peradaban yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah Arnold Joseph Toynbee. Toynbee adalah seorang sejarawan dari Inggris yang secara gamblang menerangkan tentang konsep peradaban mulai dari kemunculan sampai runtuhnya. Kesemua pemikiran itu muncul dalam karya-karyanya, terutama yang sangat monumental A Study of History.

Sekilas Tentang Toynbee

Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di London, Inggris pada tanggal 14 April tahun 1889. Ia merupakan sejarawan besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia, A Study of history sejumlah 12 jilid antara tahun 1934-1961 yang menuliskan tentang sebuah metahistory yang ada dalam peradaban yang mencakup kemunculan, pertumbuhan dan kehancurannya. Toynbee merupakan kemenakan dari seorang sejarawan terkenal Arnold Toynbee, di mana namanya dengan sang paman sering salah digunakan karena kemiripan nama. Dia menamatkan studinya di Winchester College dan Baliol College di Oxford Inggris kemudian pada British Archaeological School di Athena Yunani. Ia memulai karir sebagai pengajar di Balliol pada tahun 1912, dan kemudian menjadi pengajar di King’s College, London kemudian sebagai Profesor sejarah Modern Yunani dan Binzantium, menjadi guru besar sejarah internasional di Universitas London pada 1925-1946, serta pada London School Economics dan di Royal Institute of International Affairs (RIIA) di Chatam House. Kemudian ia menjadi pemimpin dari RIIA pada tahun 1925-1955 (Ekayati, 1996). Dia bekerja pada departemen Ilmu Pengetahuan di Departemen Luar Negeri Inggris dan pada saat perang dunia pertama berlangsung dan kemudian menjadi delegasi pada Paris Peace Conference pada tahun 1919 dan pada 1946 menjadi delegasi untuk acara yang sama. Bersama dengan asisten penelitinya, Veronica M. Boulter, yang kemudian nantinya menjadi istri keduanya, dia menjadi co-editor Survey of International Affairs yang diadakan RIIA. Pada saat perang dunia kedua, dia kembali bekerja di departemen luar negeri dan menjadi pembicara pada seminar tentang perdamaian.

Kehidupan pribadinya, ia menikah dengan rosalind Murray, purti dari Gilbert Murray dan dikaruniai tiga orang putera. Namun mereka bercerai, dan kemudian Toynbee menikah dengan Veronica M. Boulter pada tahun 1946. Toynbee meninggal pada 22 Oktober 1975 (http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee).

Pemikiran yang Mempengaruhi

Ilmuwan yang mempelajari tentang peradaban selain Toynbee antara lain Ibnu Khaldun dan Oswald Spengler. Kedua tokoh tersebut sedikit banyak memberikan andil yang besar dalam pemikiran Toynbee. Terutama Khaldun, yang oleh Toynbee dijuluki sebagai “Jenius Arab”. Hal ini dikarenakan Khaldun telah mampu untuk berpikir secara logis, objektif, dan analitik dalam karyanya berjudul Mukadimah. Berikut adalah permikiran kedua tokoh tersebut.

Khaldun (1332-1406) merupakan seorang sarjana Arab asal Tunisa. Ia melihat keteraturan lingkaran kehidupan peradaban, menyerupai lingkaran kehidupan organisme: tumbuh-dewasa-uzur. Rentang waktu lingkaran kehidupan rezim politik kurang lebih sama yakni sekitar seratus tahun atau selama tiga generasi. Ada lingkaran perubahan tingkatan sosial atau solidaritas kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Perubahanya melaui tiga tahap, pertama ada solidaritas sangat kuat yang ditimbulkan oleh kekerasan kondisi kehidupan nomaden di gurun pasir. Kedua, munculnya kultur kehidupan menetap dilokasi tertentu dan meningkatnya kemakmuran memperburuk ikatan kelompok dan memperlemah solidaritas. Ketiga, ini menyebabkan hancurnya ikatan sosial, membubarkan kelompok, lalu diikuti oleh kristalisasi kelompok berdasarkan ikatan sosial baru. Karya Khaldun yang menjadi inspirasi sebagian pemikir tentang peradaban adalah Mukadimah.

Spengler (1880-1936), seorang filsuf barat menyatakan bahwa kebudayaan dan peradaban yang merupakan organisme kehidupan di wilayahnya sendiri, seperti tanaman, hewan dan manusia, meskipun tingkatan yang paling tinggi. Ia mengidentifikasi sembilan organisme tertinggi, tiga di antaranya adalah Babilonia, Mesir Kuno, dan Klasik (Romawi-Yunani) di waktu lampau. Spengler mengatakan bahwa setiap peradaban besar mengalami proses pentahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. Pandangan Spengler ini mengacu pada kebudayaan-kebudayaan yang kini telah tiada, seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurut Spengler, kebudayaan itu tumbuh, berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang; tetapi juga kadang-kadang juga muncul mendadak, berkembang dan kemudian lenyap. Kalau diumpamakan, laksana tahap perkembangan seorang manusia, melewati masa muda, masa dewasa, masa tua, dan akhirnya punah (Purnomo, 2003).

Dalam pemikiran Spengler, setiap kebudayaan mengalami empat stadium (Purnomo, 2003). Analog dengan musim, maka kebudayaan akam mengalami masa semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin.musim semi adalah musim kanak-kanak. Pada waktu kebudayaan masa ini adalah masa mengatasi atau menetapkan. Periode kedua adalah masa remaja atau masa berkembang yang dianggap sebagai waktu untuk mematangkan diri. Di belahan dunia barat, masa ini terjadi pada saat renaissance. Periode ketiga adalah masa dewasa yang dalam kebudayaan ditandai dengan berdirinya kota besar. Dan masa keempat yang diyatakan sebagai masa kehancuran atau kematian. Pada periode musim dingin ini adalah periode “meterial comfort”. Manusia menjadi budak dari mesin-mesin dan sistem-sietem industri. Akhir periode ini tercapai dengan datangnya theosophy baru, datangnya messiah, yang merupakan harapan.

Antara pemikiran Toynbee dan Spengler ada semacam kesamaan, yaitu tentang gerak dari sejarah atau peradaban itu sendiri dan pendekatan yang digunakan. Apabila Spengler menyatakan bahwa kehancuran adalah layaknya organisme yang pasti terjadi dan tidak bisa ditahan, maka Toynbee menyatakan bahwa kehancuran bisa ditahan. Selain itu, ia menolak paham Spengler yang deterministik yang menggambarkan bahwa peradaban timbul dan tenggelam sebagai sebuah siklus yang mengikuti kehendak alam.

Pemikiran toynbee tentang peradaban adalah bahwa peradaban selalu mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori Toynbee ini senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan, kematian, kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran Toynbee ini senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa pra-Socrates.

Mengacu pada pemikiran Toynbee tentang terbentuknya gereja universal, munculnya penyelamat atau Al Mahdi, pernyataan bahwa peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama, dan fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan maka secara tidak langsung pemikiran ini senada dengan pemikiran para pemikir patristik, seperti St Augustinus. Lebih lanjut lagi Toynbee menyatakan bahwa keruntuhan kebudayaan bisa dihentikan. Upaya menghentikan keruntuhan kebudayaan/peradaban yang mungkin berhasil ialah dengan penggantian segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan (Ali, 1961:85-87). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret adalah Kerajaan Allah. Mengenai pandangan ini Ali menyatakan bahwa teori Toynbee merupakan muara teori Augustinus, yatu Civitas Dei (Purnomo, 2003:38; Ali, 1961:85-87).

Dari sekian banyak karya dari Toynbee, baik sebagai penulis utama, kontributor, editor, translator, serta pemberi kata pengantar dan pendahuluan, karya yang paling monumental dari Toynbee adalah bukunya yang ditulis mulai dari tahun 1930-an sampai tahun 1961, yaitu A Study of History. Buku ini terdiri dari 12 jilid, yang masing-masing jilid menerangkan tahapan dalam peradaban mulai dari kemunculan, pertumbuhan, dan kehancuran.

Konsep Peradaban Toynbee

Toynbee membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Dari jumlah peradaban itu 16 telah musnah, tiga lebur, sementara itu 7 lainnya masih bertahan. Ketujuh peradaban itu kemudian dikombinasikan menjadi lima, yaitu (1) Peradaban Barat, (2) Kristen Ortodoks, termasuk Eropa Tenggara, (3) Islam, (4) Hindu, dan (5) Timur Jauh, termasuk di dalamnya Cina, Jepang, dan Korea (Ekayati, 1996). Pembagian sejarah ini yang mendasari dilakukannya kajian tentang peradaban dalam bukunya, A Study of History. Peradaban-peradaban yang menjadi kajian dari Toynbee adalah Mesir, Andean, Sinic, Minoan, Sumeria, Maya, Indic, Hittite, Hellenik, Peradaban Barat, Kristen Kaum ortodox di Rusia dan Eropa, Cina dan timur jauh (Korea/Jepang),Iran, Arab, Hindu, Mexic, Yucatek, dan Babylonia. Selainj itu ada empat 'abortif civilisations' ( Kristen Barat Jauh, Kristen timur Jauh, Syriac, dan Scandinavia) dan lima peradaban yang bertahan (arrested civilization) yaitu Polinesia, Eskimo, Nomadic, ottoman, dan Spartan. Dari sekian peradaban yang ditelitinya total ada tiga puluh peradaban.

Dalam mengaji peradaban itu, Toynbee melakukan pendekatan yang sama (Sztompka, 2004:173-174). Ia dengan detail mengulas tentang asal usul, pertumbuhan, kemuduran, status universal, dan disintegrasi. Ia membuat generalisasi berdasarkan semua bukti historis yang pernah tercatat. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat bukan keseluruhan umat, bukan pula satu negara-bangsa tertentu tetapi adalah “unit menengah” yang rentangan ruang dan waktunya lebih besar daripada sebuh masyarakat tertentu tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni peradaban. Gagasan tentang adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban muncul kembali. Contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam peradaban Hindu; ilmu dan teknologi dalam peradaban Barat.

Toynbee melihat gejala peradaban sebagai sebuah siklus. Dalam pandangan ini peradaban, seperti halnya riwayat organisme hidup, mengalami tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasam dan runtuh. Dalam proses perputaran itu sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total. Terdapat kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang tidak sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya (Rahardjo, 2002:5-12). Toynbee menyatakan bahwa peradaban peradaban baru yang menggantikannya itu dapat mencapai prestasi melebihi peradaban yang digantikannya. Lebih lanjut lagi bagi Toynbee peradaban adalah suatu rangkaian siklus kehancuran dan pertumbuhan, tetapi setiap peradaban baru yang kemudian muncul dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dengan demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap pencapaian yang lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas peradaban yang lain (Rahardjo, 2002:5-12).

Toynbee membagi pentahapan ke dalam tiga periode utama, yaitu geneses, growth, dan breakdown. Namun karena Toynbee memberikan perhatian paling besar pada periode ketiga, maka bagian ini masih disambung lagi dengan tahap-tahap disintegrations, universal states, universal churches, dan heroic ages, yang menandai akhir suatu siklus dan awal siklus baru. Disamping itu Toynbee dalam bukunya A Study of History masih menambahkan aspek-aspek lain dari gejala peradaban, yakni contacs between civilization in space, dan contact between ciivlization in time.

Peradaban bagi Toynbee bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia, yakni semangat yang kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual (Rahardjo, 2002:5-12).

Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dalam sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu perkembangan peradaban (Lauer, 2001:49-57).

Peradaban muncul karena dua faktor yang berkaitan: adanya minoritas kreatif dan kondisi lingkungan. Antara keduanya tak ada yang terlalu menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan kultur. Mekanisme kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup kultur dijelmakan dalam konsep tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan masyarakat melalui minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu. Segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncul tantangan baru dan diikuti oleh tanggapan berikutnya (Sztompka, 2004:173-174).

Toynbee memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan kesukaran ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat). Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa keluar dari masyarakat primitif.

Tantangan dan tanggapan adalah bersifat fisik, seperti ketika penduduk zaman neolithik berkembang menjadi suatu masyarakat yang mampu menyelesaikan proyek irigasi besar-besaran; atau seperti ketika Gereja Agama Katholik memecahkan kekacauan post-Roman Eropa dengan pendaftaran Kerajaan berkenaan dengan bahasa Jerman yang baru di dalam masyarakat religius tunggal.

Peradaban muncul sebagai tanggapan atas tantangan. Mekanisme sebab-akibat bukanlah sesuatu yang benar-benar ada, tetapi hanya sekadar hubungan, dan hubungan itu dapat terjadi antara manusia dan alam atau antara manusia dan manusia. Sebagai contoh, peradaban Mesir sebagai hasil tanggapan yang memadai atas tantangan berasal dari rawa dan hutan belantara lembah Nil, sedangkan peradaban lain muncul dari tantangan konflik antarkelompok.

Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Toynbee membahas lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang: ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan (Lauer, 2001:49-57). Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar ditaklukkan, seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang sensntiasa mengancam seperti di sepanjang sungan Hoang Ho, Cina. Kawasan baru mengacu kepada daerah yng belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat akan merasa asing dan melakukan upaya untuk adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan, temasuk yang baru ditaklukkan dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan hukuman atau pembuangan mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksloitasi (Lauer, 2001:49-57).

Yang jelas, bila kita mendapat tantangan, kita tidak selalu memberikan tanggapan yang dapat membangkitkan suatu peradaban. Namun demikian, tidak semua tantangan bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan positif. Ada pula tantangan yang tidak menimbulkan peradaban. Dalam Ali (Purnomo, 2003) diterangkan bahwa dalam alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan, seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi). Tantangan itu mungkin sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat menciptakan tanggapan memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara tantangan dan tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk kurva linear. Artinya tingkat kesukaran yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi tantangan ekstrim dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin membangkitkan tanggapan memadai (Lauer, 2001:49-57).

Dalam fase pertumbuhan peradaban, tanggapan senantiasa berhasil, minoritas kreatif membuat upaya baru untuk menanggapi tatangan baru dan dengan cara demikian menghancurkan tradisi yang dianggap kolot dan primitif (Rahardjo, 2002:5-12). Artinya peradaban mulai berkembang ketika minoritas keatif menemukan suatu tantangan dan kemudian merespon dan menemukan jalan keluar dan inovasi (http://en.wikipedia.org/wiki/A_Study_of_History).

Oleh karena itu, pertumbuhan itu terjadi pada saat jawaban terhadap tantangan tidak hanya berhasil dilalui, tetapi juga keberhasilan itu menimbulkan tantangan lanjutan yang kembali dapat diatasi. Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan itu. Sejumlah kecil (minoritas) itu menciptakan kebudayaan; dan massa yang lain (mayoritas) meniru. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta, suatu kebudayaan tidak dapat berkembang.

Pertumbuhan atau kemajuan sesungguhnya adalah energi kreatif yang tumbuh sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam mengatasi tantangan-tantangan eksternal. Ia mengatakan bahwa kemajuan manusia seharusnya diukur dari peningkatan semangat yang kuat (self-determination) yang biasanya dimiliki oleh sekelompok kecil individu yang kreatif (minority of creative persons). Dengan demikian, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan sipiritual (Rahardjo, 2002:5-12).

Pertumbuhan peradaban tergantung pada perilaku minoritas kreatif. Seluruh tindakan sosial adalah karya individu-individu pencipta. Namun kebanyakan umat manusia cenderung tetap teperosok ke dalam cara-cara hidup lama. Oleh karena itu, tugas minoritas kreatif bukanlah semata-mata menciptakan bentuk-bentuk dan proses-proses sosial baru, melainkan juga menciptakan cara-cara membawa mayoritas ini bersama-sama dengan mereka untuk mencapai kemajuan. Dengan pimpinan elit, peradaban akan tumbuh melalui serentetan tanggapan yang berhasil menghadapi tantangan yang berkelanjutan.

Toynbee dalam Lauer (2001) menyebut tahap pertumbuhan (growth) sebagai proses “penghalusan”, yakni pergeseran penekanan dari alam kemanusiaan atau perilaku yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Ini berarti menaklukkan rintangan awal sehingga dengan demikian energi dapat tersalurkan untuk menanggapi tantangan yang lebih bersifat internal dari pada yang bersifat eksternal, dan yang bersifat spiritual ketimbang material. Pertumbuhan demikian berarti peningkatan penentuan nasib sendiri, dan ini menimbulkkan deferensiasi terus menerus di antara bagian-bagian masyarakat. Diferensiasi ini tejadi karena sebagian masyarakat tertentu berhasi memberikan tanggapan memadai atas tantangan; sebagian yang lain berhasil dengan jalan meniru bagian yang berhasil itu. Sebagian yang lain lagi gagal, baik dalam menciptakan atau meniru, dan demikian akan mendekati kematian. Akibatnya adalah berkembangnya ciri khas tertentu di dalam setia peradaban. Peradaban Yunani misalnya, memiliki keunggulan pandangan estetika mengenai kehidupan sebagai suatu keseluruhan. Peradaban hindu dan India cenderung menuju ke suatu pandangan hidup yang mengtamakan keagamaan (Lauer, 2001:49-57).

Tak ada peradaban yang terus menerus tumbuh tanpa batas. Umumnya peradaban akan mengalami kehancuran bila elit kreatifnya tidak berfungsi secara memadai, mayoritas tak lagi memberikan kesetiaan kepada minoritas, dan menirunya; dan bila kesatuan sosial mengalami perpecahan. Kehancuran dan perpecahan adalah biasa, namun tak terelakkan. Mungkin pula terjadi proses pembatuan, seperti ditunjukkan oleh masyarakat mesir kuno dan timur jauh. Dalam keadaan membatu masyarakat hidup terus, meskipun sebenarnya sudah menamatkan perjalanan hidupnya (Lauer, 2001:49-57).

Dalam fase perpecahan dan kehancuran peradaban, minoritas kreatif behenti menjadi manusia kreatif. Peradaban binasa dari dalam karena kemampuan kreatif sangat menurun padahal tantangan baru semakin meningkat. Kehancuran peradaban disebabkan oleh kegagalan kekuatan kreatif kalangan minoritas dan karena lenyapnya kesatuan sosial dalam masyarakat sebagai satu kesatuan (Sztompka, 2004:173-174). Apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak akan berkembang lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, keruntuhan mulai nampak. Keruntuhan terjadi dalam tiga tahap (Purnomo, 2003), yaitu

a. Kemerosotan kebudayaan. Masa ini tejadi karena minoritas kehilangan daya menciptanya dan kehilangan kewibawaannya, sehingga mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Perarutan alam dalam kebudayaan yang dibuat antara mayoritas dan minoritas pecah dan tunas-tunas kebudayaan menuju pada kematian.

b. Kehancuran kebudayaan. Masa ini mulai muncul setelah tunas-tunas kehidupan kebudayaan mati, sehingga pertumbuhannya terhenti. Akibatnya daya hidup kebudayaan membeku dan kebudayaan tesebut menjadi tidak berjiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification atau pembatuan (menjadi fosil) kebudayaan.

c. Lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.

Toynbee menyatakan bahwa uraian peradaban tidaklah disebabkan oleh hilangnya kendali terdiri atas lingkungan, yang terdiri atas lingkungan manusia, atau faktor yang menyerang dari luar. Kemunduran itu diakibatkan kemandulan dari "minoritas yang kreatif," kemudian menjadi " minoritas dominan" yang memaksa mayoritas untuk mematuhi tanpa pantas menerima ketaatan. Ia menyatakan minoritas kreatif itu memburuk dalam kaitan dengan suatu pemujaan. Mereka selalu bernostalgia tentang " diri yang dahulu," dengan mana mereka menjadi merasa bangga, dan gagal untuk cukup menunjuk tantangan yang berikutnya yang mereka menghadapi (http://en.wikipedia.org/wiki/a_study_of_history).

Lebih lanjut lagi, Toynbee menyatakan bahwa, keruntuhan peradaban bermula ketika terbentuk suatu "Kaum tani Internal" (internal proletariat) dan "Kaum tani Eksternal" (external proletariat). Protelariat yang internal berhasil ditundukkan oleh minoritas yang dominan di dalam peradaban, akan tetapi kaum proletariar eksternal yang ada di luar peradaban itu berada dalam kemiskinan dan kekacauan, dan pada akhirnya tumbuh cemburu dan dengki. Ia menyatakan bahwa hal itu sebagai bentuk kemunduran peradaban, proses ini disebut " perpecahan dalam badan sosial" (schism in the body social) di mana kebebasan yang tanpa kendali dan pengendalian-diri bersama-sama menggantikan kreativitas, dan kemangkiran dan kesyahidan/semangat martir bersama-sama menggantikan semangat untuk belajar seperti yang diajarkan oleh minoritas kreatif .

Ia menyatakan bahwa di dalam lingkungan ini, orang-orang memilih archaism (kekolotan), futurisme, detasemen (penghilangan dirinya dari kenyataan kemunduran dunia), dan transenden. Ia menyatakan bahwa transendensi telah menyebabkan kelahiran bagi gereja sebagai upaya untuk pengalihan perhatian dari keterpurukan yang terjadi kepada hal yang lebih bersifat rohani dan menjadi manusia baru.

Peradaban itu hancur dan bila kehancuran terjadi, diikuti pula oleh khas seperti berikut. Terjadi perpecahan masyarakat, diikuti perpecahan peradaban menjadi tiga kelompok yang berlawanan, yaitu minoritas dominan, proletariat internal, dan proletariat eksternal. Masing-masing kelompok selanjutnya menciptakan institusi yang khas: suasana universal (universal state), gereja universal (universal chruch), dan peperangan biadab (heroic ages) (Lauer, 2001:49-57).

Penciptaan suasana universal berarti bahwa elit memaksa rakyat dengan kekuatan; elit mengubah dirinya menjadi kalangan berkuasa. Ini dilakukan dengan sengaja untuk bersama-sama menghancurkan peradaban. Ia menyatakan bahwa tanda yang terakhir yang menandakan bahwa suatu peradaban telah pecah adalah ketika minoritas yang dominan membentuk "Status/suasana Universal," yang membuat tidak berdaya kreativitas politis. Ia menyatakan:

First the Dominant Minority attempts to hold by force—against all right and reason—a position of inherited privilege which it has ceased to merit; and then the Proletariat repays injustice with resentment, fear with hate, and violence with violence when it executes its acts of secession. Yet the whole movement ends in positive acts of creation—and this on the part of all the actors in the tragedy of disintegration. The Dominant Minority creates a universal state, the Internal Proletariat a universal church, and the External Proletariat a bevy of barbarian war-bands (http://en.wikipedia.org/wiki/a_study_of_history) .

Sebagai tanggapan dari status universal, proletariat internal mempersiakan “orang dalam” bukan “orang luar” masyarakat, berbalik menentang elit dan membentuk sebuah gereja universal. Toynbee menggunakan istilah gereja karena mengacu pada ikatan rohani yang kolektif yang melingkupi kepada suatu pemujaan umum atau kesatuan yang sama yang ditemukan dalam beberapa macam perilaku sosial.

Proletariat eksternal adalah orang yang secara kultural dipengaruhi oleh pertumbuhan peradaban, tetapi tidak terpengaruh ketika kehancuran terjadi, kemudian berhenti menirunya dan bahkan menjadi musuh peradaban itu. Batas antara peradaban dan proletariat eksternal menjadi garis demarkasi militer. Pemberontakan proletariat eksternal, yakni barbarian yang tak mau lagi menerima perlakuan sebagai orang taklukan segera setelah peradaban mulai mengalami keruntuhan menjadikan suatu peradaban pecah dan kacau (Lauer, 2001:49-57).

Seperti Khaldun, Toynbee memusatkan perhatiannya pada aspek sosio-psikologis perubahan sosial. Karena itu sebelum melukiskan pepecahan dalam tubuh masyarakat, ia telebih dahulu membahas perpecahan dalam jiwa masyarakat. Perpecahan tu berbagai cara perilaku, perasaan, dan kehidupan yang menandai peradaban sedang tumbuh digantikan oleh berbagai penggantinya yang berlawanan. Sebagai contoh bila dalam peradaban yang sedang berkembang orang hidup lebih dirasakan atau perasaan yang diliputi kebahagiaan dan bersemangat, di dalam peradaban yang mengalami perpecahan (di luar kehendaknya) orang berjuang dengan perasaan menerawang dan perasaan berdosa (Lauer, 2001:49-57).

Singkatnya, perpecahan peradaban itu diungkapkan dalam istilah mundur teratur. Sebagai contoh keadaan universal mencerminkan konsolidasi sesudah mundur teratur ketika berada dalam keadaan sukar. Terakhir mengingat peradaban yang tumbuh ditandai oleh peningkatan diferensiasi, sebaliknya peradaban yang sedang hancur ditandai oleh peningkatan standarisasi. Minortias dominan secara seragam menciptakan falsafah dan keadaan universal; proletariat internal secara seragam menemukan agama yang lebih agung, yang diungkapkan melalui sebuah gereja universal; proletariat eksternal secara serentak menghimpun pasukan untuk melancarkan serangan terhadap peradaban (Lauer, 2001:49-57).

Berbeda dengan Spengler, Toynbee menyatakan bahwa kehancuran kebudayaan dapat ditahan. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al Mahdi. Akan tetapi perjuangan itu tidak berhasil sama sekali. Suatu usaha untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil ialah penggantian dari suatu kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan (Purnomo, 2003). Hal ini dibuktikan dengan pada tingkat perpecahan dimunculkan juru selamat masyarakat. Secara khusus ada empat jenis juru selamat yang muncul (Lauer, 2001:49-57), yaitu

a. Juru selamat dengan pedang, yakni pencipta dan penegak keadaan universal

b. Juru selamat dengan mesin waktu, yakni orang yang berpandangan kolot atau yanmg berpandangan maju. Orang yang berpandangan kolot adalah yang merasa selamat dengan memulihkan zaman ke keemasa masa lalu. Sedangkan yang berpandangan maju, mereka yang selamat dengan melompat ke masa depan yang belum diketahui (dengan revolusi yang memutuskan hubungan masyarakat dengan masa lalu)

c. Falsafah yang menyatakan bahwa raja mencreminkan penyelesaian masalah tanpa menggunkan pedang dan mesin waktu. Hal ini dikemukakan oleh Plato. Penyelesaian ini memerlukan suatu kesatuan falsafah dan kekuatan politik, baik filsuf harus menjadi raja, atau raja harus menjadi filsuf. Toynbee menyatakan penyelesaian ini akan mengalami kegagalan karena kontradiksi ensternal antara sikap tak terpengaruh dari filsif dan campur tangan penggunaan kekuasaandan paksaan dari raja.

d. Penjelmaan tuhan dalam diri manusia. Ini seperti halnya yang ada pada diri juru selamat yang mencerminkan dirinya sendiri sebagai tuhan yang menawarkan harapan, atau tepatnya hanyalah isa almasih yang dapat membebaskan manusia dari kematian.

Toynbee menyatakan adanya pola umum yang melandasi atau logika unik yang terjelma sendiri dalam jangka panjang dan belaku untuk semua peradaban. Pola umum itu adalah kemajuan spiritual dan agama. Peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama. Fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan yang makin mendalam dan untuk bertindak berdasarkan wawasan itu

Pandangan Toynbee tentang gerak sejarah adalah bahwa dalam sejarah tidak terdapat suatu hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul-tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti. Toynbee menganjurkan bahwa sejarah harus dipelajari secara holistik. Mempelajari sejarah tidak dapat dipisah-pisahkan antara bagian-bagian yang ada di dalamnya. Mempelajari sejarah harus mempelajari suatu masyarakat secara keseluruhan, masyarakat secara utuh sebagai satu kesatuan unit dari proses sejarah (Purnomo, 2003).

Oleh karena sejarah adalah studi tentang peradaban, Toynbee menyatakan bahwa ada kontinuitas dalam sejarah. Contoh kontinuitas tersebut adalah adanya orang tua dan anak. Kontinuitas sejarah bukan kontinuitas individu, melainkan kelangsungan generasi. Oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam mempelajari sejarah sebagai satu unit harus dihilangkan (Purnomo, 2003).

Kaitannya dengan permasalahan yang terjadi pada masa ini yang menjadi permasalahan universal yang terjadi tidak hanya pada masa lalu, tetapi juga pada masa kini, Toynbee memusatkan perhatian pada kemungkinan perkembangan peradaban barat dan nasib peradaban masa lalu. Ia mengemukakan sejumlah masalah mendasar yang dihadapi dan harus diselesaikan (Lauer, 2001:49-57), yaitu

a. Masalah perang yang telah menjadi penyebab utama perpecahan dan kehancuran peradaban masa lalu. Dengan ditemukannya bom nuklir, pengendalian perang menjadi semakin mendesak.

b. Masalah pertentangan kelas. Industrialisasi menyebabkan bagian terbesar barang kebutuhan material tidak lagi dimonopoli oleh segelintir orang yang memiliki hak istimewa. Rakyat takkan senang, kecuali kalau mereka sudah bebas dari kemiskinan. Paling tidak dalam kasus ini ada beberapa kelas, yaitu kaum buruh yang kemudian bergabung dalam serikat buruh.kemduian ada pula kelas menengah yang terperosok ke dalam pengekangan kehidupan dalam bentuk birokrasi.

c. Pertambahan penduduk dan kesejahteraan sosial.

Simpulan

Sejarah manusia yang dikemukakan Toynbee adalah suatu lingkaran perubahan berkepanjangan dari peradaban: lahir, tumbuh, pecah, dan hancur. Kaitannya dengan gerak sejarah, Toynbee menyatakan bahwa sejarah umat manusia sama halnya dengan konsep peradaban, mengalami siklus, mulai dari kemunculan sampai pada kehancuran.

Kemunculan peradaban, pertumbuhan, dan kehancuran peradaban ada satu benang merah yng mengaitkannya, yaitu adanya kalangan yang memegang pengaruh. Dari kemunculan peradaban dan pertumbuhannya ada istilah minoritas kreatif yang menjadi penentu peradaban dan massa. Pada fase kemunduran, yang disebabkan mandek-nya kaum minoritas kreatif dalam menaggapi tantangan secara tepat melalui inovasi, ada istilah minoritas dominan yang menyelewengkan kekuasaannya. Pelajaran yang dapat diambil dari pemikiran Toynbee adalah bahwa kehancuran dimulai dari mandulnya kreativitas manusia. Selain itu Toynbee juga mengingatkan kita kepada hasil studinya yang menyatakan tak ada peradaban yang kebal terhadap kemerosotan tetapi, ada upaya yang bisa dilakukan untuk tetap menjaga eksistensi dengan mengembangkan inovasi dan kreativitas.

Daftar Pustaka

Ali, R. Moh. 1961. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: Bhratara.

Ekayati. 1996. ‘Arnold J. Toynbee’. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jilid 16. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Hal 413-414.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

------------. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Purnomo, Arif. 2003. Pengantar Memahami Filsafat Sejarah. Paparan Kuliah. Tidak Diterbitkan. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Rahardjo, Supratikno. 2002. Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.

Sztompka, Piötr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.

Wikipedia free encyclopedia. 2006. Arnold Joseph Toynbee. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee (diunduh pada 23 Mei 2006)

Wikipedia free encyclopedia. 2006. A Study of history. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/A_Study_of_History (diunduh pada 23 Mei 2006)




[1] Civilization berasal dari bahasa latin civics dan civitas yang berarti warga kota dan negara-kota. Kata lainnya yakni civilitas yang berarti kewarganegaraan. Dalam Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Ekonomi, dan Agama Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal 26-27.

Senin, 04 Mei 2009

Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa: Dari Vorstdomain sampai Landreform

PENDAHULUAN

Semenjak hidup menetap, persepsi manusia terhadap tanah mengalami pergeseran. Semula manusia hanya menganggap tanah sebagai jalur yang dilewati ketika hidup secara berpindah dan hanya beberapa lama didiami. Akan tetapi dalam perkembangannya tanah memiliki makna penting tidak lagi sebagai tempat singgah sementara, tetapi sebagai tempat hidup. Ketika konsep pertanian dikenal, manusia mulai memanfaatkan tanah sebagai sumber produksi untuk bertahan hidup. Mulai saat inilah konsep tanah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan manusia, terutama pada masyarakat agraris.

Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarkat agraris yang memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Tanah bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset prduksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman perdagangan.

Posisi penting tanah dalam masyarakat pedesaan Jawa terlihat dari istilah “sedumuk bathuk sanyari bumi, den lakoni taker pati, sanadyan pecahing dhadha wutahing ludira”. Istilah tersebut menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat Jawa dalam memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela meskipun sampai mati, tidak peduli pecahnya dada dan tumpahnya darah. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup mati (survival), kepentingan, harga diri, eksistensi, “ideologi”, dan nilai (Sastroatmodjo, 2007:28)

Permasalahan tanah inilah yang menurut Sartono Kartodirdjo pada akhirnya mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani, untuk melakukan gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan tanah maupun pemerintah (Padmo, 2000:1). Permasalahan tanah ini pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis, yakni gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan revivalis yakni gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau.

Tanah menjadi salah satu penyebab berbagai gerakan protes petani. Contoh kasus gerakan protes petani karena masalah tanah adalah seperti gerakan protes petani di Desa Patik, Ponorogo pada November 1885. Gerakan tersebut bertujuan menghapuskan pajak-pajak atas tanah. Salah satu penyebab munculnya gerakan ini adalah masalah penarikan pajak tanah oleh Belanda (Ong Hok Ham, 1991: 59). Selain itu ada pula gerakan petani di Cilegon, Banten pada 1888. Sartono Kartodirdjo menjelakan bahwa gerakan ini salah satunya disebabkan masalah sosial ekonomi, yakni masalah konflik atas hak-hak tanah antara penduduk dengan pemerintah Hindia Belanda. Permasalahan seperti penghapusan tanah-tanah kerajaan, penghapusan tanah-tanah pusaka, serta penarikan pajak atas tanah merupakan salah satu penyebab gerakan protes petani di Banten tahun 1888 (Kuntowijoyo, 2008:44). Kemudian ada pula gerakan protes petani di Klaten tahun 1959-1965 karena ketidakseimbangan penguasaan tanah yang pada akhirnya memunculkan ketegangan-ketegangan akibat kebijakan pemerintah RI dalam bidang agraria (Padmo, 2000). Masalah tentang tanah dengan demikian menjadi salah satu permasalahan pokok masyarakat petani. Bahkan secara ekstrem dapat dinyatakan bahwa sejarah tentang masyarakat petani adalah sejarah tentang tanah, meliputi penguasaan tanah, hak pengelolaan tanah, tugas dan tanggung jawab pengelola tanah, dan sebagainya.

Begitu pentingnya masalah tanah ini maka setiap penguasa berusaha untuk melakukan pengaturan sedemikan rupa sehingga mereka dapat mengambil keuntungan atas tanah tersebut (Wasino, 2006:1). Permasalahan tersebut berlaku untuk semua jenis tanah, terutama tanah pertanian sebagai sumber penghidupan masyarakat agraris. Dari sanalah awal mula kemunculan pola-pola penguasaan atas tanah pertanian. Dari latar belakang tersebut, tulisan ini mencoba meguraikan pola penguasaan tanah pertanian di Jawa. Jawa dalam tulisan ini mengacu pada satu kawasan yang oleh Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian disebut dengan kawasan Kejawen. Kejawen yang dimaksud di sini adalah kejawen dalam arti sempit, seperti yang dijelaskan WJS Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawa seperti dikutip Kano (1986: 14) yaitu tanah sing isih rada kawengku ratu Jawa (Surakarta, Ngayogyakarta) atau tanah yang umumnya masih milik sushunan Surakarta dan kesultanan Yogyakarta.

PENGUASAAN TANAH PERTANIAN DI JAWA DARI MASA KE MASA

Penguasaan Tanah Pertanian Masa Tradisional

Landasan pikir awal untuk memahami pola penguasaan tanah pertanian di Jawa pada masa lampau adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas raja sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah. Kemudian dalam pengelolaannya raja memiliki bawahan untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham (1984:5) yakni menurut tradisi mutlak raja adalah satu-satnya pemilik tanah dalam arti secara teoretis ialah yang berkuasa atasnya. Dalam penguasaannya ada beberapa jenis tanah pada masa tradisional ini yakni tanah narawita dan tanah lungguh/bengkok/apanage (Wasino, 2005:1-2). Tanah narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja, sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh bangsawan atau pejabat.

Keberadaan tanah narawita dan lungguh terletak di daerah yang disebut dengan Negara Agung. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar benteng yang berada di antara Kuthagara dan Mancanegara. Daerah Negara Agung terdiri atas beberapa daerah yakni daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi (di daerah Kedu Barat), Bumija (di daerah Kedu Timur), Numbak Anyar (di daerah Bagelen timur), Penumping (daerah sebelah barat Surakarta), serta Panekar di daerah Sukawati dan Pajang (Wasino, 2005:18).

Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag (Wasino, 2005:29; Suhartono, 1991:29). Bumi pamajegan merupakan tanah-tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan tanah yang penduduknya mendapat tugas transportasi.

Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, teapi sebagai pengganti jerih paya dari raja mereka mendapat ganduhan atau peminjaman tanah, sebagai tanah lungguh. Dari hasil bumi tanah tersebut para pejabat dapat membiayai keperluan hidupnya. Hasil dari tanah sebagian diberikan kepada kas kerajaan (Pesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984: 20). Jumlah tanah yang diberikan berbeda-beda. Dalam Serat Pustaka Raja Purwara misalnya disebutkan bahwa ibu raja dan istri raja masing-masing mendapat tanah lungguh 1000 karya, Adipati Anom seluas 8000 karya, Wedana Lebet mendapat tanah seluas 5000 karya, dan sebagainya. Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah karya atau cacah, yakni jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut, ukuran apanage adalah jung kira-kira 28.386 m2 yang dikerjakan oleh empat cacah/karya (Suhartono, 1991:30).

Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh dalam pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh dibantu oleh bêkêl sebagai pengelola tanah lungguh. Bêkêl bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun okasional.

Di dalam perkembangannya, bêkêl kemudian berkembang menjadi penguasa tunggal di suatu desa. Dialah yang bertindak sebagai penghubung antara masyarakat petani dan penguasa. Dalam pelaksanaan tugasnya Wasino (2005: 32) menjelaskan bahwa Bêkêl bertindak pula sebagai kepala desa atau kepala dukuh yang bertanggung jawab pula dalam bidang ketertiban dan keamanan desa. Sebagai pemimpin masyarakat desa mereka dibantu oleh tua-tua desa, mancapat-manca lima, serta mancakaki desa. Bêkêl berhak mendapat 1/5 (seperlima) bagian dari hasil sawah, sementara itu 2/5 untuk raja dan 2/5 untuk patuh (Suhartono, 1991: 31). Seperlima bagian inilah yang menurut Suroyo (2000) berkembang menjadi tanah bengkok.

Selain terdapat struktur patuh dan bêkêl, di kalangan petani muncul pula penggolongan-penggolongan berkaitan dengan sistem apanage. Golongan pertama disebut sikêp atau kuli kenceng. Kuli kenceng merupakan orang-orang pertama yang memiliki hak untuk mengerjakan serta hak atas tanah yang ditempati bangunan rumahnya. Para petani ini memiliki hak penuh sebagai penduduk desa, dan sebagai konsekunsinya mereka harus melakukan tugas-tugas yang berat. Selain itu ada pula yang disebut dengan numpang atau bujang. Para numpang inilah yang nantinya menggarap tanah desa atau tanah persekutuan (tanah lanyah) (Ong Hok Ham, 1984:7-8).

Apabila ditinjau dari perspektif petani ada beberapa penguasaan tanah (Ong Hok Ham, 1984:7). Tanah tersebut adalah tanah pusaka yakni tanah yang digarap secara turun temurun, tanah yasa yakni tanah baru yang dibuka oleh sikêp. Tanah yasa inilah yang kemudian berkembang menjadi tanah milik perorangan. Tanah ketiga adalah tanah lanyah atau tanah desa, yakni tanah yang dikelola secara komunal.

Penguasaan Tanah Masa Kolonial

Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah masuhkya bangsa barat ke Jawa. Dimulai dari bekembangnya VOC, Pemerintahan Rafless, tanam paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870 terjadilah perubahan-perubahan pola penguasaan tanah pertanian. Penguasaan tanah oleh raja mulai begeser menjadi penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan penguasaan pribadi.

Awal mula tejadinya perubahan pola penguasaan tanah adalah ketika VOC mulai bekembang di Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan mengalami pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC. Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Mancanegara saja (Wasino, 2005: 19). Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat (Pekalongan, Nrebes, Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak) dan Pesisir Timur (Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura). Akan tetapi secara umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di masyarakat.

Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda mulai berubah semenjak Deandels berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian ketika Inggris berkuasa atas Indonesia (1811-1816) di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria dengan nama Land Rent System (Sistem Sewa Tanah). Ide perubahan ini banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan tradisional dan VOC (Wasino, 2005: 5).

Sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles berpatokan pada tiga azas, yakni (1) segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan petani berhak menentukan jenis tanaman, (2) peran bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, (3) pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa, petani wajib membayar sewa tanah (Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984:90).

Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu tradisi, belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa menggunakan uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles yang singkat (Wasino, 2005:6).

Pada masa pemerintahan Inggris daerah kekuasaan kerajaan di Jawa mengalami penyempitan kembali. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Kedu yang pada tahun 1812 berhasil dikuasai oleh Inggris melalui perjanjian dengan Hamengku Buwono II yang kalah dalam pertempuran (Suroyo, 2000: 46). Daerah Kedu berkembang menjadi kawasan eksloitasi kolonial.

Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasaan tanah terjadi setelah perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan (Ong Hok Ham, 1984:3). Hal ini merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong akibat perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan Sunan Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah atas daerah mancanegara (Suhartono, 1991:75).

Kawasan mancanegara terbagi atas dua wilayah, yakni mancanegara barat dan mancanegara timur. Pringgodigdo seperti dikutip Wasino (2005) menyatakan Mancanegara barat meliputi Banyumas, Banjar, Pasir, Ayah, Kalibeber, Roma, Jabarangkah, Pamerden, Wora-wari,Tersono, Kerincing, Bobotsari, Kartanegara, Daya Luhur, Brebes, Lebaksiu, Balapulang Bentar, Banjarnegara, Purbalingga, serta daerah Jepara, Salatiga, dan Blora. Daerah mancanegara timur meliputi Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Keduwang, Magetan, Caruban, Pace, Kertosono, Srenget, Blora, Rawa, Kalangbret, japan/Lamongan, Wirasaba, Brebeg, Jagaraga.

Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya. Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan kedudukan hokum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ekspoitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan bahwa tanah adalan milik negara (Wasino, 2005:6).

Dalam pelaksanaan tanam paksa ada beberapa hal yang menarik, yakni pemulihan kembali peran-peran Bupati, Wedana dan Bêkêl tetapi di bawah kendali pemerintah kolonial. Selain itu semua penduduk memperoleh tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut semula berasal dari tanah para sikêp yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang membuka areal baru di desa setempat. Karena semua penduduk telah mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja bhakti (Nurdin, 2007).

Pengaruh tanam paksa memberikan perubahan dalam pola penguasaan tanah. Bedasarkan survei yang dilakukan pada tahun 1868-1869 yang dibukukan dalam Eindresumé (resume akhir) yang disunting oleh W.B. Bergsma, ada beberapa pola penguasaan tanah pertanian di kalangan masyarakat, yakni milik perorangan turun-temurun (erfelijk individueel bezit), milik komunal (gemeen bezit), dan tanah bengkok untuk pamong desa (ambtsvelden) (Kano, 1984: 42-63).

Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870. Setelah tahun ini sistem liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang ini memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk perkebunan. Di sini dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing.

Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet, Belanda mengeluarkan berbagai peraturan tentang penguasaan tanah di Jawa. Pada tahun 1885 dikeluarkan Staatsblad (Lembaran Negara) No. 102 tentang berakhirnya secara resmi tanam paksa. Sistem penguasaan tanah yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan kepada individu-individu. Konversi tanah bersama menjadi tanah individu hanya jika ¾ warga desa menyetujuinya.

Kemudian pada 19 Januari 1909 Gubernur Jenderal van Heutz segera memerintahkan agar segera dilaksanakan reorganisasi. Reorganisasi ini mulai berjalan dengan beberpa tahap yakni penghapusan sistem apanage pada kurun 1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi tanah-tanah perkebunan (Suhartono, 1991: 96). Dengan demikian, di daerah Surakarta penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggunduh (pinjam sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak andarbe (milik) secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan para elite desa dan perusahaan perkebunan melalui persewaan tanah tradisional maupun kontrak-kontrak modern (Suhartono, 1991: 101).

Pada tahun 1930, dikeluarkan Regeringsomlagvel No. 30318 tanggal 17 Oktober 1930. Dalam ketentuan ini, pemerintah mengakui hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan Asisten Residen. Pada masa ini ribuan konflik pertanahan terjadi tiap tahun atas pemanfaatan hasil hutan, antara masyarakat yang merasa berhak dengan pemerintah yang menganggap sebagai hutan negara.

Desa Perdikan: Pola Khusus Penguasaan Tanah

Selain pola penguasaan tanah secara konvensional seperti dijelaskan di atas, ada pula pola penguasaan tanah yang beraku secara khusus. Pola penguasaan tanah secara khusus ini seperti yang terjadi pada daerah yang disebut dengan daerah perdikan.

Desa perdikan merupakan desa anugerah dari raja yang penduduknya dibebaskan dari pembayaran pajak dan kerja wajib. Daerah ini dianggap sebagai daerah bebas atau merdeka yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala desa di wilayah ini berada langsung di bawah daulat raja (Wasino, 2005: 101). Dengan demikian pada masa kerajaan tidak ada sistem apanage, patuh, dan bêkêl di darah perdikan ini. Pada masa tradisional, kepemimpinan desa perdikan diwariskan dari pemimpin-pemimpin terdahulu.

Kartohadikoesoemo menyatakan ada beberapa alasan raja memberikan hak istimewa kepada desa perdikan, yaitu (1) untuk memajukan agama, (2) untuk memelihara makam raja atau orang lain yang dimuliakan dan dianggap keramat, (3) untuk memelihara pertapaan, pesantren, langgar, atau masjid, (4) memberikan ganjaran kepada orang atau desa yang berjasa kepada raja (Wasino, 2005:101). Dari desa perdikan inilah awal mula kemunculan petani-petani merdeka. Salah satu contoh desa perdikan adalah Desa Seladi kawasan Grobogan. Desa ini merupakan perdika yang diberikan kepada Ki Ageng Sela pada masa kesultanan Demak. Pada masa kolonial posisi istimewa desa perdikan tetap dipertahankan. Dalam Staatsblad no 77 tahun 1853 disebutkan bahwa desa perdikan dibebaskan dari segala macam pembayaran pajak dan hak-hak desa perdikan diakui secara sah. Atas dasar inilah, desa perdikan tidak dikenakan sistem tanam paksa.

Penguasaan Tanah Masa Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan, pola penguasaan pertanian kembali mengalami perubahan. Landasan hukum awal tentang tanah seperti tertuang dalam Undan-Undang Dasar 1945 pasa 33 ayat 3 yang yang menjelaskan bahwa seluruh sumberdaya alam, termasuk tanah, dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pelaksanaan land reform di Jawa telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Pada tahun 1945 mulai dihapuskan hak-hak istimewa dari desa perdikan di Banyumas. Kemudian dikeluarkan UU No 13 tahun 1946 tentang penghapusan hak-hak istimewa. Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 13 tahun 1948 yang menyatakan bahwa tanah yang sebelumnya dikuasai oleh kira-kira 40 perusahaan Belanda di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta disediakan untuk petani-petani di Indonesia (Soemardjan, 1984:104). Kemudian ada pula UU No. 6 tahun 1952 yang menghapus sewa jangka panjang yang ditetapkan pada tahun 1870 selama 75 tahun. Pada tahun 1958 dikeluarka UU No 1 tahun 1958 yang menghapus semua tanah partikelir (tanah yang dijual kepada perorangan oleh pemerintah kolonial) dan semua hak istimewa yang sebelumnya dipegang oleh tuan tanah dan diambil pemerintah.

Pelaksanaan perubahan penguasaan atas tanah mengalami fase klimaks dengan dikeluarkannya Undang-Udang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA mencakup prinsip-prinsip dasar (1) tanah pertanian adalah untuk petani penggarap, (2) hukum utama atas tanah, misalnya hak milik probadi adalah khusus untuk warga negara Indonesia, tetapi warga asing dapat memperoleh hak tambahan untuk menyewa atau memakai tanah dalam jangka waktu dan luas tertentu yang diatur oleh undang-undang, (3) pemakaian guntai (absentee) tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalam hal pengecualian lain,(4) petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang kedudukannya lebih kuat (Soemardjan, 1984:106).

Dengan adanya UUPA, dimulailah landreform secara formal di Indonesia. Landreform di Indonesia bertujuan untuk memperkuat hak atas tanah, yaitu menjadi hak milik, serta meningkatkan taraf hidup petani pada umumnya (Padmo, 2000: 79). Berkaitan hal tersebut, keluar Undang-Undang No. 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Pedoman pelaksanaannya adalah Inpres No. 3 tahun 1980. UU ini merupakan pelengkap dari UUPA, namun hampir tak pernah ada wilayah yang menerapkannya. Selain itu ada pula Undang-Undang No. 56 tahun 1960. Tentang penetapan luas tanah pertanian, atau dikenal dengan “UU landreform”. Bersama dengan UU tentang bagi hasil, ini merupakan produk hukum untuk melengkapi UUPA. Didalamnya ditetapkan batas minimal dan maksimal luas tanah yang boleh dikuasai perorangan, khusus untuk usaha pertanian. UU ini merupakan pedoman dalam pelaksanaan landreform di zaman ORLA sampai tahun 1965, meskipun kurang sukses. Banyak kritik terhadap peraturan ini, misalnya bahwa batas minimal yang 2 ha per keluarga, dianggap tidak realistis untuk di Jawa. Sampai sekarang banyak keluar Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan atas tanah, sebagai pelengkap dari UUPA.

Namun demikian, sekalipun instrumen pelaksanaan keagrariaan telah diatur dalam UUPA, kenyataannya UU tersebut tidak menjadi rujukan dan faktor penentu dalam mengatasi berbagai problem agraria dan pertanahan. Ini disebabkan politik hukum yang seringkali bertentangan dengan makna dan semangat yang terkandung dalam UUPA.

Berbagai kasus tentang pola penguasaan lahan masih terjadi sampai sekarang. Sengketa-sengketa antara masyarakat dan penguasa lahan menjadi permasalahan yang tidak kunjung usai. Hal ini seperti yang terjadi pada tahun 1999-2000 di daerah Pagilaran, Batang, ada proses reclaiming yang dilakukan warga terhadap tanah-tanah perkebunan yang dikelola oleh PT Pagilaran. Selain itu pada 15 Juni ribuan massa petani dari berbagai daerah di Jawa Tengah melakukan demonstrasi mendatangi Kanwil BPN Jawa Tengah. Mereka mendesak Kakanwil BPN menggunakan kewenangannya menyelesaikan kasus sengketa tanah di Jawa Tengah

PENUTUP

Pola penguasaan tanah di Jawa dari masa ke masa mengalami perubahan dan dinamika. Pada mulanya, tanah dikuasai oleh raja yang memberikan hak kelola kepada para pejabat dan kerabatnya. Setelah sistem kolonial masuk, mulai ada perubahan dalam sistem penguasaan tanah, tanah tidak lagi menjadi mutlak milik raja tetapi mulai ada regulasi penguasaan tanah menjadi milik individual. Kemudian setelah kemerdekaan perubahan penguasaan tanah semakin berkembang, seiring semangat pemerataan dan keadilan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, dari masa ke masa selalu terjadi ketimpangan, penguasa selalu mengambil keuntungan atas rakyat kecil dan rakyat kecil tidak memiliki nilai tawar dan selalu pada posisi yang kalah. Hal ini hampir selalu terjadi dalam perjalanan sejarah petani di Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Kano, Hiroyoshi. 1984. “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa Di Jawa Pada Abad XIX”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT Gramedia. Hlm 28-85.

----------. 1986. “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Interpretasi Kembali’. Dalam Akira Nagazumi (ed.). 1986. Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang. Perubahan Sosial Ekonomi abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nurdin, Iwan. 2007. Pola Penguasaan Tanah Era Tanam Paksa. Dalam http://ppijkt.wordpress.com/ (diunduh 2 April 2009)

Ong Hok Ham. 1984. “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah”. Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT Gramedia. Hlm. 3-27.

----------. 1991. Rakyat dan Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan LP3ES.

Padmo, Soegijanto. 2000. Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965. Yogyakarta: Media Pressindo dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notsusanto (et.al). 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakara: Balai Pustaka.

Sastroatmodjo, Sudijono. 2007. “’Sedumuk Bathuk Senyari Bumi’, Regulasi Tanah dan Demo Rakyat (Petani) dalam Menyoal Hak Atas Tanah”. Kompas Mahasiswa. Edisi 79 tahun 2007. Hlm. 28-35.

Soenardjan, Selo. 1984. Land Reform di Indonesia. Dalam Dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Peny.). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakata: Yayasan Obor Indonesia dan Penerbit PT Gramedia.Hlm. 103-111

Suroyo, A.M. Djulianti. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib Di Karesidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Wasino. 2005. Tanah, Desa, dan Penguasa: Sejarah Pemilikan dan Penguasaan Tanah di Pedesaan Jawa. Semarang: Unnes Press