Jumat, 10 Juli 2009

Kategorisasi Sejarah Kontroversial

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret



Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu (Kuntowijoyo, 1995: 17). Sejarah yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup pengertian sejarah sebagai kisah, yakni catatan dari kejadian yang dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Sementara itu yang dimaksud dengan kontroversial adalah “perbedaan pendapat; pertentangan karena berbeda pendapat atau penilaian” (Badudu dan Zein, 2001:715). Dengan demikian sejarah yang bersifat kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Dikatakan kontroversial karena antara pendapat satu dengan pedapat lainnya masing-masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat.

Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini karena sejarah senantiasa berproses dan bukan sebagai suatu hal yang sudah selesai, sehingga ada kecenderungan munculnya fakta-fakta dan interpretasi-interpretasi baru terhadap suatu peristiwa sejarah (Kochhar, 2008). Dengan demikian, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tetang suatu peristiwa sejarah, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Sejarah kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa di kalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.

Ada beberapa sejarah yang dapat dikategoriakan sebagai sejarah kontroversial yang bisa disampaikan dalam kelas sejarah. Jika ditinjau dari pengaruhnya terhadap masyarakat pada masa sekarang, ada dua jenis sejarah kontroversial. Kategori pertama sejarah kontroversial adalah kontroversi terhadap sejarah yang terjadinya pada kurun waktu yang lama dari sekarang atau disebut juga sejarah nonkontemporer. Kategori kedua adalah sejarah kontroversial yang terjadinya pada masa kontemporer (Tsabit Azinar Ahmad, 2008).
Sejarah kontroversial kategori pertama menjadi bersifat kontroversial karena adanya perbedaan pendapat, teori, atau pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam melakukan penulisan sejarah. Secara umum, adanya perbedaan pandangan itu menurut tipologi Asvi Warman Adam (2007 b) hanya disebabkan adanya ketidaktepatan dan ketidaklengkapan fakta dan interpretasi yang dilakukan, dan biasanya ketidaktepatan itu muncul setelah ada beberpa sejarawan yang mengungkapkan ketidaktepatan itu menurut versi sejarawan itu. Artinya sifat kontroversial ini sangat tergantung dari sejarawan. Hal ini karena pada kategori ini tidak terdapat sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah, sehingga sejarawan memainkan peranan penuh dalam menuliskan suatu peristiwa sejarah.

Beberapa sejarah kontroversial untuk kategori pertama antara lain perbedaan pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu Budha di Nusantara, perdebatan antara Poerbatjaraka dan F.D.K. Bosch tentang dinasti yang terdapat di kerajaan Mataram lama, pendapat tentang masuknya Islam di Nusantara, sampai pada mitos tentang penjajahan nusantara selama 350 tahun. Kategori pertama ini tidak terlalu menyebabkan adanya perdebatan dalam masyarakat.

Sejarah kontroversial kategori kedua adalah sejarah yang biasanya dimasukkan ke dalam kategori sejarah kontemporer. Sejarah kontemporer merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah (Notosusanto, 1978). Batasan kontemporer ini belum jelas, akan tetapi bila ditinjau dari saat ini peristiwa sejarah kontemporer adalah mulai tahun 1940-an.

Sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial karena kadar subjektivitas yang terkandung dalam sejarah kontemporer lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini karena pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini (Tsabit Azinar Ahmad, 2007:3). Selain itu hal yang menyebabkan kontroversial adalah bahwa peristiwa sejarah kotemporer masih belum selesai sepenuhnya, tetapi senantiasa berproses. Lebih lanjut lagi dinyatakan bahwa masih banyak terjadi perbedaan pandangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah, dan ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Merujuk tipologi Asvi Warman Adam (2007 b), sejarah kontroversial yang termasuk ke dalam sejarah kontemporer disebabkan oleh tiga faktor sekaligus, yakni adanya ketidaktepatan, ketidaklengkapan, dan ketidakjelasan dari fakta dan interpretasi yang dilakukan dalam penyusunan suatu tulisan sejarah.

Ditinjau dari aspek pengaruhnya terhadap masyarakat, sejarah kontroversial kategori kedua memberikan dampak yang lebih dirasakan oleh masyarakat. Hal ini karena peristiwa yang terjadi pada kurun sejarah kontemporer secara teoretis menjadi kajian yang lebih membuka peluang bagi masyarakat luas untuk mengulas dan memperoleh sumber-sumber berkaitan dengan masa tersebut secara lebih mudah. Ketersediaan sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah juga masih ada. Selain itu memori kolektif masyarakat tentang satu peristwa tersebut juga masih sangat kuat.

Permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat tentang satu pemahaman sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah benar adanya (Tsabit Azinar Ahmad, 2007). Adanya hal ini telah menyebabkan adanya satu hal yang memacu terjadinya pertentangan terhadap satu peristiwa sejarah ketika pada satu saat ditemukan fakta baru yang bertolak belakang dari pemahaman masyarakat selama ini diyakini.

Selain permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan metodologis, satu hal yang menyebabkan sejarah kontemporer itu cenderung bersifat kontroversial adalah adanya unsur kepentingan lain yang bermain di dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah atau dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu (Tsabit Azinar Ahmad, 2007). Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu.

Beberapa peristiwa sejarah kontemporer yang termasuk dalam sejarah kontroversial yang dapat dijadikan materi pembelajaran di kelas sejarah antara lain kontroversi tentang penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, peristiwa Madiun 1948, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, peristiwa 17 Oktober 1952, Gerakan 30 September, perdebatan seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), peristiwa Malari 1974, permasalahan Timor-Timur, sampai dengan peristiwa seputar reformasi dan jatuhnya Soeharto pada 1998. Akan tetapi yang paling banyak diperdebatkan di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 (Asvi Warman Adam, 2007:14).

Kategorisasi sejarah kontroversial seperti yang dijelaskan di atas, tidaklah bersifat tertutup. Artinya ada kecenderungan munculnya peristiwa-peristiwa sejarah nonkontemporer yang memiliki sifat seperti sejarah kontemporer, seperti adanya peristiwa yang terjadi jauh dari masa sekarang yang memberi pengaruh terhadap masyarakat pada masa kini. Sejarah kontroversial nonkontemporer juga masih dapat memunculkan perdebatan dalam masyarakat ketika ada versi sejarah yang bertentangan dengan pemahaman sejarah masyarakat selama ini. Hal ini disebabkan proses sejarah telah menjadi konsensus di kalangan masyarakat. Contoh kasus seperti ini adalah tentang peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh raja Mataram yang membunuh tokoh agama pada abad XVII.

Selain kategorisasi yang dilakukan oleh Tsabit Azinar Ahmad (2008), ada pula kategorisasi sejarah kontroversial seperti yang diungkapkan oleh S. K. Kochhar (2008) dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Sejarah. S.K. Kochhar (2008:453) menjelaskan bahwa ada dua jenis isu kontroversial dalam sejarah, yakni (1) kontroversial mengenai fakta-fakta dan (2) kontroversial mengenai signifikansi, relevansi, dan interpretasi sekumpulan fakta. Isu kontroversial jenis pertama, yakni kontroversi mengenai fakta-fakta terjadi karena kurangnya data atau tidak masuk akalnya suatu penemuan. Di dalam isu kontroversial jenis ini pertanyaan berkaitan dengan “apa”, “siapa”, “kapan”, dan “di mana”. Di dalam sejarah Indonesia, permasalahan kontroversial yang termasuk dalam kategori ini adalah tentang siapa yang pertama kali membawa pengaruh India ke Nusantara, kapan Islam pertama masuk di Nusantara, dan sebagainya.

Jenis isu kontroversial kedua menurut S. K. Kochhar (2009) adalah kontroversi yang disebabkan oleh interpretasi. Hal ini karena pendekatan yang dilakukan oleh sejarawan tidak ilmiah, bias, dan dipengaruhi prasangka. Kontroversi yang disebabkan oleh interpretasi berada pada pertanyaan tentang “mengapa” dan “bagaimana” peristiwa tersebut terjadi. Terkadang peristiwa atau fenomena dipelajari secara tertutup, sehingga interpretasi sejarawan terhadap suatu peristiwa bisa salah dan mengakibatkan kontroversi (Kochhar, 2008: 453-454). Permasalahan kontroversi karena perbedaan interpretasi sejarawan terjadi seperti ketika sejarawan-sejarawan mengeluarkan versi yang berbeda tentang peristiwa Gerakan 30 September. Ada sebagan sejarawan yang menyatakan bahwa permasalahan tersebut terjadi karena konflik internal di tubuh Angkatan Darat, ada pula yang menyatakan bahwa Suharto yang menjadi dalang. Sementara itu muncul pula teori tentang keterlibatan Sukarno atau CIA sebagai faktor yang utama. Kemudian yang tidak kalah penting adalah tentang berkembangnya “versi resmi” bahwa yang menjadi penggerak adalah Parai Komunis Indonesia.

Daftar Pustaka

Asvi Warman Adam. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Badudu, J.S. dan Sutan Muhammad Zein. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Penerjemah Purwanta dan Yofita Hardiwati. Jakarta: Grasindo.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya.

Tsabit Azinar Ahmad. 2007. ‘Yang Kontemporer Yang Kontroversial’. Dalam Majalah Sapiens Edisi Khusus bulan September-Oktober tahun 2007. hlm. 2-8.

--------. 2008. “Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas (Studi Kasus di SMA N 1 Banjarnegara)”. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.







Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret


Critical pedagogy merupakan satu pendekatan dalam pendidikan yang menempatkan siswa untuk mampu menjawab pertanyaan dan menghadapi dominasi. Critical pedagogy dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena orientasi politiknya berlawanan dengan ideologi konservatif dan liberal (Agus Nuryatno, 2008:1). Jika dalam pandangan konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada (Mansour Fakih, 2001:xvi).

Critical Pedagogy merupakan pandangan yang bersifat transdisiplin dan banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikiran seperti Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, feminisme, poskolonialisme, postrukturalisme, media studies, cultural studies, anti-racis studies, dan posmodernisme, selain itu dipengaruhi oleh pemikiran dari Antonio Gramsci tentang pengetahuan dan hegemoni, serta Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:9; Agus Nuryatno, 2008:4). Sebagai pendekatan dalam pendidikan, critical pedagogy telah mulai muncul pada tahun 1960-an dan berkembang secara luas di Amerika Serikat sekitar 30 tahun yang lalu sebagai model pembelajaran yang menyediakan inovasi pembelajaran untuk pemberdayaan. Model ini mulai dikenalkan oleh Paulo Freire dan beberapa teoretisi pendidikan lain yang berpengaruh terhadap pembelajaran dan aktivitas di akar rumput, dan banyak mengawali transformasi pendidikan yang bertujuan untuk menghubungkan antara teori dan praktik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (Ochoa & Lassalle, 2008:2).

Di dalam pendidikan sejarah, critical pedagogy memiliki fungsi untuk mengubah ketidaksetaraan hubungan yang muncul akibat kekuasaan di dalam kelas maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, critical pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk mendekonstruksi struktur hirarkis yang melemahkan demokratisasi dalam kelas, dan melakukan redefinisi atas pengetahuan, dan memahami bagaimana pengetahuan itu dibuat dan mengubah ketidakadilan (Ochoa & Lassale, 2008:1).

Dalam bidang pendidikan sejarah, secara lebih operasional Kuntowijoyo (1995) menyatakan bahwa critical pedagogy pada dasarnya menyangkut tiga hal, yakni aspek (1) mengapa sesuatu terjadi, (2) apa yang sebenarnya terjadi, serta (3) ke mana arah kejadian-kejadian itu. Dari pemikiran tersebut, Tsabit Azinar Ahmad dkk., (2008: 12) menyatakan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah meliputi aspek (1) kausalitas, (2) kronologis, (3) komprehensif, serta (4) kesinambungan. Aspek kausalitas menggambarkan kondisi masyarakat dalam berbagai aspek yang turut melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis adalah urutan terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial, berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tesebut dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya.

Relevansi critical pedagogy dalam pendidikan sejarah, khususnya pembelajaran sejarah disebabkan pula oleh adanya kesamaan-kesamaan pandangan di antara keduanya. Persamaan pertama, keduanya memandang bahwa ada keterkaitan antara pendidikan dengan politik, bahwa ada dalam pendidikan terdapat kepentingan-kepentingan politik, begitu pula sebaliknya bahwa dalam aktivitas politik terdapat muatan-muatan edukatif. Persamaan kedua adalah keduanya tidak dapat melepaskan diri dari konteks yang melingkupinya. Pendidikan sejarah maupun critical pedagogy memandang bahwa kondisi sekitar, baik kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Pendidikan senantiasa mengaitkan antara realitas dengan konsep-konsep. Persamaan ketiga ditinjau dari tujuan yang dicapai, yakni keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni terbangunnya kesadaran kritis dari peserta didik atau masyarakat dalam melihat realitas yang menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak. Persamaan lain antara critical pedagogy dengan pendidikan sejarah adalah keduanya memiliki landasan yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan. Keadilan dan kesetaraan menjadi kata kunci yang penting dalam proses pemberdayaan masyarakat dan refleksi diri guna mencapai transformasi sosial.

Di dalam praksis pelaksanaan pembelajarannya, critical pedagogy menekankan pembelajaran sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya (problematizing) dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas fakta-fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis (Agus Nuryatno, 2008:6). Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai upaya memahami relasi antar kategori dalam membentuk realitas (Agus Nuryatno, 2008:6).

Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self reflection dan self actualization (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:10). Tahap refleksi mempertanyakan pertanyaan “mengapa sesuatu itu bisa terjadi” sementara tahap aktualisasi atau tahap kontekstualisasi menekankan pada pertanyaan “bagaimana keterkaitan dengan kehidupan di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”.

Oleh karena penekanannya pada aspek pengembangan peserta didik, pembelajaran berada pada pertanyaan how to think bukan what to think. Penekanan pada aspek what to think atau materi penting, tetapi proses atau metodologi untuk mendekati materi lebih penting. Dengan demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi pendapat, menjadi lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam proses tersebut akan terjadi kritisisme, sharing ideas, saling menghargai dan assesment terhadap pengetahuan (Agus Nuryatno, 2008:8).

Dalam critical pedagogy, guru tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilih otoritas kebenaran dan pengetahuan dan penguasa tunggal atas kelas. Guru dan murid sama-sama learner, subjek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam critical pedagogy tidak semata-mata hak prerogatif guru, kepala sekolah atau pala ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih dipilih dalam mengkonstruksi isi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar pendidikan lebih bermakna dan agar peserta didik paham dengan realitas hidup yang sebenarnya (Agus Nuryatno, 2008:7).

Posisi guru dalam critical pedagogy harus mampu mengarahkan peserta didik untuk memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal dengan istilah “praxis” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:7). Program yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical languages untuk menjelaskan dunia yang melingkupi kehidupan keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanannya, ada pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”, “bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam kehidupan masyarakat?” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:8).

Dalam perspektif critical pedagogy sejarah tidak bersifat unidimensional (Carr, 2008:86). Guru dan peserta didik harus memahami bahwa sejarah adalah multidimensional, sehingga dibutuhkan padangan yang multiperspektif bahwa sejarah adalah dilingkupi, didefinisikan, ditampilkan, dan dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Artinya terdapat aspek kesinambungan dalam sejarah dan adanya sifat sejarah yang multiinterpretasi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembelajarannya, guru harus perhatian terhadap konstruksi dan interpretasi yang beragam dari sejarah (Carr, 2008:86).

Daftar Pustaka

Agus Nuryatno, M. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis. Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

Carr, Paul R. 2008. “ “But Wahat Can I Do” Fifteen Things Education Students Can Do to Transform Themselves In/Throught/With Education. International Journal of Critical Pedagogy. Vol 1 (2) Summer 2008. Hlm 81-97.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya.

Lestyana, Pepi, Lavandez, Magaly & Nelson, Thomas. 2004. “Critical Pedagogy: Revitalizing and Democratizing Teacher Education”. Teacher Education Quarterly. Winter 2004. Hlm. 3-15.

Mansour Fakih. 2001. ‘Ideologi dalam Pendidikan, Sebuah Pengantar’. Kata pengantar dalam William F. O’neil. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Penerjemah Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ochoa, Enrique C. & Lassalle, Yvonne M. “Editor Introduction”. Radical History Review. Vol. 2008, No 102, Fall 2008. Hlm. 1-7. Dalam http://dukeupress.edu/journals/ (diunduh 14 Mei 2009)

Tsabit Azinar Ahmad, dkk. 2008. ‘Pendekatan Kritis dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas untuk Mewujudkan Kesadaran Sejarah Peserta Didik’. Karya Tulis Ilmiah. Disusun dalam KKTM Bidang Pendidikan Tingkat Nasional pada 17 Juli 2008.



Apa Itu New History?

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

New history
atau sejarah baru merupakan pendekatan dalam kajian dan penulisan sejarah. Sejarah tidak lagi dianggap sebagai sejarah politik semata-mata. Tetapi mulai berkembang adanya kajian-kajian dan tema-tema baru dalam penulisan sejarah, seperti sejarah tanaman, sejarah iklim, sejarah wanita, dan sejarah lainnya yang bertema baru. New history mulai berkembang dengan pesat pada tahun 1980-an di Amerika Serikat. Pendekatan ini menekankan sifat penulisan sejarah yang lebih multidimensional, yakni memandang sesuatu tidak hanya dari satu aspek saja tetapi dari berbagai segi.

Akar perkembangan new history yang pesat pada tahun 1980-an sebenarnya sudah mulai muncul pada akhir abad XIX. Pada dekade 1890-an sejarawan Amerika bernama Frederick Jackson Turner melancarkan kecaman terhadap sejarah tradisional. Kemudian pada tahun tahun 1912 muncul sejarawan James Harvey Robinson yang menganjurkan pemakaian ilmu sosial dalam penulisan sejarah. Dalam new history terdapat reapprochment antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Sebelumnya historiografi Amerika didominasi oleh aliran Rankean yang menekankan pada sejarah faktual. Kemudian dengan mulai berkembangnya pemakaian ilmu sosial dalam sejarah, berkembang juga tema-tema baru dengan tema-tema yang lebih beragam seperti sejarah pertanian, sejarah wanita, dan sebagainya. Robinson menggagas konsep sejarah baru, yakni sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan meramu ide-ide dari disiplin antropologi, ekonomi, psikologi, dan sosiologi.

Istilah new history tidak hanya berkembang dalam historiografi Amerika, tetapi juga dikenal dalam historiografi Perancis. Pada tahun 1920-an di Perancis ada istilah “sejarah jenis baru” yang dikembangkan oleh Marc Bloch dan Lucien Febvre dari Universitas Strasbourg dengan menerbitkan jurnal berjudul Annales d’histoire eqonomique et sociale yang mengkritik tajam sejarawan tradisional. Mereka ingin mengganti sejarah politik menjadi sejarah yang lebih luas dan manusiawi. Oleh karena itu sejarah bukan lagi semata-mata narasi mengenai kejadian-kejadian, tetapi analisis mengenai struktur. Kelompok ini kemudian dikenal dengan mazhab Annales. Mazhab Annales menekankan pada pendekatan holistik, interdisiplin, struktural, serta berbagai perkembangan penulisan dengan pendekatan yang baru. Dengan demikian muncul tema-tema baru dalam penulisan sejarah, seperti sejarah wanita, sejarah mentalitas, dan sebagainya.

HILANGNYA WANITA DALAM REVOLUSI KITA

KRITIK BUKU “SEJARAH NASIONAL INDONESIA” KARYA ANTHONY J.S. REID

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret


Buku Revolusi Nasional Indonesia karangan Anthony J.S. Reid membicarakan satu kurun waktu yang disebut dengan masa revolusi (1945-1950). Masa revolusi merupakan salah satu bagian dari rentangan sejarah bangsa Indonesia memiliki peran sentral dalam pembentukan negara Indonesia. Pada masa revolusi, dinamika perkembangan Indonesia sangat terlihat. Hal ini disebabkan pada masa revolusi perkembangan sejarah mengalami perubahan yang sangat cepat. Tercatat beberapa peristiwa penting yang menentukan jalannya Indonesia ke depan terjadi pada masa revolusi ini. Berbagai penyerangan dan peperangan mempertahankan kemerdekaan, perjuangan diplomasi, sampai pada permasalahan dinamika politik dan masyarakat terjadi pada masa ini.

Dalam revolusi nasional tahun 1945-1949, sejarah memperlihatkan masa perundingan dan kebuntuan yang lama diantara pihak-pihak Indonesia-Belanda, yang diselingi oleh masa pertempuran yang lebih pendek. Tempat perundingan itu berpndah-pindah dari Indonesia ke Belanda dan kemudian ke markas PBB di New York, sementara garis front Republik di bawah tekanan Belanda terpaksa berpindah dari kota-kota besar ke daerah pedalaman. Dalam bagian pertama tahun 1949, pada akhirnya garis front itu tidak ada lagi ketika Belanda merebut ibukota Republik di Yogyakarta.

Reid mengawali bahasannya dengan memberikan gambaran tentang awal mula masa pergerakan yang mengantarkan Indonesia pada perubahan pendekatan perjuangan, dari perjuangan yang semata-mata mengandalkan pertempuran fisik menjadi perjuangan wacana dan pemikiran melalui organisasi-organisasi yang terstruktur dan modern. Modernisasi pemikiran yang muncul dan berkembang dengan sangat cepat pada awal abad XX telah menyulut semangat nasionalisme masyarakat untuk melakuan gerakan melawan tirani pemerintahan Hindia Belanda.

Bagian kedua menjelaskan tentang proklamasi Indonesia yang menuliskan tentang proses menjelang proklamasi sampai bulan-bulan awal setelah proklamasi. Sementara itu, bagian ketiga mengulas tentang kedatangan awal sekutu di Indonesia. Pada bagian ini Reid menjelaskan dengan cukup jelas, tentang posisi Belanda setelah menjadi pemenang perang dunia II, yang memiliki hasrat untuk kembali menguasai Indonesia. Pada bagian keempat menjelaskan tentang revolusi sosial. Bagian ini menjelaskan tentang terjadinya pergolakan di daerah-daerah, terutama di kalangan masyarakat di desa-desa. Bagian kelima menjelaskan tentang politik nasional dalam republik pada tahun 1946-1947. Bagian ini menjelaskan adanya peran organisasi-organisasi pemuda, partai-partai politik, seperti Partai Buruh, Masyumi, PNI, serta berbagai konstelasi politik yang menjelaskan tentang peranan beberapa tokoh, seperti Tan Malaka. Pembahasan tentang peran Tan Malaka merupakan sebuah kajian yang cukup menarik, karena dalam buku-buku lain, penjelasan tentang peran Tan Malaka, sangat minim, bahkan dikatakan tidak pernah diangkat, padahal Tan Malaka merupakan tokoh yang telah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Bagian keenam tentang “Mengepung Republik” berisikan penjelasan tentang agresi dan daya upaya yang dilakukan oleh Belanda dalam upaya menguasai kembali Indonesia. Bagian keenam menjelaskan tentang reformasi pemerintah dan revolusi komunis. Dan pada akhirnya buku ini ditutup dengan penjelasan tentang kemenangan strategi diplomasi yang dilakukan oleh pihak Indonesia.

Selain mengulas tentang berbagai peristiwa seputar revolusi, buku ini menyajikan pula ulasan-ulasan tentang buku-buku yang menuliskan tentang kajian yang sama. Penulis mungkin ingin pembaca buku ini melakukan perbandingan antara tulisan yang dihasilkan dengan karya-karya dengan tema sejenis. Selain itu, buku ini dilengkapi pula oleh ilustrasi yang berisi foto-foto tentang peristiwa seputar revolusi.

Sejarah Nasional Indonesia sebagai Sejarah Naratif
Buku yang ditulis Reid pada teks aslinya diterbitkan pada tahun 1974 dengan judul The Indonesian National Revolution, sehingga ketika diterbitkan dalam edisi Indonesia pada tahun 1996, buku ini belum memuat penelitian-penelitian mutakhir tentang sejarah revolusi Indonesia. Namun demikian, sebagai sebuah referensi, buku ini patut dijadikan acuan bagi berbagai kalangan untuk memahami masa revolusi Indonesia.

Reid menggunakan pendekatan sejarah naratif sebagai model penjelasan sejarah dalam bukunya. Sejarah naratif adalah menulis sejarah secara deskriptif, tetapi bukan sekadar penjelasan fakta (Kuntowijoyo, 2008:147). Seperti tulisan sejarah naratif yang terdiri atas tiga syarat, yakni colligation, plot, dan struktur sejarah, Reid juga memberikan penjelasan dalam buku ini menggunakan tiga syarat tersebut. Pada tahap colligation yang bertujuan untuk mencari hubungan dalam antar peristiwa sejarah, Reid dengan cukup jelas memberikan keterkaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya dalam buku ini, seperti keterkaitan antara berkembangnya pendidikan dengan munculnya elit baru sebagai motor penggerak pergerakan, serta menjelaskan secara logis bagaimana posisi Belanda yang segera ingin kembali ke Indonesia setelah kemenangan sekutu pada perang dunia II.

Syarat yang kedua dalam sejarah naratif adalah pembangunan plot. Plot adalah cara mengorganisasikan fakta-fakta menjadi satu keutuhan (Kuntowijoo, 2008:148). Dalam bukunya, Reid mencoba untuk memberikan satu rangkaian fakta yang dihimpun dalam tema-tema. Dalam buku ini tema-tema besar yang merupakan gabungan dari fakta-fakta yang telah disusun secara runtun dan bersinambung ini di-ejawantah-kan dalam bab-bab tresendiri, seperti tentang “Pendahuluan Revolusi”, “Proklamasi Republik”, sampai bab terakhir tentang “Kemenangan Demokrasi”. Tiap-tiap bab dalam buku ini menceritakan tentang fakta-fakta yang diikat dalam kesatuan tema tetentu. Pada tahap ini Reid melakukan proses interpretasi dan eksplanasi. Namun demikian, kelemahan dalam tahapan ini pada buku Reid adalah adanya percampuran antara fakta dan opini. Terkadang Reid melakukan interpretasi secara berlebihan yang justru menjadi kelemahan. Contoh ketercampuradukan antara fakta dan opini terlihat dalam teks berikut

Pemerintahan di semua karesidenan utama berada di tangan Republik di pertengahan bulan Oktober. Namun Mr. hasan, seorang pejabat pmerintahan yang sebelumnya tidak dikenal di Sumatera bagian selatan dan tengah, tidak pernah mampu menegakkan kekuasaanya atas semua daerah dan kebudayaan yang berbeda-beda di pulau itu. Adalah suatu pemberian Tuhan bagi persatuan Indonesia di kemudian hari bahwa Tentara ke 25 tidak menggunakan kesempatan lebih baik untuk membangun suatu pimpinan di Sumatra tersendiri. (Reid, 1996: 60)

Pada paragraf di atas, terjadi percampuran antara fakta dan opini. Konteks tulisan tersebut adalah kodisi awal di Indonesia setelah proklamasi, terutama di daerah Sumatera. Di sini, Reid memberikan penjelasan yang amat dangkal bahwa tidak didirikannya pemerintah oleh Jepang di Sumatera yang pada saat itu berada pada kondisi rentan hanya karena pemberian Tuhan. Oleh karena itu, dalam diperlukan kehati-hatian dan kecermatan dalam membaca dan upaya pembandingan dengan karya-karya yang lain.

Pada tahap ketiga dalam sejarah naratif adalah struktur sejarah. Struktur sejarah bertujuan untuk melakukan rekonstruksi secara akurat. Dalam buku ini Reid juga melakukan tahapan struktur sejarah dengan memberikan kesatuan cerita secara kronologis untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan berkaian dengan masa revolusi.

Penulisan buku ini menekankan pada aspek sejarah yang bersifat nasional. Kelemahannya penulisan sejarah yang bersifat nasional antara lain adalah penulisan sejarah ini tidak mampu untuk merekam peristiwa-peristiwa yang bersifat khusus dan dalam lingkup kecil. Namun demikian, dalam buku ini disajikan pula tema yang tidak hanya menceritakan sejarah yang bersifat nasional, tetapi permasalahan sejarah sosial. Bagian ini tertuang dalam bab tersendiri, yakni dalam bab tentang “Revolusi Sosial”. Tema ini jarang ditemukan dalam buku-buku serupa, termasuk dalam buku Goeroge Mc Turnan Kahin tentang Nasionaisme dan Revolusi Indonesia.

Hilangnya Peran Wanita: Sebuah Kritik
Dalam buku ini, kelemahan yang disoroti dalam tulisan ini adalah ketimpangan gender, yakni seolah-olah dalam buku ini wanita tidak memiliki peran dalam sejarah revolusi Indonesia. Permasalahan hilangnya wanita dalam revolusi Indonesia menjadi titik tekan dalam tulisan ini. Padahal sudah ada tulisan yang memberikan kajian tentang peran wanita dalam sejarah revolusi Indonesia. Anton Lucas dan Robert Cribb menulis sebuah tulisan berjudul “Peran Wanita dalam Revolusi Indonesia: Sebuah Renungan Sejarah”. Tulisan ini sebagai makalah dalam konferensi internasional tentang revolusi nasional pada tahun 1995 dan telah dibukukan pada tahun 1997 dengan judul Denyut nadi Revolusi Indonesia. Peran wanita dalam revolusi juga terdapat dalam buku yang disunting oleh Colin Wild dan Peter Carey berjudul Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Di dalam buku yang diangkat dari serangkaian wawancara di radio BBC Inggris dalam rangka 40 tahun proklamasi terdapat wawancara dengan Surasti Karma Trimurti atau S.K. Trimurti.

Tidak adanya segi pandangan wanita terhadap revolusi Indonesia mendapat perhatian kritis dari Chrstine Dobbin pada tahun 1979. Secara relatif, sedikit sekali wanita yang menginggalkan kisah pengalaman mereka di masa revolusi Indonesia. Umumnya, mereka kurang terlibat dalam kejadian sejarah yang mendapatkan perhatian besar dalam penulisan sejarah Indonesia, dan mereka jarang berada di dalam posisi kekuasaan dan pengaruh yang besar, sehingga jarang orang tertarik mencatat pengalaman hidup para wanita, termasuk dalam buku Reid ini.

Anton Lucas dan Robert Cribb (1997) merangkum berbagai bentuk kesaksian yang dituliskan oleh para mantan pejuang wanita. Dalam kurun waktu lima tahun perjuangan revolusi antara tahun 1945 dan 1949, peranan wanita menjadi bertambah luas. Hal ini karena peraturan etika dan perilaku sosial antar jenis telah menjadi semakin terbuka dan menjadi kurang formal. Kekacauan politik dan sosial yang terjadi pada masa revolusi memberikan kesempatan wanita untuk bertindak dalam berbagai aktivitas. Peranan mereka dalam masyarakat telah bertambah luas, dan mereka sering kali harus memikul tanggung jawab baru yang dilemparkan di pundak mereka.

Peran wanita dalam revolusi terlihat dari aktivitasnya dalam organisasi pemuda. Reid dalam bukunya menjelaskan bahwa ada peran golongan pemuda dalam revolusi. Namun lagi-lagi Reid tidak menyebutkan adanya peran wanita. Reid hanya menjelaskan tentang organisasi pemuda yang berafiliasi dengan angkatan darat, organisasi Pemuda Sosialis Indonesia, serta beberapa organisasi lainnya. Padahal ada beberapa organisasi yang hanya mengkhususkan hanya beranggotakan wanita. Organisasi itu pada umumnya berbasis di kota dan menghimpun para wanita yang berpendidikan yang tinggal di kota besar, terutama di Surakarta dan Yogyakarta. Di kota-kota besar seperti Surabaya gadis-gadis yang masih duduk di sekolah lanjutan atas bekerja sebagai anggota palang merah Indonesia yang baru dibentuk. Selain itu ada pula wanita yang ikut serta dalam perjuangan.

Buku Reid yang membahas tentang partai-partai politik juga tidak menyebutkan peran wanita dalam partai-partai politik tersebut. Padahal menurut kesaksian dari S.K. Trimurti, pada tahun 1946 dirinya dengan beberapa orang mendirikan partai bernama partai buruh Indonesia yang berpusat di Yogyakarta, dan dia menjadi salah seorang dewan pimpinan pusat. Dalam buku Atrhony Reid, bahasan tentang partai buruh sebatas perannya sebagai partai oposisi dan hubungannya dengan Iwa Kusuma Sumantri. Peran S.K. Trimurti dalam sejarah Indonesia tidaklah sedikit. Setelah proklamasi S.K. Trimurti menjadi anggota Komite Nasional Indonesia yang mendapat tugas untuk membentuk Komite Nasional Indonesia di Jawa Tengah. Kemudian ia bertugas di Badan Pekerja Komite Nasional Pusat sebagai badan eksekutif bentukan Komite Nasional.

Selanjutnya berkaita dengan aktivitas wanita dalam revolusi Anton Lucas dan Robert Cribb menjelaskan bahwa ada wanita yang merasa menjadi bagian dari revolusi karena apa yang dilakukan oleh suami mereka, yang lainnya adalah karena mereka tidak memiliki tanggung jawab keluarga, sehingga dapat ikut serta dalam perlawanan revolusi dalam bentuk yang lebih langsung. Hal ini tidak ditemukan dalam bahasan Anthony J.S. Reid dalam tulisannya tentang Revolusi Nasional Indonesia. Salah seorang peuang wanita yang dikisahkan oleh Anton Lucas dan Robert Cribb adalah kisah dari Ibu Rusmi yang ikut serta dalam kesatuan gerilya yang seluruhnya terdiri atas pria.

Selain peran wanita dalam aspek pertempuran pada masa revolusi, patut pula diperhatikan peran wanita dalam aspek informal pada saat revolusi. Sejarah kehidupan keseharian wanita pada masa revolusi sangat menarik karena terjadi berbagai macam perubahan akibat seringanya melakukan pengungsian. Banyak wanita di Jawa yang ikut serta dalam perjuangan harus meninggalkan rumah tangga mereka dengan segera, membawa anak-anak mereka berjalan kaki, pada saat Belanda secara berangsur-angsur memperluas daerah pendudukan mereka di Jawa. Banyak wanita dan anak-anak yang mengalami penderitaan seperti ini di seluruh pulau Jawa. Pada masa itu, wanita juga melahirkan anak-anak, mencoba memberi makan keluarga ketiga berpindah-pindah, mengganti pakaian kain batik dengan pakaian yang lebih praktis yang terbuat dari kain blacu, mengubah tatanan rambut mereka, serta menggulangi tragedi-tragedi yang amat menyedihkan seperti kematian bayi dan balita, atau meninggalnya orang tua. Pada saat persediaan dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Bahasan ini luput dari kajian Reid dalam salah satu temanya yang mengulas tentang revolusi sosial.

Dari berbagai kritik yang telah disampaikan di atas berkaitan dengan peran wanita pada masa revolusi yang tidak muncul dalam buku Anthony J.S. Reid, hal ini menunjukkan bahwa pada saat Reid menuliskan bukunya perhatian terhadap wanita masih minim. Walaupun tulisan Reid lebih mengarahkan pada permasalahan revolusi nasional, bukan berarti peran dan posisi wanita tidak dimunculkan, apaagi dalam salah satu bahasannya, Reid memasukkan kajian tentang revolusi sosial, di mana peran wanita dapat dimunculkan di sana.

DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana

Lucas, Anton dan Cribb, Robert. 1997. “Peran Wanita dalam Revolusi Indonesia: Sebuah Renungan Sejarah”. Dalam Panitia Konferensi Internasional Revolusi Nasional: Kajian, Kenangan, dan Renungan (Penyunting). 1997. Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wild, Colin dan Carey, Peter (Penyunting). 1986. Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.