Selasa, 15 September 2009

Pendapat-Pendapat tentang Perbedaan Kebudayaan dan Peradaban

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana UNS

Kebudayaan dan peradaban adalah dua kata yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam penggunaan istilah “kebudayaan” dan “peradaban”. Sementara itu pendapat kedua menyatakan bahwa ada perbedaan terminologis antara “kebudayaan” dan “peradaban”. Tulisan ini secara ringkas mencoba untuk memberikan sedikit bahan untuk menjelaskan pandangan yang kedua tentang “kebudayaan” dan “peradaban” sebagai istilah yang memiliki perbedaan secara terminologis.

Ada beberapa ahli yang memberikan titik tekan berbeda untuk menjelaskan konsep tentang kebudayaan dan peradaban. Ahli-ahli tersebut antara lain Albin Small, Alfred Weber, dan Spengler. Bagi Albion Small peradaban adalah kemampuan manusia dalam mengendalikan dorongan dasar kemanusiaannya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sementara itu, kebudayaan mengacu pada kemampuan manusia dalam mengendalikan alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Small, peradaban berhubungan dengan suatu perbaikan yang bersifat kualitatif dan menyangkut kondisi batin manusia, sedangkan kebudayaan mengacu pada sesuatu yang bersifat material, faktual, relevan, dan konkret.

Namun demikian, berbeda dengan pandangan Small, Alfred Weber justru memberikan pendapat yang berbeda. Menurut Alfred Weber, peradaban mengacu pada pengetahuan praktis dan intelektual, serta sekumpulan cara yang bersifat teknisyang digunakan untuk mengendalikanalam. Sedangkan kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai, prinsip normatif, dan ide yang bersifat unik. Aspek peradaban lebih bersifat kumulatif dan lebih siap untuk disebar, lebih rentan terhadap penilaian dan lebih berkembang daripada aspek kebudayaan. Peradaban bersifat impersonal dan objektif, sedangkan kebudyaan lebih bersifat personal, subjektif, dan unik.

Selain pandangan Small dan Weber yang cenderung bersifat pada pemilihan istilah, ada pandangan yang lebih khas yang dikemukakan oleh Spengler. Menurut pendapat saya, pendapat Spengler lebih mudah dicerna dan dipahami. Pendapat ini senada dengan pendapat Theodorson yang menjelaskan keterkaitan antara peradaban dan kebudayaan. Peradaban adalah kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Lebih lanjut lagi Spengler menyatakan bahwa peradaban adalah tingkat kebudayaan ketika telah mencapai taraf tinggi dan kompleks. Lebih lanjut lagi Spengler menyatakan bahwa peradaban adalah tingkat kebudayaan ketika tidak lagi memiliki aspek produktif, beku dan mengkristal. Sedangkan kebudayaan mengacu pada sesuatu yang hidup dan kreatif. Kebudayaan adalah sebagai sesuatu yang “sedang menjadi” (it becomes), sedangkan peradaban adalah sebagai sesuatu yang “sudah selesai” (it has been). Contoh dari peradaban adalah bangunan-bangunan monumental seperti Borobudur, Piramida, Tembok Besar Cina, serta berbagai hal monumental lain. Sementara itu contoh dari kebudayaan antara lain makanan dan minuman, pakaian, dan berbagai hal yang masih memiliki kecenderungan untuk terus berkembang.

Tentang Nilai Budaya Priyayi

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana UNS

Istilah priyayi berasal dari kata “para yayi” yang berarti adik-adik raja. Namun demikian, istilah tersebut bukan hanya sebatas pada adik raja saja, melainkan juga meluas untuk kalangan yang berada di sekitar pusat kekuasaan, termasuk pegawai-pegawai kerajaan atau pemerintahan.

Beberapa pakar telah memberikan batasan tentang priyayi seperti R van Neil, Leslie H. Palmer, Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Seomarsaid Moertono, serta Savitri Scherer. Dari pendapat para ahli tersebut priyayi pada dasarnya adalah status sosial yang didapat melalui upaya-upaya tertentu maupun karena keturunan. Priyayi terdiri atas orang-orang yang berada pada strata atas pada masyarakat Jawa yang memimpin, mengatur, dan menuntun masyarakat. Para pejabat pemerintahan pada masa kolonial Hindia Belanda, golongan profesional yang terpelajar dan terdidik, serta kerabat-kerabat penguasa, dalam hal ini bupati, wedana, dan sebagainya yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka yang disebut dengan kalangan priyayi.

Ditinjau dari aspek kebudayaannya, priyayi memiliki tata laku dan nilai-nilai hidup yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya. Sebagai golongan elite, priyayi adalah pendukung kebudayaan warisan kraton pada masa yang lalu. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki oleh priyayi erat kaitannya dengan sastra Jawa klasik, wayang kulit tentang Mahabarta dan Ramayana, serta seni, baik seni batik, seni tari dan sebagainya. Priyayi Jawa memliki sumber etis dari serat, babad, dan karya-karya lainnya.

Aspek lain yang menjadi nilai budaya dari kaum priyayi dapat dilihat dari aspek budaya feodal. Pada masyarakat feodal, dikenal konsep patron-client. Dalam hal ini priyayi memiliki posisi sebagai patron. Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client, yang dilambangkan dengan berbagai macam simbol, seperti pakaian, rumah, hewan piaraan, upacara-upacara, pesta-pesta, serta berbagai atribut lainnya. Namun demikian, sebagai patron, sebenarnya priyayi juga memiliki kewajiban untuk melindungi kaum kecil serta memiliki semangat pengabdian untuk kepentingan bersama.

Suatu gambaran yang menarik tentang nilai budaya kaum priyayi seperti yang dikisahkan Umar Kayam dalam karya-karyanya terutama dalam novel Para Priyayi. Dalam novel tersebut digambarkan dengan jelas nilai budaya yang dimiliki oleh Sastrodarsono sebagai seorang priyayi yang berasal dari masyarakat biasa. Ada aktivitas-aktivitas khusus yang hanya dilakukan oleh golongan priyayi seperti haya hidup, pesata-pesta tertentu, minat yang tinggi terhadap karya sastra dan seni, seperti seni tembang, tari, gamelan dan sebagainya yang tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan.