Jumat, 10 Juli 2009

Critical Pedagogy dan Praksis Pembelajaran Sejarah

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret


Critical pedagogy merupakan satu pendekatan dalam pendidikan yang menempatkan siswa untuk mampu menjawab pertanyaan dan menghadapi dominasi. Critical pedagogy dalam diskursus pendidikan disebut juga “aliran kiri” karena orientasi politiknya berlawanan dengan ideologi konservatif dan liberal (Agus Nuryatno, 2008:1). Jika dalam pandangan konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat dan cenderung bersifat mekanis, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada (Mansour Fakih, 2001:xvi).

Critical Pedagogy merupakan pandangan yang bersifat transdisiplin dan banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikiran seperti Marxisme, teori kritis Mazhab Frankfurt, feminisme, poskolonialisme, postrukturalisme, media studies, cultural studies, anti-racis studies, dan posmodernisme, selain itu dipengaruhi oleh pemikiran dari Antonio Gramsci tentang pengetahuan dan hegemoni, serta Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:9; Agus Nuryatno, 2008:4). Sebagai pendekatan dalam pendidikan, critical pedagogy telah mulai muncul pada tahun 1960-an dan berkembang secara luas di Amerika Serikat sekitar 30 tahun yang lalu sebagai model pembelajaran yang menyediakan inovasi pembelajaran untuk pemberdayaan. Model ini mulai dikenalkan oleh Paulo Freire dan beberapa teoretisi pendidikan lain yang berpengaruh terhadap pembelajaran dan aktivitas di akar rumput, dan banyak mengawali transformasi pendidikan yang bertujuan untuk menghubungkan antara teori dan praktik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (Ochoa & Lassalle, 2008:2).

Di dalam pendidikan sejarah, critical pedagogy memiliki fungsi untuk mengubah ketidaksetaraan hubungan yang muncul akibat kekuasaan di dalam kelas maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, critical pedagogy mencoba melakukan pendekatan yang lebih lentur untuk mendekonstruksi struktur hirarkis yang melemahkan demokratisasi dalam kelas, dan melakukan redefinisi atas pengetahuan, dan memahami bagaimana pengetahuan itu dibuat dan mengubah ketidakadilan (Ochoa & Lassale, 2008:1).

Dalam bidang pendidikan sejarah, secara lebih operasional Kuntowijoyo (1995) menyatakan bahwa critical pedagogy pada dasarnya menyangkut tiga hal, yakni aspek (1) mengapa sesuatu terjadi, (2) apa yang sebenarnya terjadi, serta (3) ke mana arah kejadian-kejadian itu. Dari pemikiran tersebut, Tsabit Azinar Ahmad dkk., (2008: 12) menyatakan bahwa kandungan yang harus terdapat dalam critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah meliputi aspek (1) kausalitas, (2) kronologis, (3) komprehensif, serta (4) kesinambungan. Aspek kausalitas menggambarkan kondisi masyarakat dalam berbagai aspek yang turut melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis adalah urutan terjadinya suatu peristiwa. Aspek kronologis yang dimaksud adalah bahwa dalam pembelajaran sejarah kontroversial, berbagai pendapat yang menyatakan tentang peristiwa tersebut harus disampaikan, sehingga pemikiran peserta didik terbuka terhadap suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial. Aspek keempat adalah aspek kesinambungan atau keberlanjutan dan keterkaitan peristiwa tesebut dengan peristiwa lainnya. Hal ini disebabkan peristiwa sejarah memiliki keterkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi setelahnya.

Relevansi critical pedagogy dalam pendidikan sejarah, khususnya pembelajaran sejarah disebabkan pula oleh adanya kesamaan-kesamaan pandangan di antara keduanya. Persamaan pertama, keduanya memandang bahwa ada keterkaitan antara pendidikan dengan politik, bahwa ada dalam pendidikan terdapat kepentingan-kepentingan politik, begitu pula sebaliknya bahwa dalam aktivitas politik terdapat muatan-muatan edukatif. Persamaan kedua adalah keduanya tidak dapat melepaskan diri dari konteks yang melingkupinya. Pendidikan sejarah maupun critical pedagogy memandang bahwa kondisi sekitar, baik kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Pendidikan senantiasa mengaitkan antara realitas dengan konsep-konsep. Persamaan ketiga ditinjau dari tujuan yang dicapai, yakni keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni terbangunnya kesadaran kritis dari peserta didik atau masyarakat dalam melihat realitas yang menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak. Persamaan lain antara critical pedagogy dengan pendidikan sejarah adalah keduanya memiliki landasan yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan. Keadilan dan kesetaraan menjadi kata kunci yang penting dalam proses pemberdayaan masyarakat dan refleksi diri guna mencapai transformasi sosial.

Di dalam praksis pelaksanaan pembelajarannya, critical pedagogy menekankan pembelajaran sebagai proses bagaimana memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas dan mengubahnya. Metode yang dipakai adalah kodifikasi dan dekodifikasi. Kodifikasi merupakan proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan peserta didik dan kemudian mempermasalahkannya (problematizing) dan dekodifikasi adalah proses pembacaan atas fakta-fakta melalui dua metode, yakni deskriptif dan analitis (Agus Nuryatno, 2008:6). Metode deskriptif mencoba untuk memahami surface sctucture sedangkan analitis digunakan untuk memahami deep structure, sebagai upaya memahami relasi antar kategori dalam membentuk realitas (Agus Nuryatno, 2008:6).

Proses yang ditekankan dalam critical pedagogy adalah self reflection dan self actualization (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:10). Tahap refleksi mempertanyakan pertanyaan “mengapa sesuatu itu bisa terjadi” sementara tahap aktualisasi atau tahap kontekstualisasi menekankan pada pertanyaan “bagaimana keterkaitan dengan kehidupan di sekitar saya?”, “bagaimana harus menyikapi permasalahan tersebut?”.

Oleh karena penekanannya pada aspek pengembangan peserta didik, pembelajaran berada pada pertanyaan how to think bukan what to think. Penekanan pada aspek what to think atau materi penting, tetapi proses atau metodologi untuk mendekati materi lebih penting. Dengan demikian, proses berpikir, berdebat, berargumentasi, mengapresiasi pendapat, menjadi lebih penting daripada materi pelajaran itu sendiri. Hal ini disebabkan dalam proses tersebut akan terjadi kritisisme, sharing ideas, saling menghargai dan assesment terhadap pengetahuan (Agus Nuryatno, 2008:8).

Dalam critical pedagogy, guru tidak dianggap sebagai pusat segalanya. Ia bukan satu-satunya sumber pemilih otoritas kebenaran dan pengetahuan dan penguasa tunggal atas kelas. Guru dan murid sama-sama learner, subjek yang belajar bersama. Isi atau materi pelajaran dalam critical pedagogy tidak semata-mata hak prerogatif guru, kepala sekolah atau pala ahli tanpa melibatkan peserta didik. Pendekatan bottom up lebih dipilih dalam mengkonstruksi isi pembelajaran. Hal ini bertujuan agar pendidikan lebih bermakna dan agar peserta didik paham dengan realitas hidup yang sebenarnya (Agus Nuryatno, 2008:7).

Posisi guru dalam critical pedagogy harus mampu mengarahkan peserta didik untuk memahami keterkaitan antara teori dan praktik atau antara refleksi dan aksi. Konsep ini dalam critical pedagogy dikenal dengan istilah “praxis” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:7). Program yang dirancang oleh guru harus mampu mengembangkan critical languages untuk menjelaskan dunia yang melingkupi kehidupan keseharian masyarakat, tentang mengapa dan bagaimana sesuatu hal terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanannya, ada pertanyaan yang harus dipahami oleh guru, seperti “apa kacamata ideologis yang digunakan untuk melihat realitas sosial yang terjadi?”, “bagaimana cara kita merasakan aspek sosial, politik, ekonomi, dan institusional yang melingkupi kehidupan kita?”, bagaimana kita dapat mengenali dan melihat hubungan dan penyalahgunaan power dan berapa besar tingkat signifikansinya dalam dunia pendidikan dan dalam kehidupan masyarakat?” (Listyana, Lavandez, & Nelson, 2004:8).

Dalam perspektif critical pedagogy sejarah tidak bersifat unidimensional (Carr, 2008:86). Guru dan peserta didik harus memahami bahwa sejarah adalah multidimensional, sehingga dibutuhkan padangan yang multiperspektif bahwa sejarah adalah dilingkupi, didefinisikan, ditampilkan, dan dihubungkan dengan konteks pada saat ini. Artinya terdapat aspek kesinambungan dalam sejarah dan adanya sifat sejarah yang multiinterpretasi. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembelajarannya, guru harus perhatian terhadap konstruksi dan interpretasi yang beragam dari sejarah (Carr, 2008:86).

Daftar Pustaka

Agus Nuryatno, M. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis. Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

Carr, Paul R. 2008. “ “But Wahat Can I Do” Fifteen Things Education Students Can Do to Transform Themselves In/Throught/With Education. International Journal of Critical Pedagogy. Vol 1 (2) Summer 2008. Hlm 81-97.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya.

Lestyana, Pepi, Lavandez, Magaly & Nelson, Thomas. 2004. “Critical Pedagogy: Revitalizing and Democratizing Teacher Education”. Teacher Education Quarterly. Winter 2004. Hlm. 3-15.

Mansour Fakih. 2001. ‘Ideologi dalam Pendidikan, Sebuah Pengantar’. Kata pengantar dalam William F. O’neil. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Penerjemah Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ochoa, Enrique C. & Lassalle, Yvonne M. “Editor Introduction”. Radical History Review. Vol. 2008, No 102, Fall 2008. Hlm. 1-7. Dalam http://dukeupress.edu/journals/ (diunduh 14 Mei 2009)

Tsabit Azinar Ahmad, dkk. 2008. ‘Pendekatan Kritis dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas untuk Mewujudkan Kesadaran Sejarah Peserta Didik’. Karya Tulis Ilmiah. Disusun dalam KKTM Bidang Pendidikan Tingkat Nasional pada 17 Juli 2008.



1 komentar:

  1. blog yang bagus pak, terus posting tulisan yang berbobot...kunjungi blog saya priyatmaja.blogspot.com trims

    BalasHapus