Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana UNS
Istilah priyayi berasal dari kata “para yayi” yang berarti adik-adik raja. Namun demikian, istilah tersebut bukan hanya sebatas pada adik raja saja, melainkan juga meluas untuk kalangan yang berada di sekitar pusat kekuasaan, termasuk pegawai-pegawai kerajaan atau pemerintahan.
Beberapa pakar telah memberikan batasan tentang priyayi seperti R van Neil, Leslie H. Palmer, Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Seomarsaid Moertono, serta Savitri Scherer. Dari pendapat para ahli tersebut priyayi pada dasarnya adalah status sosial yang didapat melalui upaya-upaya tertentu maupun karena keturunan. Priyayi terdiri atas orang-orang yang berada pada strata atas pada masyarakat Jawa yang memimpin, mengatur, dan menuntun masyarakat. Para pejabat pemerintahan pada masa kolonial Hindia Belanda, golongan profesional yang terpelajar dan terdidik, serta kerabat-kerabat penguasa, dalam hal ini bupati, wedana, dan sebagainya yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka yang disebut dengan kalangan priyayi.
Ditinjau dari aspek kebudayaannya, priyayi memiliki tata laku dan nilai-nilai hidup yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya. Sebagai golongan elite, priyayi adalah pendukung kebudayaan warisan kraton pada masa yang lalu. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki oleh priyayi erat kaitannya dengan sastra Jawa klasik, wayang kulit tentang Mahabarta dan Ramayana, serta seni, baik seni batik, seni tari dan sebagainya. Priyayi Jawa memliki sumber etis dari serat, babad, dan karya-karya lainnya.
Aspek lain yang menjadi nilai budaya dari kaum priyayi dapat dilihat dari aspek budaya feodal. Pada masyarakat feodal, dikenal konsep patron-client. Dalam hal ini priyayi memiliki posisi sebagai patron. Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client, yang dilambangkan dengan berbagai macam simbol, seperti pakaian, rumah, hewan piaraan, upacara-upacara, pesta-pesta, serta berbagai atribut lainnya. Namun demikian, sebagai patron, sebenarnya priyayi juga memiliki kewajiban untuk melindungi kaum kecil serta memiliki semangat pengabdian untuk kepentingan bersama.
Suatu gambaran yang menarik tentang nilai budaya kaum priyayi seperti yang dikisahkan Umar Kayam dalam karya-karyanya terutama dalam novel Para Priyayi. Dalam novel tersebut digambarkan dengan jelas nilai budaya yang dimiliki oleh Sastrodarsono sebagai seorang priyayi yang berasal dari masyarakat biasa. Ada aktivitas-aktivitas khusus yang hanya dilakukan oleh golongan priyayi seperti haya hidup, pesata-pesta tertentu, minat yang tinggi terhadap karya sastra dan seni, seperti seni tembang, tari, gamelan dan sebagainya yang tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan.
Mahasiswa Program Pascasarjana UNS
Istilah priyayi berasal dari kata “para yayi” yang berarti adik-adik raja. Namun demikian, istilah tersebut bukan hanya sebatas pada adik raja saja, melainkan juga meluas untuk kalangan yang berada di sekitar pusat kekuasaan, termasuk pegawai-pegawai kerajaan atau pemerintahan.
Beberapa pakar telah memberikan batasan tentang priyayi seperti R van Neil, Leslie H. Palmer, Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Seomarsaid Moertono, serta Savitri Scherer. Dari pendapat para ahli tersebut priyayi pada dasarnya adalah status sosial yang didapat melalui upaya-upaya tertentu maupun karena keturunan. Priyayi terdiri atas orang-orang yang berada pada strata atas pada masyarakat Jawa yang memimpin, mengatur, dan menuntun masyarakat. Para pejabat pemerintahan pada masa kolonial Hindia Belanda, golongan profesional yang terpelajar dan terdidik, serta kerabat-kerabat penguasa, dalam hal ini bupati, wedana, dan sebagainya yang menduduki posisi-posisi penting adalah mereka yang disebut dengan kalangan priyayi.
Ditinjau dari aspek kebudayaannya, priyayi memiliki tata laku dan nilai-nilai hidup yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya. Sebagai golongan elite, priyayi adalah pendukung kebudayaan warisan kraton pada masa yang lalu. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki oleh priyayi erat kaitannya dengan sastra Jawa klasik, wayang kulit tentang Mahabarta dan Ramayana, serta seni, baik seni batik, seni tari dan sebagainya. Priyayi Jawa memliki sumber etis dari serat, babad, dan karya-karya lainnya.
Aspek lain yang menjadi nilai budaya dari kaum priyayi dapat dilihat dari aspek budaya feodal. Pada masyarakat feodal, dikenal konsep patron-client. Dalam hal ini priyayi memiliki posisi sebagai patron. Sebagai patron kaum priyayi memiliki wewenang kuasa terhadap client, yang dilambangkan dengan berbagai macam simbol, seperti pakaian, rumah, hewan piaraan, upacara-upacara, pesta-pesta, serta berbagai atribut lainnya. Namun demikian, sebagai patron, sebenarnya priyayi juga memiliki kewajiban untuk melindungi kaum kecil serta memiliki semangat pengabdian untuk kepentingan bersama.
Suatu gambaran yang menarik tentang nilai budaya kaum priyayi seperti yang dikisahkan Umar Kayam dalam karya-karyanya terutama dalam novel Para Priyayi. Dalam novel tersebut digambarkan dengan jelas nilai budaya yang dimiliki oleh Sastrodarsono sebagai seorang priyayi yang berasal dari masyarakat biasa. Ada aktivitas-aktivitas khusus yang hanya dilakukan oleh golongan priyayi seperti haya hidup, pesata-pesta tertentu, minat yang tinggi terhadap karya sastra dan seni, seperti seni tembang, tari, gamelan dan sebagainya yang tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar