Senin, 24 Agustus 2009

Seninya Ilmiah, Ilmiahnya Seni

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana UNS
Kali pertama mengenal Kuntowijoyo adalah ketika penulis masih duduk di SMA lewat tulisan-tulisannya. Beliau dikenal sebagai seorang sasatrawan. Mantera Penjinak Ular, Daun Makrifat Makrifat Daun, Pasar merupakan karya Kuntowijoyo yang terkenal. Terlebih lagi cerpen-cerpennya seperti ‘Pistol Perdamaian’, ‘Anjing Penjaga Kuburan’, ‘Laki-Laki yang Kawin dengan Peri’ yang dimuat di Kompas meraih penghargaan sebagai cerpen terbaik Kompas. Namanya pun sejajar dengan sastrawan kondang seperti A.A. Navis, Muchtar Lubis, Danarto, sampai dengan Seno Gumira Ajidarma.

Namun siapa nyana setelah penulis masuk di perguruan tinggi, ternyata Kuntowijoyo bukan hanya seorang sastrawan, melainkan juga seorang sejarawan besar. Buku-bukunya menjadi buku wajib dan pegangan di berbagai perkuliahan. Pengantar Ilmu Sejarah, Metodologi Sejarah, Radikalisme Petani, Paradigma Islam, Raja Priyayi dan Kawula, menjadi buku yang tidak asing bagi mahasiswa sejarah. Namanya dapat disejajarkan dengan sejarawan besar seperti Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Ong Hok Ham, dan sejarawan besar lainnya. Tak kalah hebatnya, seperti halnya M. Natsir pada masa pergerakan, ia merupakan salah satu penggagas konsep ilmu sosial profetik. Namun sayang buah pikirannya belum sempat dituliskan dalam sebuah buku yang mengulas secara spesifik dan sistematis tentang konsep dan penerapan ilmu sosial profetik itu.

Selain Prof. Dr. Kuntowijoyo, ada banyak ilmuwan dan guru besar yang ternyata berada di dua alam sekaligus, ilmu dan seni. Prof. Dr. Edi Sedyawati, mantan Dirjen Kebudayaan, selain dikenal sebagai pakar arkeologi terkemuka di Indonesia, ia dikenal juga sebagai seorang penari. Ia pulalah yang pertama kali mendirikan jurusan tari pada Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada usianya yang tidak muda lagi, ditambah dengan kesibukannya sebagai seorang guru besar, ia masih meluangkan waktu untuk tetap menari.

Umar Kayam, seorang Guru besar Universitas Gadjah Mada, mantan Dirjen RTF bahkan sempat aktif dalam dunia film dan sinetron. Pemberontakan G 30 S PKI merupakan salah satu film yang dibintanginya. Selain itu, ia juga berperan dalam sinerton Canting yang diangkat dari novel karya Arswendo Atmowiloto. Selain itu beberapa novel seperti Para Priyayi yang dilanjutkan dengan Jalan Menikung, ditambah dengan cerpen-cerpen yang termasuk dalam cerpen-cerpen pilihan Kompas seperti ‘Lebaran di Karet’, serta karya legendarisnya ‘Seribu Kunang-Kunang di Manhattan’ lahir dari tangannya.

Koentjaraningrat yang dikenal sebagai bapak Antropologi Indonesia terkenal dengan lukisan-lukisannya yang indah. Ilustrasi sampul salah satu bukunya yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan dan ilustrasi-ilustrasi tokoh pada Pengantar Ilmu Antropologi I dan II adalah hasil karyanya. Mantan Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc, sangat identik dengan pembacaan puisi sebelum ia berpidato. Tak usah jauh-jauh, guru besar penulispun di Unnes, Prof. Dr. Abu Su’ud, mantan ketua Muhammadiyah Jawa Tengah sekaligus Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang tahun 2003-2007 sangat lihai membuat kisah jenaka tapi penuh hikmah dalam Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya serta Gayeng Semarang.

Selain itu ada pula seniman yang berasal dari kalangan akademisi. Sebut saja Wahyu Sardono atau yang lebih dikenal sebagai Dono, personel Warung Kopi (Warkop). Selain seorang seniman, ia adalah dosen sosiologi dari Universitas Indonesia. Tidak seperti tokoh-tokoh di atas, dia lebih untuk memilih terjun secara total dalam dunia seni.

Seninya Ilmiah
Dari berbagai contoh tentang ilmuwan dan guru besar di atas, kiranya dapat ditarik satu benang merah. Selain berkutat dengan keilmuannya, mereka juga memiliki jiwa seni dan rasa estetika yang tinggi. Mengapa ini bisa terjadi? Selain karena bakat seni yang dimilikinya, hal ini dikarenakan dalam bidang keilmuannya terdapat hal-hal yang berbau seni. Atau dalam bahasa penulis disebut “ada unsur seni dari hal yang ilmiah”.
Dalam ilmu-ilmu yang dikelompokkan dalam rumpun ilmu sosial dan rumpun humaniora, unsur-unsur seni memang sangat lekat di dalamnya. Sebagai contoh adalah sejarah. Sejarah pada dasarnya termasuk dalam ilmu humaniora. Paling tidak sejarah itu memiliki empat pengertian, sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai cerita, sejarah sebagai ilmu, dan sejarah sebagai seni. Apabila ditinjau dari segi pendidikan, sejarah memiliki pengertian pula sebagai sebuah mata pelajaran.

Sejarah dapat dikatakan sebagai seni karena pada salah satu tahap metode sejarah ada yang disebut dengan interpretasi. Interpretasi merupakan upaya untuk mengambil makna dari sebuah fakta yang didapat melalui kritik sumber. Tahap interpretasi secara umum dapat diartikan sebagai proses sejarawan mengimajinasikan masa lalu. Upaya untuk benar-benar memahami masa lalu adalah dengan menghadirkan masa lalu itu sendiri, melalui proses imajinasi sejarawan. Pada tahap ini, sejarawan bekerja layaknya seorang novelis ata sastrawan yang memanfaatkan daya pikir dan daya imajinasinya. Pada tahap terakhir metode sejarah, yaitu historiografi atau penulisan sejarah, unsur seni ada pula di dalamnya. Pada tahap ini, sejarawan dituntut untuk menghadirkan masa lalu itu dalam sebuah tulisan yang menarik. Hal ini bertujuan agar cerita sejarah itu tidak kering dan membosankan. Pemilihan kata, koherensi antarkalimat dan paragraf menjadi salah satu hal yang diperhatikan dalam penulisan sejarah. Lagi-lagi, sejarawan bekerja layaknya seorang novelis atau sastrawan pada tahapan ini. Dari contoh tersebut, kiranya dapat dilihat bagaiman nilai seni dalam sebuah ilmu.

Ilmiahnya Seni
Seni yang secara sederhana dapat diartikan sebagai apresiasi dari keindahan atau bahkan keindahan itu sendiri, ternyata dapat tampil sebagai sebuah hal yang ilmiah. Hal ilmiah artinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan diperoleh melalui tahapan yang sistematis. Melalui tahapan metodologis tertentu, suatu karya seni dapat dituangkan menjadi sebuah karya atau kajian ilmiah. Film misalnya, film sebagai sebuah karya seni dapat menjadi sebuah kajian ilmiah, seperti sebuah karya yang menyoroti tentang film Gie sebagai sebuah media komunikasi massa dan peranannya dalam membangun opini dan persepsi mahasiswa. Film dapat ditinjau dari segi maknanya atau pesan yang akan disampaikan. Contoh lain adalah wayang. Wayang sebagai sebuah seni pertunjukan, dapat menjadi sebuah tema dari penelitian, seperti tentang nilai kewirausahaan dalam cerita Dewa Ruci. Musik dapat pula menjadi tema dalam penelitian, seperti halnya kajian tentang eksistensi dan perkembangan musik keroncong. Untuk karya seni grafis seperti halnya kartun, dapat pula menjadi sebuah kajian ilmiah seperti halnya tentang fungsi kartun di surat kabar sebagai media pendidikan politik.

Sebuah karya seni, dapat menjadi tinjauan ilmiah bila seni ditinjau tidak sebagai seni. Yang dapat menjadi kajian ilmiah adalah tentang apa yang ada di balik seni tersebut, atau sisi lain apa yang ada dalam sebuah karya seni. Jadi, ilmu dan seni memang bukan dua hal yang bertentangan.

1 komentar:

  1. Best casinos that accept virtual currency - DrmCD
    Virtual currency: casino sites 포천 출장샵 that 나주 출장마사지 accept virtual currency. You can now find 문경 출장샵 plenty of good 성남 출장샵 offers with virtual currency casinos. 춘천 출장안마 What are the benefits of

    BalasHapus