Oleh: Tsabit Azinar Ahmad
Peradaban menurut Spengler adalah tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki sifat perodiktif, beku, dan mengkristal. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi (it becomes) (Rahardjo, 2002:24). Sementara itu, Arnold Joseph Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah wujud daripada kehidupan suatu golongan kultur seluruhnya. Dengan mengacu pada pemikiran Spengler dapat diartikan bahwa peradaban merupakan tingkatan ketika masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan berada pada suatu posisi yang telah mapan, telah menjadi. Peradaban dapat pula diartikan sebagai kebudayaan yang telah mencapai taraf yang tinggi dan kompleks. Dengan demikian, berarti peradaban berasal dari kebudayaan. Oleh karena itu sebelum membahas tentang peradaban perlu dibahas pula konsep dasar tentang kebudayaan.
Secara bahasa, kebudayaan berasal dari kata budaya ---dari bahasa sanskerta budhayyah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal---. Kebudayaan secara bahasa berarti hasil dari olah akal manusia. Kebudayaan tesusun dari tiga wujud yang tiap-tiap wujud saling berinteraksi dan memengaruhi yang kemudian tersusun menjadi suatu sistem. J.J. Honingman dalam Koentjaraningrat (1990:186) menyebutkan bahwa ada tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts. Selantnya gejala kebudayaan ini juga disebut sebagai wujud dari kebudayaan yaitu sistem budaya (ideas), sistem sosial (activities) dan kebudayaan fisik (artifacts). Dengan mengacu pada pemikiran di atas, Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan serta hasil fisik yang dibuat oleh manusia dalam masyarakat melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1974; 1990).
Setelah muncul kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia, hal ini terus berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization[1], berarti kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala, antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara kompleks, teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata politik, agama, filsafat, dan seni (Rahardjo, 2002: 27). Bila dikaitkan antara peradaban dan unsur kebudayaan, yaitu (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi dan (7) kesenian, maka dapat diartikan bahwa kebudayaan yang telah memasuki tingkat peradaban, maka secara tidak langsung telah menjelaskan pula perkembangan unsur-unsur kebudayaan tersebut menjadi jauh lebih kompleks.
Dalam studi tentang peradaban, selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana peradaban itu muncul dari masyarakat yang primitif, bagaimana proses perkembangan peradaban manusia sehingga tetap mempertahankan eksistensinya, mengapa terjadi perpecahan dalam kebudayaan, serta mengapa sebuah peradaban itu bisa hancur. Upaya untuk menjelaskan gejala-gejala dalam peradaban telah dilakukan oleh para ahli. Antara lain yang terkenal adalah Ibnu Khaldun, Oswald Spengler, Julian H. Steward, dan Arnold Joseph Toynbee.
Salah satu tokoh yang sangat intens menyelediki permasalahan peradaban yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah Arnold Joseph Toynbee. Toynbee adalah seorang sejarawan dari Inggris yang secara gamblang menerangkan tentang konsep peradaban mulai dari kemunculan sampai runtuhnya. Kesemua pemikiran itu muncul dalam karya-karyanya, terutama yang sangat monumental A Study of History.
Sekilas Tentang Toynbee
Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di London, Inggris pada tanggal 14 April tahun 1889. Ia merupakan sejarawan besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia, A Study of history sejumlah 12 jilid antara tahun 1934-1961 yang menuliskan tentang sebuah metahistory yang ada dalam peradaban yang mencakup kemunculan, pertumbuhan dan kehancurannya. Toynbee merupakan kemenakan dari seorang sejarawan terkenal Arnold Toynbee, di mana namanya dengan sang paman sering salah digunakan karena kemiripan nama. Dia menamatkan studinya di Winchester College dan Baliol College di Oxford Inggris kemudian pada British Archaeological School di Athena Yunani. Ia memulai karir sebagai pengajar di Balliol pada tahun 1912, dan kemudian menjadi pengajar di King’s College, London kemudian sebagai Profesor sejarah Modern Yunani dan Binzantium, menjadi guru besar sejarah internasional di Universitas London pada 1925-1946, serta pada London School Economics dan di Royal Institute of International Affairs (RIIA) di Chatam House. Kemudian ia menjadi pemimpin dari RIIA pada tahun 1925-1955 (Ekayati, 1996). Dia bekerja pada departemen Ilmu Pengetahuan di Departemen Luar Negeri Inggris dan pada saat perang dunia pertama berlangsung dan kemudian menjadi delegasi pada Paris Peace Conference pada tahun 1919 dan pada 1946 menjadi delegasi untuk acara yang sama. Bersama dengan asisten penelitinya, Veronica M. Boulter, yang kemudian nantinya menjadi istri keduanya, dia menjadi co-editor Survey of International Affairs yang diadakan RIIA. Pada saat perang dunia kedua, dia kembali bekerja di departemen luar negeri dan menjadi pembicara pada seminar tentang perdamaian.
Kehidupan pribadinya, ia menikah dengan rosalind Murray, purti dari Gilbert Murray dan dikaruniai tiga orang putera. Namun mereka bercerai, dan kemudian Toynbee menikah dengan Veronica M. Boulter pada tahun 1946. Toynbee meninggal pada 22 Oktober 1975 (http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee).
Pemikiran yang Mempengaruhi
Ilmuwan yang mempelajari tentang peradaban selain Toynbee antara lain Ibnu Khaldun dan Oswald Spengler. Kedua tokoh tersebut sedikit banyak memberikan andil yang besar dalam pemikiran Toynbee. Terutama Khaldun, yang oleh Toynbee dijuluki sebagai “Jenius Arab”. Hal ini dikarenakan Khaldun telah mampu untuk berpikir secara logis, objektif, dan analitik dalam karyanya berjudul Mukadimah. Berikut adalah permikiran kedua tokoh tersebut.
Khaldun (1332-1406) merupakan seorang sarjana Arab asal Tunisa. Ia melihat keteraturan lingkaran kehidupan peradaban, menyerupai lingkaran kehidupan organisme: tumbuh-dewasa-uzur. Rentang waktu lingkaran kehidupan rezim politik kurang lebih sama yakni sekitar seratus tahun atau selama tiga generasi. Ada lingkaran perubahan tingkatan sosial atau solidaritas kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Perubahanya melaui tiga tahap, pertama ada solidaritas sangat kuat yang ditimbulkan oleh kekerasan kondisi kehidupan nomaden di gurun pasir. Kedua, munculnya kultur kehidupan menetap dilokasi tertentu dan meningkatnya kemakmuran memperburuk ikatan kelompok dan memperlemah solidaritas. Ketiga, ini menyebabkan hancurnya ikatan sosial, membubarkan kelompok, lalu diikuti oleh kristalisasi kelompok berdasarkan ikatan sosial baru. Karya Khaldun yang menjadi inspirasi sebagian pemikir tentang peradaban adalah Mukadimah.
Spengler (1880-1936), seorang filsuf barat menyatakan bahwa kebudayaan dan peradaban yang merupakan organisme kehidupan di wilayahnya sendiri, seperti tanaman, hewan dan manusia, meskipun tingkatan yang paling tinggi. Ia mengidentifikasi sembilan organisme tertinggi, tiga di antaranya adalah Babilonia, Mesir Kuno, dan Klasik (Romawi-Yunani) di waktu lampau. Spengler mengatakan bahwa setiap peradaban besar mengalami proses pentahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Proses perputaran itu memakan waktu sekitar seribu tahun. Pandangan Spengler ini mengacu pada kebudayaan-kebudayaan yang kini telah tiada, seperti kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir. Menurut Spengler, kebudayaan itu tumbuh, berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang; tetapi juga kadang-kadang juga muncul mendadak, berkembang dan kemudian lenyap. Kalau diumpamakan, laksana tahap perkembangan seorang manusia, melewati masa muda, masa dewasa, masa tua, dan akhirnya punah (Purnomo, 2003).
Dalam pemikiran Spengler, setiap kebudayaan mengalami empat stadium (Purnomo, 2003). Analog dengan musim, maka kebudayaan akam mengalami masa semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin.musim semi adalah musim kanak-kanak. Pada waktu kebudayaan masa ini adalah masa mengatasi atau menetapkan. Periode kedua adalah masa remaja atau masa berkembang yang dianggap sebagai waktu untuk mematangkan diri. Di belahan dunia barat, masa ini terjadi pada saat renaissance. Periode ketiga adalah masa dewasa yang dalam kebudayaan ditandai dengan berdirinya kota besar. Dan masa keempat yang diyatakan sebagai masa kehancuran atau kematian. Pada periode musim dingin ini adalah periode “meterial comfort”. Manusia menjadi budak dari mesin-mesin dan sistem-sietem industri. Akhir periode ini tercapai dengan datangnya theosophy baru, datangnya messiah, yang merupakan harapan.
Antara pemikiran Toynbee dan Spengler ada semacam kesamaan, yaitu tentang gerak dari sejarah atau peradaban itu sendiri dan pendekatan yang digunakan. Apabila Spengler menyatakan bahwa kehancuran adalah layaknya organisme yang pasti terjadi dan tidak bisa ditahan, maka Toynbee menyatakan bahwa kehancuran bisa ditahan. Selain itu, ia menolak paham Spengler yang deterministik yang menggambarkan bahwa peradaban timbul dan tenggelam sebagai sebuah siklus yang mengikuti kehendak alam.
Pemikiran toynbee tentang peradaban adalah bahwa peradaban selalu mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori Toynbee ini senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan, kematian, kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran Toynbee ini senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa pra-Socrates.
Mengacu pada pemikiran Toynbee tentang terbentuknya gereja universal, munculnya penyelamat atau Al Mahdi, pernyataan bahwa peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama, dan fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan maka secara tidak langsung pemikiran ini senada dengan pemikiran para pemikir patristik, seperti St Augustinus. Lebih lanjut lagi Toynbee menyatakan bahwa keruntuhan kebudayaan bisa dihentikan. Upaya menghentikan keruntuhan kebudayaan/peradaban yang mungkin berhasil ialah dengan penggantian segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan (Ali, 1961:85-87). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret adalah Kerajaan Allah. Mengenai pandangan ini Ali menyatakan bahwa teori Toynbee merupakan muara teori Augustinus, yatu Civitas Dei (Purnomo, 2003:38; Ali, 1961:85-87).
Dari sekian banyak karya dari Toynbee, baik sebagai penulis utama, kontributor, editor, translator, serta pemberi kata pengantar dan pendahuluan, karya yang paling monumental dari Toynbee adalah bukunya yang ditulis mulai dari tahun 1930-an sampai tahun 1961, yaitu A Study of History. Buku ini terdiri dari 12 jilid, yang masing-masing jilid menerangkan tahapan dalam peradaban mulai dari kemunculan, pertumbuhan, dan kehancuran.
Konsep Peradaban Toynbee
Toynbee membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Dari jumlah peradaban itu 16 telah musnah, tiga lebur, sementara itu 7 lainnya masih bertahan. Ketujuh peradaban itu kemudian dikombinasikan menjadi lima, yaitu (1) Peradaban Barat, (2) Kristen Ortodoks, termasuk Eropa Tenggara, (3) Islam, (4) Hindu, dan (5) Timur Jauh, termasuk di dalamnya Cina, Jepang, dan Korea (Ekayati, 1996). Pembagian sejarah ini yang mendasari dilakukannya kajian tentang peradaban dalam bukunya, A Study of History. Peradaban-peradaban yang menjadi kajian dari Toynbee adalah Mesir, Andean, Sinic, Minoan, Sumeria, Maya, Indic, Hittite, Hellenik, Peradaban Barat, Kristen Kaum ortodox di Rusia dan Eropa, Cina dan timur jauh (Korea/Jepang),Iran, Arab, Hindu, Mexic, Yucatek, dan Babylonia. Selainj itu ada empat 'abortif civilisations' ( Kristen Barat Jauh, Kristen timur Jauh, Syriac, dan Scandinavia) dan lima peradaban yang bertahan (arrested civilization) yaitu Polinesia, Eskimo, Nomadic, ottoman, dan Spartan. Dari sekian peradaban yang ditelitinya total ada tiga puluh peradaban.
Dalam mengaji peradaban itu, Toynbee melakukan pendekatan yang sama (Sztompka, 2004:173-174). Ia dengan detail mengulas tentang asal usul, pertumbuhan, kemuduran, status universal, dan disintegrasi. Ia membuat generalisasi berdasarkan semua bukti historis yang pernah tercatat. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat bukan keseluruhan umat, bukan pula satu negara-bangsa tertentu tetapi adalah “unit menengah” yang rentangan ruang dan waktunya lebih besar daripada sebuh masyarakat tertentu tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni peradaban. Gagasan tentang adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban muncul kembali. Contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam peradaban Hindu; ilmu dan teknologi dalam peradaban Barat.
Toynbee melihat gejala peradaban sebagai sebuah siklus. Dalam pandangan ini peradaban, seperti halnya riwayat organisme hidup, mengalami tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasam dan runtuh. Dalam proses perputaran itu sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total. Terdapat kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang tidak sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya (Rahardjo, 2002:5-12). Toynbee menyatakan bahwa peradaban peradaban baru yang menggantikannya itu dapat mencapai prestasi melebihi peradaban yang digantikannya. Lebih lanjut lagi bagi Toynbee peradaban adalah suatu rangkaian siklus kehancuran dan pertumbuhan, tetapi setiap peradaban baru yang kemudian muncul dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dengan demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap pencapaian yang lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas peradaban yang lain (Rahardjo, 2002:5-12).
Toynbee membagi pentahapan ke dalam tiga periode utama, yaitu geneses, growth, dan breakdown. Namun karena Toynbee memberikan perhatian paling besar pada periode ketiga, maka bagian ini masih disambung lagi dengan tahap-tahap disintegrations, universal states, universal churches, dan heroic ages, yang menandai akhir suatu siklus dan awal siklus baru. Disamping itu Toynbee dalam bukunya A Study of History masih menambahkan aspek-aspek lain dari gejala peradaban, yakni contacs between civilization in space, dan contact between ciivlization in time.
Peradaban bagi Toynbee bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia, yakni semangat yang kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual (Rahardjo, 2002:5-12).
Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dalam sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu perkembangan peradaban (Lauer, 2001:49-57).
Peradaban muncul karena dua faktor yang berkaitan: adanya minoritas kreatif dan kondisi lingkungan. Antara keduanya tak ada yang terlalu menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan kultur. Mekanisme kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup kultur dijelmakan dalam konsep tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan masyarakat melalui minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu. Segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncul tantangan baru dan diikuti oleh tanggapan berikutnya (Sztompka, 2004:173-174).
Toynbee memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan kesukaran ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat). Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa keluar dari masyarakat primitif.
Tantangan dan tanggapan adalah bersifat fisik, seperti ketika penduduk zaman neolithik berkembang menjadi suatu masyarakat yang mampu menyelesaikan proyek irigasi besar-besaran; atau seperti ketika Gereja Agama Katholik memecahkan kekacauan post-Roman Eropa dengan pendaftaran Kerajaan berkenaan dengan bahasa Jerman yang baru di dalam masyarakat religius tunggal.
Peradaban muncul sebagai tanggapan atas tantangan. Mekanisme sebab-akibat bukanlah sesuatu yang benar-benar ada, tetapi hanya sekadar hubungan, dan hubungan itu dapat terjadi antara manusia dan alam atau antara manusia dan manusia. Sebagai contoh, peradaban Mesir sebagai hasil tanggapan yang memadai atas tantangan berasal dari rawa dan hutan belantara lembah Nil, sedangkan peradaban lain muncul dari tantangan konflik antarkelompok.
Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Toynbee membahas lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang: ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan (Lauer, 2001:49-57). Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar ditaklukkan, seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang sensntiasa mengancam seperti di sepanjang sungan Hoang Ho, Cina. Kawasan baru mengacu kepada daerah yng belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat akan merasa asing dan melakukan upaya untuk adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan, temasuk yang baru ditaklukkan dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan hukuman atau pembuangan mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksloitasi (Lauer, 2001:49-57).
Yang jelas, bila kita mendapat tantangan, kita tidak selalu memberikan tanggapan yang dapat membangkitkan suatu peradaban. Namun demikian, tidak semua tantangan bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan positif. Ada pula tantangan yang tidak menimbulkan peradaban. Dalam Ali (Purnomo, 2003) diterangkan bahwa dalam alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan, seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah kegiatan manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi). Tantangan itu mungkin sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat menciptakan tanggapan memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara tantangan dan tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk kurva linear. Artinya tingkat kesukaran yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi tantangan ekstrim dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin membangkitkan tanggapan memadai (Lauer, 2001:49-57).
Dalam fase pertumbuhan peradaban, tanggapan senantiasa berhasil, minoritas kreatif membuat upaya baru untuk menanggapi tatangan baru dan dengan cara demikian menghancurkan tradisi yang dianggap kolot dan primitif (Rahardjo, 2002:5-12). Artinya peradaban mulai berkembang ketika minoritas keatif menemukan suatu tantangan dan kemudian merespon dan menemukan jalan keluar dan inovasi (http://en.wikipedia.org/wiki/A_Study_of_History).
Oleh karena itu, pertumbuhan itu terjadi pada saat jawaban terhadap tantangan tidak hanya berhasil dilalui, tetapi juga keberhasilan itu menimbulkan tantangan lanjutan yang kembali dapat diatasi. Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan itu. Sejumlah kecil (minoritas) itu menciptakan kebudayaan; dan massa yang lain (mayoritas) meniru. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta, suatu kebudayaan tidak dapat berkembang.
Pertumbuhan atau kemajuan sesungguhnya adalah energi kreatif yang tumbuh sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam mengatasi tantangan-tantangan eksternal. Ia mengatakan bahwa kemajuan manusia seharusnya diukur dari peningkatan semangat yang kuat (self-determination) yang biasanya dimiliki oleh sekelompok kecil individu yang kreatif (minority of creative persons). Dengan demikian, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan sipiritual (Rahardjo, 2002:5-12).
Pertumbuhan peradaban tergantung pada perilaku minoritas kreatif. Seluruh tindakan sosial adalah karya individu-individu pencipta. Namun kebanyakan umat manusia cenderung tetap teperosok ke dalam cara-cara hidup lama. Oleh karena itu, tugas minoritas kreatif bukanlah semata-mata menciptakan bentuk-bentuk dan proses-proses sosial baru, melainkan juga menciptakan cara-cara membawa mayoritas ini bersama-sama dengan mereka untuk mencapai kemajuan. Dengan pimpinan elit, peradaban akan tumbuh melalui serentetan tanggapan yang berhasil menghadapi tantangan yang berkelanjutan.
Toynbee dalam Lauer (2001) menyebut tahap pertumbuhan (growth) sebagai proses “penghalusan”, yakni pergeseran penekanan dari alam kemanusiaan atau perilaku yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Ini berarti menaklukkan rintangan awal sehingga dengan demikian energi dapat tersalurkan untuk menanggapi tantangan yang lebih bersifat internal dari pada yang bersifat eksternal, dan yang bersifat spiritual ketimbang material. Pertumbuhan demikian berarti peningkatan penentuan nasib sendiri, dan ini menimbulkkan deferensiasi terus menerus di antara bagian-bagian masyarakat. Diferensiasi ini tejadi karena sebagian masyarakat tertentu berhasi memberikan tanggapan memadai atas tantangan; sebagian yang lain berhasil dengan jalan meniru bagian yang berhasil itu. Sebagian yang lain lagi gagal, baik dalam menciptakan atau meniru, dan demikian akan mendekati kematian. Akibatnya adalah berkembangnya ciri khas tertentu di dalam setia peradaban. Peradaban Yunani misalnya, memiliki keunggulan pandangan estetika mengenai kehidupan sebagai suatu keseluruhan. Peradaban hindu dan India cenderung menuju ke suatu pandangan hidup yang mengtamakan keagamaan (Lauer, 2001:49-57).
Tak ada peradaban yang terus menerus tumbuh tanpa batas. Umumnya peradaban akan mengalami kehancuran bila elit kreatifnya tidak berfungsi secara memadai, mayoritas tak lagi memberikan kesetiaan kepada minoritas, dan menirunya; dan bila kesatuan sosial mengalami perpecahan. Kehancuran dan perpecahan adalah biasa, namun tak terelakkan. Mungkin pula terjadi proses pembatuan, seperti ditunjukkan oleh masyarakat mesir kuno dan timur jauh. Dalam keadaan membatu masyarakat hidup terus, meskipun sebenarnya sudah menamatkan perjalanan hidupnya (Lauer, 2001:49-57).
Dalam fase perpecahan dan kehancuran peradaban, minoritas kreatif behenti menjadi manusia kreatif. Peradaban binasa dari dalam karena kemampuan kreatif sangat menurun padahal tantangan baru semakin meningkat. Kehancuran peradaban disebabkan oleh kegagalan kekuatan kreatif kalangan minoritas dan karena lenyapnya kesatuan sosial dalam masyarakat sebagai satu kesatuan (Sztompka, 2004:173-174). Apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak akan berkembang lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, keruntuhan mulai nampak. Keruntuhan terjadi dalam tiga tahap (Purnomo, 2003), yaitu
a. Kemerosotan kebudayaan. Masa ini tejadi karena minoritas kehilangan daya menciptanya dan kehilangan kewibawaannya, sehingga mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Perarutan alam dalam kebudayaan yang dibuat antara mayoritas dan minoritas pecah dan tunas-tunas kebudayaan menuju pada kematian.
b. Kehancuran kebudayaan. Masa ini mulai muncul setelah tunas-tunas kehidupan kebudayaan mati, sehingga pertumbuhannya terhenti. Akibatnya daya hidup kebudayaan membeku dan kebudayaan tesebut menjadi tidak berjiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification atau pembatuan (menjadi fosil) kebudayaan.
c. Lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.
Toynbee menyatakan bahwa uraian peradaban tidaklah disebabkan oleh hilangnya kendali terdiri atas lingkungan, yang terdiri atas lingkungan manusia, atau faktor yang menyerang dari luar. Kemunduran itu diakibatkan kemandulan dari "minoritas yang kreatif," kemudian menjadi " minoritas dominan" yang memaksa mayoritas untuk mematuhi tanpa pantas menerima ketaatan. Ia menyatakan minoritas kreatif itu memburuk dalam kaitan dengan suatu pemujaan. Mereka selalu bernostalgia tentang " diri yang dahulu," dengan mana mereka menjadi merasa bangga, dan gagal untuk cukup menunjuk tantangan yang berikutnya yang mereka menghadapi (http://en.wikipedia.org/wiki/a_study_of_history).
Lebih lanjut lagi, Toynbee menyatakan bahwa, keruntuhan peradaban bermula ketika terbentuk suatu "Kaum tani Internal" (internal proletariat) dan "Kaum tani Eksternal" (external proletariat). Protelariat yang internal berhasil ditundukkan oleh minoritas yang dominan di dalam peradaban, akan tetapi kaum proletariar eksternal yang ada di luar peradaban itu berada dalam kemiskinan dan kekacauan, dan pada akhirnya tumbuh cemburu dan dengki. Ia menyatakan bahwa hal itu sebagai bentuk kemunduran peradaban, proses ini disebut " perpecahan dalam badan sosial" (schism in the body social) di mana kebebasan yang tanpa kendali dan pengendalian-diri bersama-sama menggantikan kreativitas, dan kemangkiran dan kesyahidan/semangat martir bersama-sama menggantikan semangat untuk belajar seperti yang diajarkan oleh minoritas kreatif .
Ia menyatakan bahwa di dalam lingkungan ini, orang-orang memilih archaism (kekolotan), futurisme, detasemen (penghilangan dirinya dari kenyataan kemunduran dunia), dan transenden. Ia menyatakan bahwa transendensi telah menyebabkan kelahiran bagi gereja sebagai upaya untuk pengalihan perhatian dari keterpurukan yang terjadi kepada hal yang lebih bersifat rohani dan menjadi manusia baru.
Peradaban itu hancur dan bila kehancuran terjadi, diikuti pula oleh khas seperti berikut. Terjadi perpecahan masyarakat, diikuti perpecahan peradaban menjadi tiga kelompok yang berlawanan, yaitu minoritas dominan, proletariat internal, dan proletariat eksternal. Masing-masing kelompok selanjutnya menciptakan institusi yang khas: suasana universal (universal state), gereja universal (universal chruch), dan peperangan biadab (heroic ages) (Lauer, 2001:49-57).
Penciptaan suasana universal berarti bahwa elit memaksa rakyat dengan kekuatan; elit mengubah dirinya menjadi kalangan berkuasa. Ini dilakukan dengan sengaja untuk bersama-sama menghancurkan peradaban. Ia menyatakan bahwa tanda yang terakhir yang menandakan bahwa suatu peradaban telah pecah adalah ketika minoritas yang dominan membentuk "Status/suasana Universal," yang membuat tidak berdaya kreativitas politis. Ia menyatakan:
First the Dominant Minority attempts to hold by force—against all right and reason—a position of inherited privilege which it has ceased to merit; and then the Proletariat repays injustice with resentment, fear with hate, and violence with violence when it executes its acts of secession. Yet the whole movement ends in positive acts of creation—and this on the part of all the actors in the tragedy of disintegration. The Dominant Minority creates a universal state, the Internal Proletariat a universal church, and the External Proletariat a bevy of barbarian war-bands (http://en.wikipedia.org/wiki/a_study_of_history) .
Sebagai tanggapan dari status universal, proletariat internal mempersiakan “orang dalam” bukan “orang luar” masyarakat, berbalik menentang elit dan membentuk sebuah gereja universal. Toynbee menggunakan istilah gereja karena mengacu pada ikatan rohani yang kolektif yang melingkupi kepada suatu pemujaan umum atau kesatuan yang sama yang ditemukan dalam beberapa macam perilaku sosial.
Proletariat eksternal adalah orang yang secara kultural dipengaruhi oleh pertumbuhan peradaban, tetapi tidak terpengaruh ketika kehancuran terjadi, kemudian berhenti menirunya dan bahkan menjadi musuh peradaban itu. Batas antara peradaban dan proletariat eksternal menjadi garis demarkasi militer. Pemberontakan proletariat eksternal, yakni barbarian yang tak mau lagi menerima perlakuan sebagai orang taklukan segera setelah peradaban mulai mengalami keruntuhan menjadikan suatu peradaban pecah dan kacau (Lauer, 2001:49-57).
Seperti Khaldun, Toynbee memusatkan perhatiannya pada aspek sosio-psikologis perubahan sosial. Karena itu sebelum melukiskan pepecahan dalam tubuh masyarakat, ia telebih dahulu membahas perpecahan dalam jiwa masyarakat. Perpecahan tu berbagai cara perilaku, perasaan, dan kehidupan yang menandai peradaban sedang tumbuh digantikan oleh berbagai penggantinya yang berlawanan. Sebagai contoh bila dalam peradaban yang sedang berkembang orang hidup lebih dirasakan atau perasaan yang diliputi kebahagiaan dan bersemangat, di dalam peradaban yang mengalami perpecahan (di luar kehendaknya) orang berjuang dengan perasaan menerawang dan perasaan berdosa (Lauer, 2001:49-57).
Singkatnya, perpecahan peradaban itu diungkapkan dalam istilah mundur teratur. Sebagai contoh keadaan universal mencerminkan konsolidasi sesudah mundur teratur ketika berada dalam keadaan sukar. Terakhir mengingat peradaban yang tumbuh ditandai oleh peningkatan diferensiasi, sebaliknya peradaban yang sedang hancur ditandai oleh peningkatan standarisasi. Minortias dominan secara seragam menciptakan falsafah dan keadaan universal; proletariat internal secara seragam menemukan agama yang lebih agung, yang diungkapkan melalui sebuah gereja universal; proletariat eksternal secara serentak menghimpun pasukan untuk melancarkan serangan terhadap peradaban (Lauer, 2001:49-57).
Berbeda dengan Spengler, Toynbee menyatakan bahwa kehancuran kebudayaan dapat ditahan. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al Mahdi. Akan tetapi perjuangan itu tidak berhasil sama sekali. Suatu usaha untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil ialah penggantian dari suatu kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan (Purnomo, 2003). Hal ini dibuktikan dengan pada tingkat perpecahan dimunculkan juru selamat masyarakat. Secara khusus ada empat jenis juru selamat yang muncul (Lauer, 2001:49-57), yaitu
a. Juru selamat dengan pedang, yakni pencipta dan penegak keadaan universal
b. Juru selamat dengan mesin waktu, yakni orang yang berpandangan kolot atau yanmg berpandangan maju. Orang yang berpandangan kolot adalah yang merasa selamat dengan memulihkan zaman ke keemasa masa lalu. Sedangkan yang berpandangan maju, mereka yang selamat dengan melompat ke masa depan yang belum diketahui (dengan revolusi yang memutuskan hubungan masyarakat dengan masa lalu)
c. Falsafah yang menyatakan bahwa raja mencreminkan penyelesaian masalah tanpa menggunkan pedang dan mesin waktu. Hal ini dikemukakan oleh Plato. Penyelesaian ini memerlukan suatu kesatuan falsafah dan kekuatan politik, baik filsuf harus menjadi raja, atau raja harus menjadi filsuf. Toynbee menyatakan penyelesaian ini akan mengalami kegagalan karena kontradiksi ensternal antara sikap tak terpengaruh dari filsif dan campur tangan penggunaan kekuasaandan paksaan dari raja.
d. Penjelmaan tuhan dalam diri manusia. Ini seperti halnya yang ada pada diri juru selamat yang mencerminkan dirinya sendiri sebagai tuhan yang menawarkan harapan, atau tepatnya hanyalah isa almasih yang dapat membebaskan manusia dari kematian.
Toynbee menyatakan adanya pola umum yang melandasi atau logika unik yang terjelma sendiri dalam jangka panjang dan belaku untuk semua peradaban. Pola umum itu adalah kemajuan spiritual dan agama. Peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama. Fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan yang makin mendalam dan untuk bertindak berdasarkan wawasan itu
Pandangan Toynbee tentang gerak sejarah adalah bahwa dalam sejarah tidak terdapat suatu hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul-tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti. Toynbee menganjurkan bahwa sejarah harus dipelajari secara holistik. Mempelajari sejarah tidak dapat dipisah-pisahkan antara bagian-bagian yang ada di dalamnya. Mempelajari sejarah harus mempelajari suatu masyarakat secara keseluruhan, masyarakat secara utuh sebagai satu kesatuan unit dari proses sejarah (Purnomo, 2003).
Oleh karena sejarah adalah studi tentang peradaban, Toynbee menyatakan bahwa ada kontinuitas dalam sejarah. Contoh kontinuitas tersebut adalah adanya orang tua dan anak. Kontinuitas sejarah bukan kontinuitas individu, melainkan kelangsungan generasi. Oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam mempelajari sejarah sebagai satu unit harus dihilangkan (Purnomo, 2003).
Kaitannya dengan permasalahan yang terjadi pada masa ini yang menjadi permasalahan universal yang terjadi tidak hanya pada masa lalu, tetapi juga pada masa kini, Toynbee memusatkan perhatian pada kemungkinan perkembangan peradaban barat dan nasib peradaban masa lalu. Ia mengemukakan sejumlah masalah mendasar yang dihadapi dan harus diselesaikan (Lauer, 2001:49-57), yaitu
a. Masalah perang yang telah menjadi penyebab utama perpecahan dan kehancuran peradaban masa lalu. Dengan ditemukannya bom nuklir, pengendalian perang menjadi semakin mendesak.
b. Masalah pertentangan kelas. Industrialisasi menyebabkan bagian terbesar barang kebutuhan material tidak lagi dimonopoli oleh segelintir orang yang memiliki hak istimewa. Rakyat takkan senang, kecuali kalau mereka sudah bebas dari kemiskinan. Paling tidak dalam kasus ini ada beberapa kelas, yaitu kaum buruh yang kemudian bergabung dalam serikat buruh.kemduian ada pula kelas menengah yang terperosok ke dalam pengekangan kehidupan dalam bentuk birokrasi.
c. Pertambahan penduduk dan kesejahteraan sosial.
Simpulan
Sejarah manusia yang dikemukakan Toynbee adalah suatu lingkaran perubahan berkepanjangan dari peradaban: lahir, tumbuh, pecah, dan hancur. Kaitannya dengan gerak sejarah, Toynbee menyatakan bahwa sejarah umat manusia sama halnya dengan konsep peradaban, mengalami siklus, mulai dari kemunculan sampai pada kehancuran.
Kemunculan peradaban, pertumbuhan, dan kehancuran peradaban ada satu benang merah yng mengaitkannya, yaitu adanya kalangan yang memegang pengaruh. Dari kemunculan peradaban dan pertumbuhannya ada istilah minoritas kreatif yang menjadi penentu peradaban dan massa. Pada fase kemunduran, yang disebabkan mandek-nya kaum minoritas kreatif dalam menaggapi tantangan secara tepat melalui inovasi, ada istilah minoritas dominan yang menyelewengkan kekuasaannya. Pelajaran yang dapat diambil dari pemikiran Toynbee adalah bahwa kehancuran dimulai dari mandulnya kreativitas manusia. Selain itu Toynbee juga mengingatkan kita kepada hasil studinya yang menyatakan tak ada peradaban yang kebal terhadap kemerosotan tetapi, ada upaya yang bisa dilakukan untuk tetap menjaga eksistensi dengan mengembangkan inovasi dan kreativitas.
Daftar Pustaka
Ali, R. Moh. 1961. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: Bhratara.
Ekayati. 1996. ‘Arnold J. Toynbee’. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jilid 16. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Hal 413-414.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
------------. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Lauer, Robert H. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Purnomo, Arif. 2003. Pengantar Memahami Filsafat Sejarah. Paparan Kuliah. Tidak Diterbitkan. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Rahardjo, Supratikno. 2002. Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.
Sztompka, Piƶtr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.
Wikipedia free encyclopedia. 2006. Arnold Joseph Toynbee. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/arnold_joseph_toynbee (diunduh pada 23 Mei 2006)
Wikipedia free encyclopedia. 2006. A Study of history. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/A_Study_of_History (diunduh pada 23 Mei 2006)
[1] Civilization berasal dari bahasa latin civics dan civitas yang berarti warga kota dan negara-kota. Kata lainnya yakni civilitas yang berarti kewarganegaraan. Dalam Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Ekonomi, dan Agama Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal 26-27.
Salam kenal.
BalasHapusSaya suka tulisan ini, kalau boleh ijinkan saya mengutip :)
hebat. bagus tulisannya om. banyak bantu saya belajar :D
BalasHapusSituasi yang kerap terjadi dewasa ini adalah bukti nyata dari tulisan di atas, setelah memahami landasan teorinya, bagaimana lantas sikap kita selanjutnya? apakah berdiam diri dan menunggu teori-teori ini terwujud atau menjadi eksponen utama...
BalasHapusmakasih infonya
BalasHapus