Minggu, 10 Mei 2009

Mandiri dan Integral: Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Tsabit Azinar Ahmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Pendahuluan

Gerakan 30 September, peristiwa seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Serangan Umum 1 Maret 1949, lahirnya Pancasila, lahirnya Orde Baru, dan Integrasi Timor-Timur, merupakan beberapa peristiwa sejarah yang bersifat kotroversial. Sejarah yang bersifat kontroversial dapat diartikan sebagai sejarah yang dalam penulisannya terdapat beberapa pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan beberapa versi. Dikatakan kontroversial karena antara pendapat satu dengan pedapat lainnya masing-masing memiliki landasan yang menurut penulisnya adalah kuat (Ahmad, 2008:10). Sejarah kontroversial senantiasa muncul akibat perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa dikalangan sejarawan atau masyarakat yang dilandasi perbedaan perolehan sumber sampai dengan masalah interpretasi yang berbeda.

Pengajaran sejarah yang bersifat kontroversial dengan memberikan argumentasi yang kuat dan logis tentang pendapat-pendapat yang berbeda itu memiliki beberapa tujuan. Abu Su’ud (1993:20-21) menyatakan bahwa pengembangan pola isu kontroversial dalam kelas sejarah bertujuan untuk mencapai (1) peningkatan daya penalaran, (2) peningkatan daya kritik sosial, (3) peningkatan kepekaan sosial, (4) peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat, (5) peningkatan keberanian pengungkapan pendapat secara demokratis, serta (6) peningkatan kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

Pada praksis pelaksanaan pembelajarannya, upaya untuk mengajarkan sejarah yang bersifat kontroversial masih merupakan hal yang relatif baru. Pembelajaran yang baru ini berlaku pada materi-materi kontroversial yang muncul setelah reformasi. Hal ini memberikan serangkaian kemungkinan bahwa dalam pengajarannya banyak ditemukan kendala, baik bersifat sistemik maupun teknis. Beberapa permasalahan yang ditemui dalam dunia pendidikan sejarah adalah masih terus berkembangnya permasalahan-permasalahan klasik dalam pengajaran sejarah.

Asvi Warman Adam dalam pengantar buku terjemahan dari Sam Wineburg (2006:ix-xix) mengidentifikasi beberapa kelemahan dalam pendidikan sejarah di Indonesia, yaitu adanya paradigma berpikir bahwa belajar sejarah sebatas pada hapalan tanggal, nama dan tokoh pada masa lalu. Selain itu ditinjau dari aspek guru terdapat kecederungan bahwa kemampuan guru adalah lemah, terutama dalam bidang evaluasi. Hal yang tak kalah penting menurut Adam (2006) adalah adanya seperangkat kebijakan yang disusun pemerintah masih belum membuka peluang yang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis. Hal ini nampak dari adanya intervensi yang berlebih dari pemerintah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007 pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965. Munculnya kenyataan seperti ini merupakan salah satu hal yang menghilangkan kaidah sejarah sebagai ilmu, sekaligus menjadikan sejarah sebagai alat indoktrinasi untuk menghasilkan pengikut yang penurut (Purwanto, 2006:270).

Berkaitan dengan materi pembelajaran sejarah kontroversial, peristiwa yang paling banyak diperdebatkan di masyarakat adalah Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan Umum 1 Maret 1949 (Adam, 2007:14). Berkaitan dengan hal tersebut Purwanto (2001) menjelaskan bahwa “... in fact many controversies in Indonesia history during the last fifty years. Four of them, Serangan Umum Satu Maret (1 March Attack) of 1949, Gerakan 30 September (30 September Movement) of 1965, Surat Perintah Sebelas Maret (11 March Instruction) of 1966, and social-political role of Indonesian armed forces...” (Purwanto, 2001:112).

Peristiwa Gerakan 30 September merupakan sejarah yang paling kontroversial karena di dalamnya terdapat beberapa versi tentang siapa sebenarnya yang berada di balik itu semua. Apakah PKI, Sukarno, Soeharto, klik Angkatan Darat, CIA, sampai dengan kemunculan teori chaos, semuanya menjadi satu hal yang baru dalam pendidikan sejarah pada saat ini (Bandingkan, Adam, 2007 b: 61-75; Adam a, 2007; Soetrisno, 2006: 19-34). Selain itu peristiwa pembantaian setelah gerakan tersebut juga masih menjadi tanda tanya besar.

Pemahaman yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan peristiwa seputar Gerakan 30 September selama ini adalah bahwa yang menjadi dalang peristiwa tersebut adalah PKI. Hal ini terutama didukung dengan adanya buku tentang peristiwa Gerakan 30 September yang diterbitkan oleh Kesekretariatan Negara atau yang sering disebut dengan “Buku Putih” (Sekretariat Negara, 1994). Dengan adanya pendapat-pendapat baru berkaitan dengan masalah G 30 S telah menjadikan peristiwa ini menjadi peristiwa sejarah yang sangat kontroversial, bahkan paling kontroversial dalam periode sejarah Indonesia modern.

Keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memberikan kewenangan pada Soeharto untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai stabilitas nasional yang pada akhirnya mengantarkan dirinya sebagai presiden Republik Indonesia kedua, juga masih menyisakan berbagai pertanyaan. Hal ini dikarenakan sampai sekarang keberadaan surat tersebut dan hal ikhwal tentang isinya juga masih sangat misterius.

Sampai sekarang ada tiga naskah Supersemar yang beredar, dua versi seperti yang terdapat dalam 30 Tahun Indonesia Merdeka (Sekretariat Negara, 1985), di mana Supersemar hanya terdiri dari satu halaman, dan versi ketiga adalah seperti yang terdapat dalam biografi Jendral M. Yusuf, di mana naskah itu terdiri dari dua halaman (Sumarkidjo, 2006). Namun demikian pada dasarnya isi dari ketiga naskah tersebut sama, hanya ada perbedaan dalam hal penulisan. Namun demikian adanya tiga naskah Supersemar sangat membingungkan masyarakat. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah “manakah diantara ketiga naskah tersebut yang benar-benar asli?”

Kontroversi lain yang berkembang seputar Supersemar selain otentisitas naskah adalah tentang proses keluarnya Supersemar dan dampak dari keluarnya Supersemar. Tentang proses keluarnya Supersemar, kontroversi yang bererdar adalah tentang pertanyaan-pertanyaan “apakah Sukarno mengeluarkan Supersemar dengan tanpa tekanan?”, “siapa pengetik Supersemar?” (Wardaya, 2007:20).

Kemudian bekaitan dengan dampak sesudah Supersemar, beberapa kontroversi yang muncul adalah “bagaimana sebenarnya sifat dari Supersemar, apakah teknis atau politis?”, “apakah Supersemar bersifat sebagai transfer authority?” (Wardaya, 2007:112).

Materi tentang Gerakan 30 September dan Supersemar inilah yang akan dijadikan objek penelitian tentang bagaimana tipe pembelajaran yang dilakansanakan oleh guru. Pemilihan materi tersebut disebabkan oleh beberapa alasan, yakni (1) kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial, (2) peristiwa tersebut terjadi dalam periode waktu yang sama dan kronlogis apabila ditinjau dari perkembangan waktunya, (3) hubungan kausalitas antara kedua peristiwa tersebut sangat erat, (4) kedua peristiwa tersebut terjadi belum terlau lama dari masa sekarang, sehingga memudahkan dalam pencarian sumber, serta (5) sudah banyak terdapat kajian tentang kedua peristiwa tersebut secara ilmiah, sehingga memudahkan untuk melakukan upaya komparasi sekaligus memperkaya wacana tentang peristiwa tersebut.

Dari pemikiran di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana pembelajaran materi G 30 S dan Supersemar di Sekolah Menengah Atas, serta bagaimana tipe-tipe pembelajaran sejarah kontroversial di Sekolah Menengah Atas. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah menganalisis pembelajaran materi tentang G 30 S tahun 1965 dan Supersemar di Sekolah Menengah Atas dan mengidenifikasi dan menganalisis pembelajaran sejarah kontroversial di Sekolah Menengah Atas. Secara teoretis, penelitian ini dapat dijadikan suatu kajian ilmiah tentang tipe-tipe pembelajaran sejarah kontroversial. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat berupa gambaran tentang tipe pembelajaran sejarah kontrobersial. Bagi pemerintah dapat menjadi satu masukan tentang penentuan kebijakan pendidikan yang menekankan aspek berpikir kritis pada peserta didik.
Pembelajaran Materi G 30 S tahun 1965 dan Supersemar

Penelitian ini mengambil contoh materi tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar yang akan dianalisis bagaimana pembelajarannya dalam kelas sejarah di SMA. Pada pelaksanaannya kedua materi tersebut merupakan materi yang saling berurutan karena keduanya selain terjadi dalam waktu yang berurutan juga merupakan satu kesinambungan peristiwa, yakni peristiwa akhir pemerintahan Orde lama di bawah kepemimpinan Sukarno dan awal berdirinya kepemimpinan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Di SMA kedua materi tersebut diajarkan pada dua kelas yang berbeda, yakni pada kelas XI program IPA semester II dan kelas XII program IPS semester I.

Pada program Bahasa, pada dasarnya Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar untuk materi tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar sama dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar bagi program IPA, hanya saja kelasnya yang berbeda, yakni pada kelas XII semester I. Akan tetapi karena di SMA N 1 Banjarnegara tidak terdapat program bahasa maka dalam penelitian ini hanya akan dipaparkan perbedaan pembelajaran untuk materi G 30 S/PKI dan Supersemar pada program IPA dan IPS. Namun demikian walaupun hanya dipaparkan dua perbedaan tetap tidak mengurangi komprehensivitas kajian. Hal ini dikarenakan pada program IPA dan Bahasa, SK dan KD-nya sama, dan hanya berbeda pada kelasnya saja, sehingga ada kecenderungan kesamaan dalam pelaksanaan pembelajarannya.

Pada progam IPA, pembahasan tentang kontroversi Gerakan 30 September dan Supersemar termasuk dalam standar kompetensi yang sama, yakni “merekonstruksi perjuangan bangsa Indonesia sejak masa proklamasi sampai masa reformasi” yang diajarkan pada semester genap. Sementara itu, kedua materi tersebut termasuk dalam kompetensi dasar “menganalisis pergantian pemerintahan dari demokrasi terpimpin sampai lahirnya Orde Baru”. Indikator pada bahasan tentang kontroversi Gerakan 30 September adalah “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI” yang diajarkan selama dua kali pertemuan atau empat jam pelajaran. Sementara itu pada bahasan tentang kontroversi Supersemar tidak berdiri sendiri, tetapi termasuk dalam materi lain yakni tentang “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI”. Dengan demikian tidak ada alokasi khusus untuk pembahasan Supersemar. Alokasi untuk materi “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI” yang membahas bahasan tentang kontroversi Supersemar hanya satu kali pertemuan atau dua jam pelajaran.

Pada program IPS, pembelajaran kontroversi Gerakan 30 September dan Supersemar termasuk dalam standar kompetensi “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya Orde Baru”. Akan tetapi, masing-masing bahasan tersebut memiliki kompetensi dasar yang berbeda. Pada bahasan tentang kontroversi Gerakan 30 September, materi ini termasuk dalam standar kompetensi “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga lahirnya Orde Baru” dan pada kompetensi dasar “menganalisis perjuangan bangsa Indonesia dalam memperta­hankan kemerdekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI)”. Indikator untuk materi ini adalah (1) menganalisis terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (2) membandingkan dua pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (3) mendeskripsikan dampak soaial politik dari peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, dan (4) mendeskripsikan proses peralihan kekuasaan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI. Dari indikator tersebut, materi yang membahas kontroversi Gerakan 30 September padaprogram IPS dialokasikan waktu sebanyak empat kali pertemuan atau delapan jam pelajaran.

Sama halnya dengan pelaksanaan pengajaran tentang kontroversi Supersemr di program IPA, pada pembelajaran di Program IPS, materi Supersemar tidak berdiri sendiri tetapi termasuk dalam materi lain yakni tentang “Proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI”. Alokasi untuk materi tentang proses peralihan kekuasaan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI adalah 1 kali pertemuan atau 2 jam pelajaran.

Dari deskripsi di atas terlihat bahwa perbedaan yang paling menonjol antara pembelajaran materi tentang peristiwa Gerakan 30 September dan Supersemar pada kelas IPA dan IPS adalah terletak pada pembelajaran materi tentang peristiwa Gerakan 30 September. Sementara itu, pembelajaran tentang materi Supersemar di kedua kelas tersebut sama-sama merupakan materi yang tidak berdiri sendiri, tetapi masuk dalam materi yang lain. Akan tetapi, hal yang sangat menonjol adalah bahwa pembelajaran sejarah kontroversial di kelas IPA dan IPS adalah bahwa pembelajaran materi sejarah di kelas program IPS lebih padat dan lebih terperinci. Hal ini mengingat sejarah pada program IPS adalah materi pokok, sementara itu di program IPA sejarah bukan materi pokok, sehingga wajar ketika pembelajaran sejarah di program IPS lebih banyak materi dan rinciannya, sementara di program IPA hanya digambarkan secara umum saja dan tidak mendalam seperti di IPS.


Tipe Pembelajaran Sejarah Kontroversial

Dari hasil penelitian, ternyata ditemukan dua kategorisasi tipe pembelajaran sejarah kontroversial. Tipe tersebut adalah (1) pembelajaran dengan materi sejarah kontroversial yang mandiri, dan (2) pembelajaran materi sejarah kontroversial yang terintegrasi dengan materi lain. Pembelajaran tipe mandiri adalah pembelajaran yang dilakukan terhadap materi yang memiliki alokasi waktu khusus. Pembelajaran sejarah kontroversial yang termasuk dalam kategori mandiri contohnya adalah pembelajaran tentang peristiwa Gerakan 30 September. Materi ini secara khusus dirancanang oleh guru, memiliki tujuan yang spesifik, dan memiliki alokasi waktu tersendiri. Materi yang diajarkan secara mandiri dinilai memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat dan memberikan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga perlu dajarkan dalam materi tersendiri.

Pelaksanaan pembelajaran materi G 30 S/PKI di SMA N 1 Banjarnegara tujuan yang hendak dicapai adalah bahwa dengan pembelajaran siswa diharapkan (1) mampu menganalisis terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (2) siswa mampu membandingkan dua pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, (3) siswa mampu mendeskripsikan dampak sosial politik dari peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI, serta (4) siswa mampu mendeskripsikan proses peralihan kekuasaan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI.

Tujuan dari pembelajaran tersebut diturunkan dari indikator yang sebelumnya telah disusun oleh guru, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Akan tetapi, sebelum memasuki materi yang berkaitan dengan peristiwa tahun 1965 itu, ada beberapa tujuan dari pelaksanaan pembelajaran tentang peristiwa sebelum terjadinya Gerakan 30 September, yakni tentang (1) siswa mampu mendeskripsikan gejolak sosial di berbagai daerah pada awal kemerdekaan, serta (2) siswa dapat mendeksripsikan hubungan disintegrasi bangsa dengan terjadinya pergolakan dan pemberontakan. Dua tujuan inilah yang menjadi landasan awal bagi guru untuk kemudian melanjutkan materinya dengan pokok bahasan tentang peristiwa tahun 1965.

Sementara itu, di Kota Semarang, berdasarkan Lembar Ujian Kompetensi Siswa yang disusun oleh MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sejarah, indikator pencapaian pada materi peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 adalah (1) Mengidentifikasi strategi politik PKI masa demokrasi liberal dan terpimpin, (2) Mengidentifikasi aksi-aksi sepihak PKI sebelum G 30 S/PKI 1965, (3) Menunjukkan kaitan antara gerakan 30 September dengan dewan revolusi, (4) Menjelaskan gerakan 30 September PKI telah melakukan perebutan kekuasaan yang sah, (5) Mengientifikasi nama-nama dalang di balik gerakan 30 September PKI, (6) Menganalisa kebenaran isu adanya dokumen Gilchrist, (7) Menerangkan prosesi pengangkatan jenazah korban kebiadaban PKI di Lubang Buaya, (8) Menyebutkan upaya-upaya penumpasan G 30 S/PKI 1965, (9) Menjelaskan akibat sosial politik G 30 S/PKI 1965, (10) Mengidentifikasi adanya bahaya laten komunis.

Sementara itu tipe pembelajaran kedua atau materi yang terintegrasi contohnya adalah materi tentang Supersemar. Pembelajaran tipe integral adalah pembelajaran yang dilakukan terhadap materi yang tidak memiliki alokasi waktu khusus, sehingga pembelajrannya terintegrasi pada materi lainnya. Materi yang terintegrasi ini tidak memiliki indikator dan tujuan pembelajaran yang khusus bagi materi tersebut, tetapi termasuk dalam indikator materi yang lain. Materi pada pembelajaran tipe kedua ini juga tidak memiliki alokasi waktu yang khusus. Oleh karena peristiwa sejarah kontroversial ini menjadi materi yang terintegrasi dalam materi pokok tertentu, akibatnya tidak ada evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik kaitannya dengan pemahaman terhadap peristiwa tersebut. Evaluasi yang dimaksud di sini adalah penilaian tertulis padakhir pokok bahasan atau akhir satu kompetensi dasar. Evaluasi yang digunakan hanya evaluasi yang bersifat penilaian proyek untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta didik dan pencapaian tujuan pembelajaran pada materi tentang suatu peristiwa sejarah yang bersifat kontroversial.

Munculnya peristiwa kontroversi yang diajarkan secara khusus dan yang diajarkan dengan terintegrasi pada materi yang lain karena pada materi yang diajarkan secara mandiri dinilai memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat. Pengaruh yang dimasksud adalah peristiwa Gerakan 30 September memberikan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Korban-korban dari tragedi tersebut jelas. Sementara itu unuk materi yang bersifat terintegrasi seperti pembahasan tentang Supersemar adalah dikarenakan bahwa Supersemar dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara langsung bagi masyarakat. Supersemar hanya menjadi bagian dari suatu peristiwa yang lebih besar, yakni berakhirnya pemerintahan Sukarno dan berdirinya pemerintahan baru di bawah pimpinan Soeharto.

Munculnya dua tipe pembelajaran ini memunculkan beberapa kendala. Pada pembelajaran untuk materi tentang Supersemar untuk program IPS dan IPA, pada dasarnya mengalami kendala yang tidak terlalu berbeda. Hal ini dikarenakan pada kedua program tersebut upaya untuk mengajarkan kontroversi Supersemar tidak berdiri sendiri sebagai materi, tetapi terintegrasi dalam materi yang lain. Dengan demikian, kendala utama yang ditemui adalah tenang alokasi waktu yang digunakan untuk mengajarkan kontroversi Supersemar. Pada bahasan tentang Supersemar, tidak ada tujuan pembelajaran yang disusun secara khusus untuk peristiwa tersebut. Selain itu tidak ada pula evaluasi yang secara spesifik mengetahui tingkat keberhasilan peserta didik tentang kontroversi Supersemar.

Dari hasil penelitian, untuk mengatasi permasalahan tersebut, guru melakukan upaya dengan memasukkan penjelasan supersemar dalam materi yang lainnya untuk mengatasi ketiadaan alokasi waktu yang khusus mengulas permasalahan tentang Supersemar. Pada program IPS, guru memasukkan penjelasan kontroversi Supersemar pada materi “menganalisis perkembangan pemerintahan Orde Baru”. Oleh karena tidak adanya alokasi khusus pada bahasan tentang Supersemar, guru memasukan bahasan Supersemar sebagai salah satu hal yang turut berperan dalam perkembangan pemerintahan Orde Baru.

Pada program IPA upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi permasalahan alokasi waktu adalah dengan memasukkan bahasan tentang supersemar dalam materi utama tentang “menganalisis proses peralihan kekuasaan politik setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI”. Dalam hal ini guru berupaya untuk menjelaskan posisi Supersemar sebagai salah satu bagian dari peristiwa politik yang terjadi di Indonesia setelah peristiwa Gerakan 30 September. Antara kedua peristiwa tersebut memiliki hubungan yang saling berkaitan.

Guru memanfaatkan media massa dan internet untuk mendapatkan informasi kesejarahan terbaru. Dengan pemanfaatan media internet inlah guru juga berupaya untuk mengatasi kendala dalam hal akses informasi. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan minimnya alokasi waktu dalam pembelajaran yang mengulas permasalahan tentang Supersemar, guru mencoba untuk menggiatkan peserta didik belajar secara mandiri dengan memberikan penugasan berupa pencarian data di media massa atau internet. Penugasan inilah yang juga digunakan oleh guru sebagai bahan evaluasi.

Guru melakukan tukar pendapat dengan rekan sesama guru sejarah, baik di sekolah atupun rekan guru sejarah di sekolah lain untuk menyusun suatu perencanaan pembelajaran yang lebih bersifat menyeluruh. Dengan demikian, akan ada masukan-masukan terhadap perencanaan yang dilakukan oleh guru.


Simpulan

Sifat kontroversial hampir selalu ada dalam sejarah. Hal ini memunculkan materi-materi tentang sejarah kontroversial, seperti Gerakan 30 September dan Supersemar. Dalam pembelajarannya, kedua materi tersebut sudah terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar tertentu pada program IPA, IPS, dan Bahasa. Pada pembelajarannya, ada dua tipe pembelajaran sejarah kontroverisal, yakni tipe mandiri seperti materi Gerakan 30 September dan tipe integral pada materi Supersemar. Kemunculan dua tipe ini dikarenakan materi yang diajarkan secara mandiri dinilai memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat dan memberikan dampak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat sehingga perlu dajarkan dalam materi tersendiri. Sementara itu materi integral dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara langsung bagi masyarakat, dan hanya menjadi bagian dari suatu peristiwa yang lebih besar


DAFTAR PUSTAKA

Abu Su’ud. 1993. ’Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah (Sebuah Alternatif dalam Pengajaran Sejarah)’. Pidato Pengukuhan. Diucapkan pada penerimaan jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Semarang pada 23 Januari 1993.

Adam, Asvi Warman. 2006. “Pengantar Berpikir Historis Membenahi Sejarah”. Kata pengantar dalam Sam Wineburg. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan Mengajarkan Masa Lalu. Masri Maris (Penerjemah). Jakarta: Yayasa Obor Indonesia.

--------. 2007 a. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

--------. 2007 b. Pelurusan Sejarah Indonesia (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Ahmad, Tsabit Azinar, dkk. 2008. ‘Pendekatan Kritis dalam Pembelajaran Sejarah Kontroversial di Sekolah Menengah Atas untuk Mewujudkan Kesadaran Sejarah Peserta Didik’. Karya Tulis Ilmiah. Disusun dalam KKTM Bidang Pendidikan Tingkat Nasional pada 17 Juli 2008.

Purwanto, Bambang. 2001. ‘Reality and Myth in Contemporary Indonesian History’. Humaniora volume XIII, No. 2/2001. Hlm. 111-123.

---------. 2005. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sekretariat Negara RI. 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka, Jilid III. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Soeterisno, Slamet. 2006. Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah (Edisi Revisi). Yogyakarta: Penerbit Media Presindo.

Sumarkidjo, Atmadji. 2006. Jendral M. Jusuf: Panglima Para Prajurit. Jakarta: Kasta hasta.

Wardaya, Baskara T. 2007. Membongkar Supersemar! Dari CIA sampai Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Penerbit Galangpress.

1 komentar:

  1. Mas, izin copas untuk tugas mata kuliah sejarah nasional ya...
    Keren isi penelitiannya...

    BalasHapus