Minggu, 03 Mei 2009

Yang Kontemporer Yang Kontroversial

Sejarah selalu dikaitkan dengan masa lalu. Hal ini adalah benar adanya karena sejarah adalah satu peristiwa yang dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Akan tetapi batasan dari masa lalu itu masih belum jelas. Apakah dalam waktu satu tahun, sepuluh tahun, atau bahkan yang masih dalam hitungan jam. Memang benar apabila masa lalu dimaknai secara luas maka segala sesuatu yang terjadi sebelum saat ini dapat dikatakan masa lalu. Begitupun dengan permasalahan sejarah. 

Sejarah tidak selalu berkutat pada hal-hal yang terjadi jauh sebelum kita lahir, tetapi juga pada peristiwa-peristiwa yang terjadinya masih belum terlalu lama rentang waktunya dari saat ini. Contohnya adalah peristiwa yang terjadi pada bulan Mei 1998. Peristiwa tersebut masih belum terlalu lama terjadi. Akan tetapi peristiwa reformasi tersebut sudah dapat dikatakan sebagai satu peristiwa sejarah. Bahkan di sekolah-sekolah sudah mulai diajarkan materi tentang sejarah reformasi. Untuk siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) misalnya, pada program IPS kelas XII untuk mata pelajaran Sejarah terdapat kompetensi dasar seperti (1) menganalisis proses berakhirnya pemerintah Orde Baru dan terjadinya reformasi dan (2) menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia pada masa reformasi. Selain itu peristiwa lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada masa pemerintahan Habibie sekitar tahun 1999 yang rentang waktunya masih belum terlalu lama dari masa sekarang, dapat dikatakan pula sudah menjadi peristiwa sejarah. Sama seperti peristiwa reformasi, lepasnya Timor Timur juga sudah diajarkan pada mata pelajaran Sejarah di sekolah. Bahkan dalam sebuah buku yang cukup populer tentang Indonesia yakni ‘Sejarah Indonesia Modern 1200-2004’, M.C. Ricklefs selaku penulis telah memasukkan peristiwa Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2004 menjadi satu bagian dalam bukunya. Ini berarti dari tinjauan sekarang, peristiwa yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama sudah dapat dikatakan sebagai satu peristiwa sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah semacam inilah yang kemudian sering disebut dengan sejarah kontemporer. 

Sejarah kontemporer atau contemporery history dalam bahasa Inggris, atau histoire contemporeine dalam bahasa Perancis merupakan satu istilah untuk menyebutkan satu pembabakan dalam sejarah yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dengan masa sekarang, atau masa ketika sejarah itu menjadi satu kajian dalam ilmu sejarah. Hans Rothfels seperti dikutip Notosusanto menyatakan bahwa sejarah kontemporer ialah zaman dari mereka yang hidupnya bersamaan, yakni bersamaan dengan kita baik pembaca maupun sejarawannya, serta penggarapannya secara ilmiah. Dari definisi tersebut, Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa batasan sejarah kontemporer itu sejalan dengan manusia yang menggarap dan membacanya. 

Ditinjau dari aspek waktu dan juga perolehan sumber, peristiwa yang terjadi pada kurun sejarah kontemporer secara teoretis menjadi kajian yang lebih membuka peluang bagi masyarakat kebanyakan untuk mengkaji dan memperoleh sumber-sumber berkaitan dengan masa tersebut. Hal ini dikarenakan sumber primer berupa keterangan dari pelaku atau saksi sejarah masih ada. Selain itu memori kolektif masyarakat tentang satu peristwa tersebut juga masih sangat kuat, sehingga validitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan kurun waktu sejarah lain, seperti sejarah kerajaan-kerajaan Hindu Budha yang memiliki rentang waktu jauh lebih lama. Akan tetapi pada kenyataannya justru kedua hal tersebutlah, yakni rentang waktu yang dekat dan sumber sejarah, yang menjadi permasalahan dasar dalam kajian tentang sejarah kontemporer. Permasalahan utama berkaitan dengan penyusunan sejarah kontemporer adalah kadar subjektivitas yang terkandung dalam sejarah kontemporer lebih besar daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan pelaku atau saksi sejarahnya masih ada dan masih memiliki satu implikasi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada masa ini. Selain itu masih banyak terjadi perbedaan andangan para pelaku sejarah berkaitan dengan satu peristiwa sejarah. Ada pula perbedaan pandangan antara temuan berupa fakta-fakta baru dengan pemahaman masyarakat yang berkembang selama ini. Inilah yang menyebabkan sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial.

Kontemporer dan Kontroversial
Sejarah yang dikategorikan sebagai sejarah kontemporer cenderung bersifat kontroversial. Hal ini nampak dari beberapa peristiwa sejarah nasional Indonesia pada kurun 1940-1960-an yang menuai banyak kontroversi, seperti tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, sampai pada perdebatan seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Seperti telah diutarakan di atas bahwa keunggulan yang terdapat dalam sejarah kontempoer yaitu aspek waktu dan perolehan sumber justru menjadi satu pemantik terjadinya satu kontroversi dalam satu peristiwa sejarah. Aspek yang pertama adalah aspek waktu. Ditinjau dari aspek waktu, rentang waktu sejarah yang dikategorikan sejarah kontemporer adalah tidak terlalu lama terjadi dari masa sekarang atau pada saat dilakukan kajian. Rentang waktu yang pendek ini masih menyisakan suatu permasalahan berupa keadaan masyarakat di mana dalam masyarakat tersebut masih berkembang pemahaman-pemahaman terhadap satu peristiwa sejarah sesuai dengan apa yang masyarkat tersebut pahami. Artinya memori kolektif masyarakat masih bersifat kuat terhadap satu peristiwa sejarah. Hal ini selain menjadi keunggulan juga dapat menimbulkan permasalahan karena penafsiran masyarakat tentang satu peristiwa sejarah itu beraneka ragam. Permasalahan lainnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat tentang satu pemahaman sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama ini diyakini adalah benar adanya. Adanya hal ini telah menyebabkan adanya satu hal yang memacu terjadinya pertentangan terhadap satu peristiwa sejarah ketika pada satu saat ditemukan fakta baru yang bertolak belakang dari pemahaman masyarakat selama ini diyakini. Seperti halnya ketika berkembang beberapa versi tentang peristiwa G 30 S. Ketika selama ini dalam masyarakat telah terbentuk satu pemahaman yang menyatakan bahwa dalang peristiwa G 30 S adalah PKI, maka ketika muncul beberpa versi yang menyatakan bukan PKI-lah sebenarnya yang mendalangi pembunuhan para jenderal, terjadi satu keadaan di mana ada kalangan masyarakat yang tidak begitu saja menerima anggapan ini, bahkan menolak adanya versi-versi baru.

Masih dalam tinjauan aspek waktu, ketika satu peristiwa masih belum terlalu lama terjadi, maka belum banyak pula penelitian yang mengkaji peristiwa sejarah tersebut. Penelitian yang dilakukan masih belum bersifat final. Hal ini dikarenakan peristiwa sejarah kontemporer masih senantiasa berjalan dan berproses. Penelitian yang dilakukan terhadap satu peristiwa yang rentang waktu terjadinya tidak terlalu lama dari sekarang menyebabkan belum tergalinya sumber-sumber yang lain, walaupun apabila ditinjau dari segi kuantitas sumber yang berkaitan dengan peristiwa kontemporer cukup banyak. Apakah jumlah yang cukup banyak itu sudah menjamin satu penelitian bersifat final? Jawabannya kemungkinan adalah belum. Hal ini dikarenakan ada kecenderungan sumber-sumber lain yang masih belum tergali.

Aspek yang kedua adalah aspek perolehan sumber. Selain seperti yang telah dijelaskan di atas, yakni masih ada sumber-sumber yang harus digali kembali, permasalahan lain berkaitan dengan sumber adalah kaitannya dengan sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah. Sumber-sumber dari sejarah kontemporer yang paling utama adalah sumber primer berupa pelaku atau saksi sejarah. Berkaitan dengan saksi atau pelaku sejarah, ada kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalamnya. Kelemahan tersebut menurut Nugroho Notosusanto salah satu yang paling utama adalah masalah subjekivitas. 

Selain ditinjau dari aspek pelaku, subjektivitas itu terjadi pula di kalangan sejarawan. Subjektivitas itu sendiri terjadi dikarenakan oleh beberapa hal. Subjektivitas itu timbul pertama karena adanya sikap berat sebelah pribadi (personal bias), sikap sejarawan yang a priori terhadap satu tokoh tertentu. Hal kedua yang menyebabkan terjadinya subjektvitas adalah group prejude atau prasangka kelompok, seperti sikap yang a priori dari satu kelompok terhadap kelompok lain. Ketiga ialah teori-teori interpretasi sejarah yang bertentangan. Inilah sesungguhnya yang paling berpengaruh di dalam proses sejarah. Dan yang terakhir adalah konflik-konflik filsafat, seperti halnya konsep yang berbeda tentang pemikiran manusia terhaap keberadaan Tuhan. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, sikap berat sebelah pribadi dan prasangka kelompok itulah yang sangat berengaruh. 

Selain itu menurut Nugroho Notosusanto, dari pihak pelaku atau saksi sejarah itu sendiri masalah lain yang dihadapi adalah (1) adanya perbedaan persepsi antara pelaku satu dengan lainnya, (2) adanya sengketa pribadi, dalam artian antara pelaku dengan pelaku lain terjadi suatu pertentangan, (3) Para pelaku yang sudah tua akan menjadi pikun (pelupa) sehingga ingatannya sudah kabur, (4) pretensi, yaitu adanya sikap dari para pelaku yang lebih suka menonjolkan peranan dirinya daripada orang lain. Pada pihak masayarakat itu sendiri juga terdapat masalah, yaitu perebutan pahlawan. Misalnya : “oh, pahlawan itu dari daerah saya, lahir di tempat saya dan lainnya”. 

Permasalahan lain dalam upaya penulisan sejarah kontemporer adalah adanya perbedaan pandangan dari saksi-saksi sejarah atau pelaku sejarah itu sendiri. Antara satu saksi atau pelaku dengan saksi atau pelaku yang lain terdapat perbedaan pendapat atau pandangan. Perbedaan pandangan atau pemahaman dari saksi atau pelaku sejarah ini dimungkinkan karena adanya faktor memori dari pelaku yang mungkin lupa tentang satu peristiwa. Artinya adalah adanya perbedaan ingatan dari saksi atau pelaku sejarah tentang suatu peristiwa. Misalnya saja adalah ketika terjadi perbedaan ingatan antara Hatta dan Sayuti Melik tentang siapa yang mengusulkan tentang penanda tangan naskah proklamasi. Mereka berdua sama-sama tokoh yang ada pada saat perumusan teks proklamasi. Menurut Hatta, orang yang mengusulkan bahwa yang menandatangani teks hanya Sukarno Hatta adalah Sukarni. Akan tetapi Sayuti Melik berpendapat yang mengusulkan adalah Chaerul Saleh. Permasalahan-permasalahan inilah yang menjadi salah satu hal yang menyebabkan sejarah bersifat kontroversial.

Selain permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan metodologis, satu hal yang menyebabkan sejarah kontemporer itu cenderung bersifat kontroversial adalah adanya unsur kepentingan lain yang bermain di dalam sejarah. Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu peristiwa sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang dari pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya dikarenakan pelaku sejarah merasa dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu. Contohnya adalah ketika Habibie pada tahun 2006 mengeluarkan buku bertajuk ‘Detik-Detik yang Menentukan’ yang berasal dari catatan pribadinya, ada beberapa pihak yang merasa “dirugikan”, seperti halnya Prabowo Subianto (mantan Panglima Komando Strategi Angkatan Darat). Prabowo merasa dirugikan karena namanya dikaitkan dengan upaya kudeta dan pengepungan rumah presiden serta beberapa peristiwa yang dituliskan dalam buku, padahal menurut versi Prabowo ia tidak melakukan. Terjadi semacam perbedaan pendapat dari dua pelaku sejarah peristiwa tahun 1998. Contoh lainnya adalah peristiwa G 30 S, di mana keluarga Aidit merasa dirugikan, sehingga beberapa tahun yang lalu diterbitkanlah buku yang berisi kesaksian dari keluarga Aidit. Adanya kesaksian dari keluarga Aidit tentang peristiwa G 30 S telah memberikan pandangan yang berbeda terhadap versi yang selama ini berkembang, dan ini dapat menimbulkan hal yang kontroversial.
Kepentingan yang kedua berasal dari pihak-pihak lain yang memanfaatkan sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Satu contoh yang dapat diberikan adalah ketika pada pemerintahan Orde Baru terjadi semacam pemanfaatan sejarah untuk melegitimasi kekuasaan pada penulisan sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949. Ketika penulisan sejarah berkaitan dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 pada masa orde Baru didominasi tulisan yang menyatakan bahwa kedudukan Soeharto pada peristiwa ini sangat penting dan menempatkannya pada posisi paling sentral. Maka ketika pada perkembangannya muncul versi-versi lain berkaitan dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 hal ini telah memunculkan kontroversi. Manakah diantara tulisan-tulisan berkaitan dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang memiliki argumen yang lebih kuat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kira-kira muncul di masyarakat.

Beberapa Kasus
Peristiwa kudeta yang terjadi pada tahun 1965 secara temporal terjadi masih dalam cakupan yang belum begitu lama, akan tetapi banyak kekaburan berkaitan dengan peristiwa tersebut. Banyak teori yang diungapkan oleh para ahli berkaitan dengan peristiwa kudeta. Pemahaman yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan peristiwa G 30 S selama ini adalah bahwa yang menjadi dalang peristiwa G 30 S adalah PKI. Hal ini terutama didukung dengan adanya buku tentang peristiwa G 30 S yang diterbitkan oleh kesekretariatan negara atau yang sering disebut dengan “Buku Putih”. Dengan adanya pendapat-pendapat baru berkaitan dengan masalah G 30 S telah menjadikan peristiwa ini menjadi peristiwa sejarah yang sangat kontroversial, bahkan paling kontroversial dalam periode sejarah Indonesia modern.

Paling tidak ada lima pendapat berkaitan dengan peristiwa G 30 S ini, yaitu Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa dalang G 30 S adalah PKI. Pendapat ini dipakai oleh pemerintah pada masa orde baru, sebagai upaya legitmasi kekuasaan. Pendapat ini dilatarbelakangi motif pengabilalihan kekuasaan untuk mendirikan sebuah negara komunis. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa dalang G 30 S adalah klik angkatan darat. Pendapat ini diusung oleh Ben Anderson dan Ruth Mc Vey melalui Cornell Paper-nya. Motif dari alasan ini adalah Sekelompok perwira ‘progresif’ yang berasal dari Divisi Diponegoro merasa tidak puas dengan cara kehidupan mewah pimpinan AD di Jakarta yang dianggapnya tidak sesuai dengan semangat revolusi serta mangabaikan kesejahteraan anak buahnya. Pinpinan AD tersebut ingin ‘dibersihkan’ supaya politik Soekarno dapat dilanjutkan. Disamping itu mungkin ada tujuan lain, yaitu mencegah kudeta oleh pihak Dewan Jenderal.

Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang menyatakan bahwa dalang G 30 S adalah Soekarno. Pendapat ini diusung oleh Anthony C.A. Dake. Pendapat ini dilandasi adanya motif yang menggambarkan Soekarno sebagai orang yang egoistis dan haus kekuasaan, sehingga ia ingin menghapuskan oposisi militer. Sedangkan Soerojo (1988) berpendapat bahwa Soekarno adalah seorang marxis yang ingin membangun komunisme di Indonesia.

Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa dalang G 30 S adalah Soeharto, dimana pendapat ini diungkapkan oleh sosiolog dan sejarawan Belanda W.F. Wertheim, motif yang melatarbelakangi pendapat ini adalah bahwa tujuan Soeharto adalah untuk menghancurkan PKI, menjatuhkan Soekarno dan menyingkirkan kubu-kubu lain dalam AD, serta menjadi pahlawan dan Presiden.

Kelima, pendapat yang menyatakan bahwa dalang G 30 S adalah unsur asing (dalam hal ini adalah Amerika melalui CIA-nya). Pendapat ini diusung oleh Peter Dale Scott dan Teri Cavanagh. Alasan kuat teori ini adalah karena situasi internasional yang terjadi pada masa itu, yaitu adanya perang dingin dan adanya kepentingan Amerika atas Indonesia yang sangat potensial. Pendapat lainnya adalah tentang teori chaos yang menyatakan bahwa pelaku dari peristiwa kudeta tersebut tidak hanya satu.

Pendapat mana yang benar? Biarlah sejarah itu yang akan membuktikannya sendiri. Tetapi perlu diingat bahwa terjadinya peristiwa G 30 S tidak mungkin terjadi hanya karena satu faktor saja. Artinya banyak faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa kudeta tersebut. Antara faktor internal dan juga eksternal saling bertautan dan berkesinambungan. Dalam peristiwa ini banyak pihak yang berkepentingan dan memainkan peran dalam peristiwa tersebut. 

Contoh lainnya adalah tentang Surat Perintah Sebelas Maret atau yang lebih dikenal dengan Supersemar. Supersemar merupakan satu hal lagi yang sampai sekarang masih menjadi kontroversi dalam sejarah Indonesia. Hal itu disebabkan karena dokumen yang menjadi landasan kelahiran Orde Baru telah hilang secara misterius. Adapun isi dari Supersemar yaitu antara lain untuk keperluan pembubaran PKI. Surat itu diserahkan oleh Basoeki Rachmat, Jusuf ke Soeharto kemudian oleh Soeharto diserahkan kepada staf antara lain Dharmono. Sehingga ada beberapa kemungkinan tentang pemegang naskah Supersemar. 

Adapun isi dalam Supersemar itu adalah memerintahkan kepada Soeharto untuk mengamankan Pancasila, mengamankan UUD 1945, menjaga stabilitas nasional dan menjaga keamanan Bung Karno. Dimana naskah yang telah beredar dalam masyarakat ini adalah satu lembar, padahal sebenarnya ada dua lembar. Isi dari halaman satu yaitu mengingat, menimbang dan sebagainya. Halaman kedua adalah lanjutannya. Tetapi yang telah beredar dalam masyarakat itu isinya tidak begitu banyak berbeda dari aslinya, mungkin tujuannya adalah untuk menyederhanakan saja. 

Lalu Bagaimana?
Bagi kalangan akademik, khususnya yang mendalami ilmu sejarah, adanya hal-hal yang kontroversial bukan lah hal yang baru. Hal ini dikarenakan orang sejarah dituntut untuk lebih bersifat terbuka dengan adanya versi-versi dari satu peristiwa sejarah. adanya perbedaan pandangan merupakan satu hal yang secara akademis bersifat sah selama versi-versi itu mendapat dukungan yang kuat dari fakta-fakta sejarah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika hal-hal yang kontroversial itu berkembang di kalangan masyarakat luas. Permasalahan utama yang terjadi adalah adanya kebingungan massa berkaitan dengan sejarah. Masyarakat menjadi binging dan kemudian muncul pertanyaan “yang manakah yang benar?”

Untuk mengubah satu pandangan masyarakat terhadap adanya kontroversi dalam sejarah tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan selama ini masyarakat hanya disodorkan pada satu kebenaran yang dianggap mutlak, padahal belum tentu satu pandangan itu sungguh bersifat benar. Political will penguasa sangat berpengaruh terhadap satu persepsi masyarakat terhadap sejarah. Ketika penguasa menggunakan kekuasaannya untuk memanfaatkan sejarah untuk kepentingan dirinya maka inilah yang pada dasarnya menjadi satu proses pembodohan masyarakat.

Perubahan dan perbaikan terhadap sistem pendidikan sejarah mutlak dilakukan. Kebebasan dalam mengungkapkan gagasan yang dilandasi oleh kebenaran menjadi satu keniscayaan. Akan tetapi satu hal yang senantiasa diperhatikan adalah kearifan dan kejernihan pikiran, serta adanya satu tindakan yang didasarkan pada kebenaran menjadi hal yang utama dalam mewujudkan upaya membangun kesadaran sejarah masyarakat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar